JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia saat ini belum memiliki land governance system untuk mengatur tata guna tanah yang berkeadilan dan merata untuk seluruh rakyat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengtakan, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengeluarkan niatan untuk menjalankan reforma agraria pada 2007, sebagaimana tertuang dalam janji visi dan misinya.

"Sayangnya, program tersebut alih-alih dilaksanakan, namun hanya berkutat di level wacana," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, kepada Gresnews.com, Senin (28/7).

Program tersebut, kata Iwan, berniat melakukan redisribusi tanah kepada petani miskin dan tak bertanah seluas delapan juta hektar. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) akhirnya layu sebelum sempat berkembang dan tidak ada kejelasan lebih lanjut. Akan tetapi lebih berkutat pada program teknis seperti Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (RPPK).

Iwan mengatakan, reforma agraria sebenarnya bukan semata-mata mewujudkan kedaulatan pangan dan penghapusan kemiskinan, namun jalan untuk mewujudkan keadilan sosial. "Reforma agraria adalah sebuah penataan struktur agraria nasional yang timpang sehingga menimbulkan kemiskinan, konflik agraria dan sosial, hingga relasi desa-kota dan pertanian-industri yang tidak saling melengkapi dan menguatkan," ujarnya.

Dia mencontohkan, ketimpangan agraria terjadi disektor kehutanan. Hutan Indonesia seluas 136,94  juta hektare atau 69  persen wilayah Indonesia, ternyata 121,74  juta hektare (88 persen) belum ditata batas. Sedikitnya 33.000 desa definitif berada dalam kawasan hutan. 6.400 adalah desa yang bersengketa dangan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani).

Luas Hutan tanaman industri (HTI) mencapai 9,39 juta hektar (262  perusahaan). "Bandingkan  dengan  izin Hutan  Tanaman  Rakyat  (HTR)  yang 631.628  hektar," ujar Iwan. Sementara luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia mencapai 21,49 juta hektar dari 303 perusahaan HPH (2011).

Kata Iwan, ketimpangan juga terjadi dalam kepemilikan tanah. Saat ini menurut BPN terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 hektare. Terdapat 10.368 sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), namun luas HGU mencapai 46 persen (33,5 juta ha) dari tanah bersertifikat tersebut. Menurut BPN 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset tanah di Indonesia. "Hal ini diperparah dengan tumpang tindihnya hukum agraria," tegasnya.

Setidaknya terdapat 632 peraturan agraria yang tumpang tindih. Rinciannya, sedikitnya ada 17 Undang-Undang;  48 Peraturan Presiden; 22 Keputusan Presiden, 4 Instruksi Presiden, dan 496 Peraturan/Keputusan/Surat Edaran dan Instruksi Menteri Negara/Kepala BPN yang mengatur soal agraria.

Tumpang tindih tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa klasifikasi: Pertama, tidak singkronnya peraturan hukum dimana hukum yang lebih tinggi dinegasikan oleh peraturan yang lebih rendah. Kedua, disharmoni peraturan sejajar. Akibatnya, terdapat berbagai macam kementerian/lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengatur pengelolaan SDA tanpa saling koordinasi bisa mengeluarkan kebijakan yang tumpang tindih terhadap sebuah lokasi.

Hal ini diperburuk dengan perilaku aparat birokrasi kita yang dominan berwatak sebagai pemburu rente ekonomi. "Meski tumpang tindih, watak UU dan Peraturan tersebut relatif sama yaitu lebih pro kepada investasi skala besar ketimbang perlindungan ekonomi rakyat," jelas Iwan.

Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan, pemerintahan SBY bisa saja berhasil melakukan reforma agraria jika mampu mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada Kamis, 16 Mei 2013 lalu.

Putusan itu bisa menjadi pintu masuk dilakukannya reforma agraria di Indonesia, khususnya, yang menyangkut pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas wilayahnya. Putusan itu secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Putusan itu merevisi Pasal 6 Ayat (1) dan beberapa pasal lain yang terkait dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Lewat judicial review terhadap pasal-pasal tersebut yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, MK memutuskan untuk memindahkan posisi hutan adat dari hutan negara ke hutan hak. Putusan tersebut dianggap sebagai tonggak baru perjalanan politik agraria kehutanan di Indonesia, karena lewat putusan itu MK melegitimasi klaim pihak AMAN bahwa negara keliru memasukkan wilayah adat sebagai bagian hutan milik negara.

Putusan ini dianggap bisa menjadi langkah awal pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak, subyek hukum tersendiri dan pemilik wilayah adatnya. Hanya saja, menurut Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, dalam perjalanannya, implementasi putusan yang dikenal dengan nama putusan MK 35 itu tidaklah semudah yang dibayangkan.

SBY, kata Abdon, tidak menindaklanjuti putusan itu dengan membuat perpres atau inpres yang bisa membuat putusan itu diimplementasikan. "Presiden SBY sendiri pasca putusan MK ini sebenarnya sudah berjanji akan memimpin sendiri proses untuk mendaftar dan mengakui kepemilikan kolektif wilayah-wilayah adat di Indonesia. Janji itu dia ucapkan pada 27 Juni 2013 dalam pertemuan Tropical Forest Alliance 2020," kata Abdon.

Dengan komitmen itu sendiri sebenarnya masyarakat adat berharap dengan segenap kewenangannya segera mengeluarkan inpres atau perpres yang bisa mengoperasionalkan putusan MK 35. Selain demi menjamin hak masyarakat adat sebagaimana diamanatkan Pasal 18 B Ayat (2) UUD 45, juga demi mengakhiri konflik agraria yang terus terjadi antara masyakat adat melawan negara/badan hukum.

Selain itu, dengan adanya jaminan ini, maka pemerintah sebenarnya juga turut menjaga kelestarian hutan. "Hutan terbaik ada pada kawasan hutan adat dibandingkan taman nasional," kata Abdon. Dalam kawasan hutan adat, kata dia, setidaknya ada masyarakat yang mengawasi dan melakukan perlawanan terhadap kegiatan yang merusak hutan.

Saat ini dari sekitar 70-80 juta hektare hutan, 40 juta diantaranya adalah kawasan hutan adat. "Dengan pengakuan atas hutan adat, setidaknya pemerintah ikut melindungi hutan seluas tersebut," ujarnya.

Selain mengeluarkan aturan, SBY juga dituntut untuk membentuk suatu badan untuk melakukan restitusi hak-hak atas wilayah adat. Tugasnya antara lain yang terpenting adalah menginventarisasi klaim-klaim masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya, membantu proses pengakuan eksistensinya dan perolehan legitimasi atas klaim tersebut. Selain itu mengusahakan pemberdayaan masyarakat hukum adat agar dapat menempuh pengakuan atas eksistensi dan klaim-klaimnya itu.

Sayangnya hingga menjelang akhir masa pemerintahannya, SBY dinilai AMAN belum terlihat akan melaksanakan janjinya itu. Mengingat waktu yang sudah semakin mendesak, AMAN sendiri selain terus berupaya menagih janji tersebut juga berharap agar pemerintahan dan parlemen baru yang terbentuk nanti akan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat adat. "Salah satu perwujudan keberpihakan itu adalah pemerintah segera melaksanakan putusan MK 35, DPR segera mengesahkan RUU PPHMA," kata Abdon.

BACA JUGA: