JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua terdakwa dugaan kasus tindak pidana korupsi yang kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali berbuat ulah. Mereka adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Keduanya membuat surat protes atas aturan yang ada di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang Kelas I Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya, ia kembali dikenai sanksi tidak boleh dijenguk para koleganya selama satu bulan yaitu sejak 13 November 2014 hingga 12 Desember 2014.

Kepala Bagian Informasi dan Pemberitaan Priharsa Nugraha mengungkapkan, alasan dihukumnya Akil karena bukan sekadar membuat surat protes. Tetapi, dalam surat itu, juga mengandung unsur penghinaan dan menghalangi kerja petugas.

"Karena mereka memprotes aturan rutan, namun dalam surat tersebut dianggap ada unsur menghina, menghalang-halangi petugas dalam menjalankan tugas. Sesuai aturan permenkumham masuk kategori pelanggaran berat," kata Priharsa saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (26/11).

Mendengar kabar tersebut, Ketua Tim Kuasa Hukum Anas Urbaningrum, Adnan Buyung Nasution langsung menyambangi kantor KPK. Ia ingin mengkonfirmasi langsung hal itu kepada mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR tersebut.

"Saya mau denger langsung dari Anas apa permasalahannya dan kenapa sampai bisa terjadi," kata Buyung di Gedung KPK, Rabu (26/11).

Menurut Buyung, dilarang dijenguk merupakan sanksi yang amat berat bagi seorang narapidana. Sebab, mereka tidak bisa berinteraksi dengan keluarga yang notabene selalu menjadi penyemangat atas musibah yang sedang dialami. Sanksi itu, lanjut Buyung, tentu sangat menyakitkan hati.

Ia menceritakan pengalamannya ketika didalam tahanan tidak boleh dijenguk keluarganya. "Saya dulu 13 bulan loh tidak boleh dijenguk. Itu di zaman otoriter. Sekarang kan bukan zaman otoriter lagi. Tidak boleh begitu dong. Orang protes itu kan hak asasi manusia, apa salahnya orang protes," tandasnya.

Sependapat dengan Buyung, Pengacara Akil Mochtar Adardham Achyar saat dikonfirmasi secara terpisah juga mempertanyakan sanksi yang diberikan kepada kliennya itu. Menurutnya, sanksi itu sangat berlebihan karena, surat itu hanya mengkritisi Kepala Rutan KPK Arifudin yang dianggap tidak maksimal dalam bekerja.

"Jadi rupanya bagi KPK protes itupun merupakan pelanggaran berat sehingga perlu diberikan sanksi. Serem lah pokoknya," kata Adardham.
 
Adardham menjelaskan, jika sebelumnya Akil dikenai sanksi karena membuat keributan di Rutan, ia pun memahaminya. Begitu pula saat kliennya tersebut kembali diberikan sanksi serupa ketika tertangkap membawa telepon seluler ke dalam tahanan, Adardham juga tidak mempermasalahkannya.

Namun, jika protes secara tertulis kemudian itu dianggap sebagai pelanggaran serius tentunya patut dipertanyakan. Dengan begitu, sambungnya, KPK seakan lembaga yang tidak boleh dikritik apalagi oleh narapidana yang kasusnya ditangani sendiri oleh penyidik KPK.

"Makanya udahlah saya sebetulnya udah enggak berani ngomong, karena omongan kita itu enggak ada nilainya, yang bener itu cuma KPK. Udahlah kita manut ajalah sama KPK," ucapnya pasrah.
 
Adardham pun tidak mengetahui ada larangan tidak boleh mengajukan keberatan di Rutan. Namun, ia mengaku tidak ingin mempertanyakan hal itu kepada KPK, sebab selama ini lembaga antirasuah itu sepertinya juga antipati terhadap kritik.

Ia menganggap, apapun yang dikatakan KPK merupakan hukum yang harus dipatuhi terutama oleh narapidana. "Coba deh dikonfirmasi aja ke humasnya, apalagi sih ini, bilang aja pengacaranya ilmunya kurang untuk bisa menjelaskan itu. Karena kan mengemukakan pendapat itu adalah hak yang dijamin konstitusi," imbuhnya.

Akil Mochtar memang tidak pernah berhenti membuat sensasi. Ia merupakan terdakwa pertama yang dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta. Kemudian, pada tingkat banding, permohonannya pun ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Akil juga mencatat hattrick dengan tiga kali mendapat sanksi dilarang dijenguk selama ditahan di Rutan KPK. Pertama, ia beradu mulut dengan mantan Walikota Bogor Rachmat Yasin mengenai jumlah anggota keluarga yang boleh membesuk ditahanan. Atas perbuatannya ini, ia diganjar hukuman satu bulan larangan dijenguk.

Kemudian, ia juga tertangkap memiliki ponsel bersama beberapa tahanan lainnya termasuk Anas Urbaningrum. Oleh KPK, ia pun kembali dijatuhi hukuman yang sama. Dan kali ini, surat protesnya yang kembali dibuat bersama Anas, juga berujung hukuman serupa.

Terhitung, dalam kurun waktu tiga bulan sejak Agustus 2014 hingga November 2014 ia telah tiga kali diberikan sanksi. Sedangkan koleganya Anas Urbaningrum, membuntuti "rekor" tersebut dengan dua kali dijatuhi sanksi serupa.

BACA JUGA: