JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung akhirnya meningkatkan status perkara dugaan korupsi pemberian kredit PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) Pembiayaan Maritime kepada ‎anak usaha Meranti Group sebesar Rp1,3 triliun ke tingkat penyidikan. Seperti diketahui, PT PANN mengucurkan kredit kepada dua perusahaan yaitu PT Meranti Maritime dan Meranti Bahari.

Kredit itu sedianya dikucurkan untuk pembelian tiga kapal yakni KM Kayu Putih, KM Kayu Ramin dan KM Kayu Eboni. Dalam perjalanannya, ternyata pengucuran kredit ini berjalan tidak sesuai aturan. Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam kasus pemberian kredit yang merugikan keuangan negara.

"Sudah penyidikan, sprindik keluar kalau tidak salah minggu lalu," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah di Kejaksaan Agung, Selasa (26/7).

Namun Armin mengatakan penyidikan ini masih belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. "Penyidikannya masih umum. Penyidik akan memeriksa sejumlah pihak terkait, baik PANN Maritime dan pihak Meranti Grup untuk memperkuat alat bukti dalam menetapkan tersangka," tegas Armin.

Kata Armin, penyidik telah memeriksa dokumen kerjasama PT PANN dengan Meranti Group dan menemukan adanya dugaan tindak pidana. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menemukan dugaan mark up dalam pemberian fasilitas keuangan negara untuk pembelian kapal yang dilakukan oleh PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari.

Kasus ini bermula saat PT PANN mengucurkan kredit kepada perusahaan Group PT Meranti Maritime untuk pengadaan kapal Kapal KM Kayu Putih pada 2011 lalu. Namun dalam perjalanannya Kapal KM Kayu Putih ternyata tidak laik jalan dan tidak bisa beroperasi. Pembayaran cicilan kredit pun akhirnya mengalami kemacetan.

Lalu Kapal KM Kayu Putih ini dikembalikan dalam kondisi tidak baik. Saat itu utang tercatat yang belum dibayar kepada PT PANN mencapai US$18 juta dan Rp21 juta dengan jatuh tempo pembayaran pada tahun 2015 lalu.

Saat bersamaan PT Meranti Bahari, anak perusahaan dari PT Meranti Maritime, juga mendapat kucuran kredit dari PT PANN untuk membiayai pengadaan kapal KM Kayu Ramin sebesar US$27 juta dan Kapal KM Kayu Eboni sebesar US$27 juta. Dan yang dijadikan jaminan hanya kapal yang dibiayai tersebut tanpa disertai jaminan lainnya.

Tak hanya itu, PT PANN juga mengucurkan kembali kredit baru kepada PT Meranti Bahari sebesar US$9 juta untuk operasional eks pengadaan kapal Kayu Putih yang sudah dikembalikan sebelumnya. Bahkan tahun 2015 setelah itu PT PANN Pembiayaan Maritime kembali mengucurkan dana talangan tunai sebesar US$4 juta untuk operasional PT Meranti Maritime.

Dari sini dugaan bancak-membancak uang negara itu terjadi. Sebab pemberian dana talangan oleh PT PANN Pembiayaan Maritim diduga telah melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: 29/POJK.05/2014 tentang Penyelengaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan mengenai larangan pemberian dana talangan.

Dalam Pasal 52 Ayat (1) disebutkan: "Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara dana tunai kepada debitur."

MODUS KORUPSI - Awalnya kasus ini tak banyak yang tahu. Kasus ini mengemuka setelah adanya perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2015 silam. Kedua perusahaan diketahui dalam kondisi kesulitan keuangan. Ada utang terbesar kepada PT PANN yang jumlahnya mencapai Rp1,3 triliun.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang menyebut dirinya Kawal Uang Rakyat Indonesia (KURI) mencium aroma tak sedap dalam pemberian fasilitas kredit ini. Pasalnya PANN Maritime berkali-kali menyalurkan kredit ke Meranti Grup padahal kredit sebelumnya belum dibayar alias macet.

Direktur Eksekutif KURI Leonardus Pasaribu menduga telah terjadi pesekongkolan yang sangat sistematis dalam mengemplang uang negara dengan modus pemberian fasilitas pembiayaan pengadaan kapal oleh PT PANN Pembiayaan Maritim kepada dua perusahaan Meranti Group senilai Rp1,3 triliun, termasuk dana talangan.

Modusnya, PT PANN akan mengajukan tagihan kepada PT Meranti Bahari melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tapi tujuanya mengemas seolah-olah antara PT PANN dengan dan PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari hanya kredit macet biasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, seorang debitur diizinkan menawar pengurangan pembayaran utangnya kepada kreditur atau inisiatif debitur. Dengan memintakan proses ini kepada pengadilan artinya seolah-seolah PT PANN sudah melakukan upaya penagihan kepada PT Meranti.

KURI pun akhirnya pada akhir Januari lalu melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KURI mendesak KPK memeriksa direksi PT PANN Pembiayaan Maritime yakni Suhardono (Presiden Direktur), Herry S. Soewandi (Direktur Keuangan), Libra Widiarto (Direktur Operasional) serta Direktur sekaligus pemilik PT Meranti Maritime dan Meranti Bahari, Henry Djuhari. Namun Kejaksaan Agung melangkah lebih dulu untuk mengusut dugaan korupsi PT PANN.

BACA JUGA: