JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beredarnya isu di sebuah akun sosial media yang menyebutkan ada oknum guru di Jakarta International School yang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada siswa-siswi JIS, rupanya menjadi perhatian pihak JIS. Dalam konferensi pers yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (21/4), Kepala Sekolah JIS Timothy Carr membantah keras isi tuduhan di akun sosial media tersebut. "Tidak ada kasus lain yang serupa akhir-akhir ini, dan tidak ada guru yang turut melakukan aksi tersebut!" ungkapnya.

Timothy mengatakan, dia percaya, guru-guru JIS merupakan orang yang mempunyai banyak kasih sayang kepada anak. Alasannya, merupakan guru yang diangkat berdasarkan rekomendasi kedutaan besar Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Dia membantah pihak JIS sengaja menutupi kasus ini dan tidak memberikan akses kepada pihak luar untuk mengetahuinya. "Kami terbuka pada pihak luar, hasil investigasi nantinya akan diberitahukan kepada sekolah, keluarga korban, dan kepolisian," ujarnya.

Bahkan, dikatakan Timothy, pihaknya juga mendayagunakan duta besar Australia, Amerika, dan Inggris untuk ikut melakukan investigasi. Dia bilang, JIS tidak melarang pihak keluarga korban merahasiakan apa yang terjadi, tetapi itu merupakan permintaan pihak orang tua sendiri yang diluluskan pihak JIS. "Ketika kasus ini mencuat kami tetap menghormati privasi korban dan keluarga," ujar Timothy.

Dia juga membantah mencoba mengaburkan tempat kejadian perkara dengan membangun ulang toilet yang menjadi TKP kekerasan seksual itu. "Perubahan TKP tidak akan merubah apapun, pihak kepolisian sangat ketat dan kami telah menunjuk Wakil Kepala Keamanan Sekolah untuk membantu," sanggahnya.

Sebelumnya, beredar sebuah pengakuan lewat satu akun di sosial media yang menyebut guru-guru asing di JIS kerap melakukan kekerasan seksual terhadap murid JIS. Akun bernama Noorani itu menuliskan pesan dalam bahasa Inggris yang intinya menyatakan guru-guru "barat" telah melakukan kekerasan seksual kepada murid-murid JIS selama bertahun-tahun dan tidak ada ketahuan serta tak ada yang berani mengungkapkannya.

""                                         Akun Milik Noorani (sumber: Istimewa)

"JIS. How ironic. Those western teachers have been sexually abusing the jis students for years and years and no one gets caught and no one dares to speak. Some sick cleaner finally reveals just how unsafe schools are but what parents don´t know is just how sick those teachers can get. Trust me. I spent nearly all my Indonesia life in JIS." Demikian ungkap akun tersebut.

Ungkapan itu ditanggapi oleh akun lain bernama Khe. Dan Akun Noorani menanggapi dua kali, dengan kalimat yang tidak pantas diungkapkan di sini.

Terlepas dari benar tidaknya informasi yang diungkap akun tersebut, pihak kepolisian sendiri dituntut untuk tidak sekadar mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dua tersangka tersebut saja. Boleh jadi kasus ini sendiri merupakan puncak gunung es dari kasus-kasus lain yang bisa saja benar-benar terjadi seperti yang diungkapkan oleh akun Noorani tersebut.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh psikolog sekolah Tri Puspitarini, M. Psi., beberapa waktu lalu, kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak memang kerap sulit terungkap, karena pelakunya adalah sosok yang dikenal secara dekat atau seseorang yang tidak tampak mengancam. "Pelaku yang merupakan sosok yang dikenal baik oleh anak-anak akan jauh lebih mudah melaksanakan aksinya, tanpa adanya perlawanan seketika," ujarnya kepada Gresnews.com beberapa waktu lalu.

Anak-anak cenderung akan bersikap penurut dan lebih manis pada mereka yang dikenalnya atau figur yang seharusnya menjadi panutannya atau melindunginya, seperti orang tua, guru, sepupu, paman, pelatih, dan lain-lain. "Hal inilah yang juga menyebabkan kasus pelecehan seksual pada anak menjadi lebih lambat terungkap," ujarnya.

Pada kasus kekerasan/pelecehan seksual yang terungkap, biasanya korban telah mengalami beberapa kali perlakuan, dan baru terungkap belakangan setelah mengalami beberapa fase. Biasanya anak tidak langsung melaporkan apa yang dialaminya, karena berbagai keterbatasannya sebagai anak. "Terutama pada anak-anak yang masih terbatas secara verbal," kata Tri.

BACA JUGA: