JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tragedi serangan bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur yang menewaskan lima orang dan puluhan orang luka-luka mendorong Presiden menyerukan agar pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Terorisme. Alasannya agar aparat penegak hukum  memiliki landasan yang kuat dalam bertindak dan lebih mampu melakukan upaya pencegahan sebelum kejadian itu terjadi.

"Ini yang paling penting," kata Presiden Jokowi usai meninjau lokasi ledakan teror bom Kampung Melayu, Jakarta Timur pada Kamis (25/5) malam.

Presiden mengatakan, terorisme sudah menjadi masalah semua negara, menjadi masalah dunia. Negara-negara lain memiliki Undang-Undang yang memudahkan aparat untuk menyelesaikan sebelumnya sebelum peristiwa itu benar-benar terjadi.

Presiden juga mengungkapkan dari melihat peristiwa teror bom di Kampung Melayu, maka penyelesaian revisi Undang-Undang Anti Terorisme merupakan sebuah hal yang mendesak.

Pembahasan revisi Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Anti-terorisme) di DPR belakangan memang terkesan maju mundur dan lambat. Revisi UU yang ditargetkan selesai awal Januari 2017, terpaksa mundur dan ditargetkan kelar pada Maret 2017. Namun lagi-lagi molor  dan akan ditaget ulang akan disahkan pada Mei 2017.

Kelambanan pembahasan RUU Anti-terorisme itu sempat dikeluhkan oleh  Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly. Bahkan Yasona, sempat mengkhawatirkan tidak kunjung rampungnya pembahasan revisi justru akan menyulitkan jika terjadi teror.  

Ia sempat mengkhawatirkan serangan teroris akan meningkat seiring kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memicu gejolak perlawanan terorisme.

Yasonna mengakui terhambatnya pembahasan revisi UU Terorisme karena masih adanya perbedaan antara pemerintah dan DPR soal perluasan dan definisi UU tersebut.

Menanggapi laporan Menteri Yasonna, presiden pada Februari lalu telah memerintahkan agar pembentukan UU terorisme itu dipercepat.

Soal penyebab kelambatan proses penyusunan ini, baik pemerintah maupun DPR juga saling tuding. Pemerintah mengeluhkan pembahasan UU Terorisme yang tak kunjung selesai. Disisi lain DPR juga mengeluhkan sikap pemerintah yang dituding menjadi penyebab kelambatan proses pembahasan RUU.

Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Anti-terorisme menuding pemerintahlah yang seolah menunda atau mengulur proses pembahasan dengan ketidakhadiran mereka pada rapat rapat pembahasan.

"Saya tidak tahu masalahnya apa tapi yang jelas pemerintah ingin menunda atau mengulur proses pembahasan di pansus ini. Sementara semua fraksi di Pansus sudah siap," ujar Wakil Ketua Pansus Hanafi Rais, pebruari lalu.

Menurut Hanafi, pihaknya sudah proaktif. Seluruh fraksi juga sudah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tepat waktu. Namun, pemerintah dinilai kerap membatalkan pertemuan secara sepihak dengan berbagai alasan.

Menurut anggota Panja Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme Arsul Sani, sudah 15 hari jika ditotalkan penundaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Dijelaskan Sani keterlambatan penyusunan UU Teroris tidak hanya karena perbedaan sudut pandang DPR dan Pemerintah. Tetapi antara keduanya juga tidak ada kekompakan.

Ada pun alasan lainnya, karena anggota panja juga tidak bisa bekerja setiap hari. "Karena masing-masing anggota  memiliki agenda lain di komisi," ujarnya beberapa waktu lalu.

Namun Ketua Tim Pemerintah dalam RUU Terorisme, Enny Nurbaningsih menolak tudingan bahwa pembahasan RUU dinilai lambat. Ia beralasan
ada prosedur yang harus dilalui, seperti penyampaian draf revisi oleh pemerintah hingga penyusunan DIM per fraksi yang memakan waktu cukup lama. Sementara proses pembahasan di tingkat Panja, baru berlangsung pada Januari lalu.

"Rancangan UU tidak bisa diputuskan sepihak. Kami harus melihat dan mempertimbangkan beberapa aspek menyangkut pihak berkepentingan dengan isi UU itu," kata Enny beberapa waktu lalu.

Selain dari Kementerian Hukum dan HAM, pembahasan revisi UU Teroris juga melibatkan pihak Kepolisian, TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tim pembahasan RUU dari pemerintah itu tediri dari 30 orang anggota.
 

PASAL-PASAL KRUSIAL UU TERORISME - Permintaan agar revisi UU Terorisme segera diselesaikan sebenarnya tidak hanya datang dari Presiden Joko Widodo, sebelumnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga telah "meneriakan" agar pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diselesaikan. Alasannya UU tersebut akan menjadi senjata bagi aparat keamanan dalam melawan terorisme.

"Kalau kita payung (hukum) undang-undang ekstra untuk melawan teroris, ya sama saja kita melawan mereka dengan tangan terikat," ujar Wiranto, beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui pembahasan itu menghadapi kendala. Selain tidak kompaknya pemerintah dan DPR. Substansi materi pembahasan juga menghadapi banyak tantangan.  

Dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan fraksi di DPR. Menurut anggota Panitia Khusus (Pansus) Terorisme, Arsul Sani ada sejumlah pasal krusial  yang dipermasalahkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) pernah memberi catatan adanya sejumlah pasal bermasalah dalam RUU revisi UU Terorisme. Diantaranya;

Pasal 1 (8)
“Deradikalisasi adalah proses tindakan yang dilakukan dengan tujuan agar orang perseorangan atau kelompok orang yang tidak melakukan perbuatan atau pemikiran yang menuntut suatu perubahan yang diungkapkan secara keras atau ekstrim yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme.”

Menurut mereka, sejauh ini tidak ada indikator yang jelas mengenai "keras atau ekstrem." Perlu ada indikator yang jelas mengenai perbuatan dan pemikiran yang keras atau ekstrem. Sebab penafsiran atas pemikiran keras ini dapat melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi dan mengarah pada tindakan negara untuk melakukan penangkapan secara sewenang-wenang. Akan muncul subjektivitas bagi aparat penegak hukum di lapangan dalam mengidentifikasi “keras” atau “ekstrem.”  

Pasal ini dinilai akan bertentangan dengan pasal 28E dan 28I UUD 1945 yang menjamin kebebasan menyatakan pikiran. Serta bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18 dan 19 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal  18 dan 19 mengenai kebebasan berpikir, pendapat, dan berekspresi. Serta berpotensi melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
 
Pasal 6;  
"Dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

Penerapan pidana mati berpotensi pelanggaran hak atas hidup sebagaimana yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya Pasal 6(1) Pasal 6(2).
Dimana putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut.
 
Pasal 12 B;
"Selain pidana pokok, setiap warga negara Indonesia yang merupakan pelaku Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan paspor.

Pasal ini berpotensi pelanggaran hak individu dalam hal ini adalah hak untuk berpindah tempat serta hak untuk mendapatkan pengakuan kebangsaan atau kewarganegaraan. Pencabutan kewarganegaraan atau kebangsaan bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Pasal 13 A;
"Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan  yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau
kelompok tertentu yang mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun."

Pasal ini berpotensi multitafsir pada kategori tindakan anarkisme atau merugikan kelompok tertentu, Potensi pelanggaran hak ini dapat terjadi karena ada subjektivitas hukum aparat penegak hukum di lapangan seperti pada  serangkaian aksi massa untuk menuntut haknya seperti kelompok buruh atau kelompok masyarakat yang ditujukan pada kelompok tertentu seperti korporasi
atau pejabat pemerintahan. Mereka dapat dikategorikan oleh negara sebagai kelompok yang merendahkan harkat dan martabat sehingga bisa dijerat UU Anti Teror Bertentangan dengan DUHAM

Pasal 28;
"Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari."
Pasal ini berpotensi penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang  selama proses penangkapan. Penambahan waktu penangkapan jauh
berlebihan dari standar waktu yang diatur di KUHAP, yaitu 30
hari.

Pasal 43A (1);
"Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum d alam waktu paling lama 6 (enam) bulan.”
(2)Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi: ... c. deradikalisasi
(4)
Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap: ...
g. orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak PidanaTerorisme Potensi penyalahgunaan pasal  "Deradikalisasi" sebagai bentuk penyekapan.

Tidak ada ukuran dan penjelasan jelas mengenai deradikalisasi. Kemudian program/metode deradikalisasi itu sendiri tidak jelas apakah nantinya akan berbentuk seperti fasilitas rehabilitasi pengguna narkoba atau dalam bentuk lain.

Mengenai program ini juga tidak mengatur tata cara menempatkan seseorang yang akan ditempatkan untuk deradikalisasi, seperti kesepakatan secara sadar dengan calon orang yang dituju. Termasuk belum ada rekam jejak yang jelas terhadap "orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme" untuk program deradikaliasi yang rentan disalahgunakan untuk menyekap individu tertentu untuk kepentingan politik.

Tindakan ini berpeluang bertentangan dengan pasal 28E dan 28I UUD 1945 yang menjamin kebebasan menyatakan pikiran,

Selain itu kontras juga memberikan catatan tentang beberapa hal, diantaranya RUU  tersebut tidak  menyantumkan  perihal  ruang  pengawasan  pada  fungsi  anti-teror. Terlebih  yang  melibatkan  model  operasi  lintas  institusi keamanan.  

Fungsi  dan  keterlibatan  Badan  Nasional  Penanggulangan  Terorisme  (BNPT)  yang  dicantumkan  pada  Pasal  43A  (5)  untuk kepentingan kebijakan dan strategi nasional. Patut diingat bahwa BNPT bukanlah Dewan Keamanan Nasional yang berhak memutuskan pola,  strategi  dan  kebijakan  keamanan,  termasuk  anti-teror  di  Indonesia.  Badan  ini  hanyalah  mengkoordinasikan  penanganan  anti-teror, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan nasional Penanggulangan terorisme.

BACA JUGA: