JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Melalui Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-IV-796/C/11/2015, sebanyak 82 jaksa mendapatkan  promosi dan mutasi jabatan. Termasuk di dalamnya promosi terhadap jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Kristiana yang sebagai Kepala Bagian Pelatihan dan Manajemen Badan Pendidikan dan Latihan Kejaksaan Agung, serta  Maruli Hutagalung yang mendapat promosi sebagai Kajati Jawa Timur.

Namun promosi maupun mutasi di Kejaksaan itu disoroti publik. Mereka menilai sistem promosi dan mutasi tersebut tidak berbasis kinerja tetapi karena faktor lain. Misalnya promosi terhadap jaksa Yudi dan Maruli yang ditengarai memiliki kepentingan lain. Promosi tersebut kental berbau penyelamatan kasus bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang disebut-sebut menyeret Kejaksaan Agung.

Diketahui Jaksa Yudi merupakan ketua tim jaksa penuntut umum dalam kasus suap OC Kaligis dan Patrice Rio Capella. Dalam persidangan mereka, baik Gubernur Sumut non aktif Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti menyebut ada aliran dana ke Maruli dan Kejaksaan Agung.

Namun Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan promosi jabatan yang diberikan untuk Yudi merupakan hal yang wajar dilakukan. Ia juga menampik pandangan adanya hubungan antara promosi jabatan Yudi dengan keberlanjutan beberapa perkara yang sedang ditangani KPK saat ini.

"Yudi masih tetap bekerja di KPK hingga kasus yang ditangani selesai, tidak ada kepentingan lain. Dia hanya dipanggil untuk berkarya di kejaksaan," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (20/11).

BERBAU TRANSAKSIONAL - Banyak persoalan dalam promosi jaksa. Salah satunya menurut Pakar Hukum Tata Negara Amril Sihombing,  tertutupnya informasi mekanisme penilaian dan seleksi jaksa di Kejaksaan Agung. "Tidak ada informasi bagaimana seorang jaksa duduk di jabatan struktural yang strategis," katanya.

Contoh gamblang adalah promosi Jaksa KPK Yudi Kristiana, eks Kajari Pontianak, dan promosi Direktur Penyidikan Pidana Khusus Maruli Hutagalung. Terpanas adalah seleksi promosi berebut kursi Kepala Kejati DKI Jakarta.
 
Menurutnya, sesuai perundang-undangan, baik promosi dan mutasi jaksa harus dilihat dari track record yang bersangkutan secara kualitas dan kuantitasnya. Sehingga sangat disayangkan, jika ada oknum jaksa yang tidak berprestasi dan diduga terlibat suatu pidana justru dipromosikan.

"Meski sudah ada aturan maupun standar operasional prosedur yang berlaku, sepertinya bidang Pembinaan Kejaksaan Agung tidak mengimplementasikan apa yang sudah ada dalam aturan tersebut. Wajah penegakan hukum di Indonesia pun makin tercoreng dan Nawacita Jokowi,” katanya.

Proses mutasi atau pun promosi seorang jaksa harus berdasarkan  kompetensi dan berbasis kinerja. Maka penempatan harus dilakukan dengan melihat masa bakti kerja para jaksa itu sendiri untuk di rolling. Selain itu, untuk seleksi tak masalah, asal tepat sasaran dan bukan asal penempatan. Jika sistem promosi mutasi berjalan profesional, maka jaksa akan memiliki motivasi untuk bekerja secara profesional dan berintegritas.

"Jaksa yang dipromosikan harus memiliki profesionalisme. Menguasai bidang, karirnya berprestasi. Pendidikan juga penting. Tapi jika penundaan pangkat karena faktor like and dislike, maka pimpinan tersebut tidak cakap menempati jabatan sebagai Kajati. Dan faktor egoisme pimpinan memang menjadi penyebab maraknya praktik transaksional kenaikan pangkat, " papar dia.

Mengenai isu terjadinya transaksional dalam mutasi para jabatan yang beredar di tengah masyarakat, Amril menyatakan  Jaksa Agung Pembinaan telah melanggar PER-067/A/JA/07/2007. Perja itu terdiri dari 14 kewajiban dan 8 larangan. Salah satu kewajiban Jaksa butir huruf (a) mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Larangan bagi Jaksa butir huruf (a). Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Sedangkan, butir huruf (f) dilarang bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun.

"Selain itu  Jambin juga bisa melanggar dokrin Tri Krama Adhyaksa yaitu Satya Adhi Wicaksana dan Ketentuan 7 Tertib. Bila itu dilakukan maka sebagai pimpinan tidak menunjukkan keteladanan. Hal ini justru  menjadikan para jaksa tidak semangat kerja. Kompetisi karir jadi tidak sehat," tandasnya.

REFORMASI KEJAKSAAN - Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu mendesak Kejaksaan Agung harus mengevaluasi kondisi ini. Sebab, mutasi dan promosi harus dilakukan kepada jaksa yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan.

Ke depan, kata politisi PDIP ini, bangsa ini akan menghadapi persoalan hukum yang sangat luar biasa. Baik itu hukum nasional, maupun internasional. Karenanya diperlukan jaksa yang cakap dan profesional.

"Bila perlu ada kajian, mulai dari penelitian administrasi, integritas dan SOP yang profesional. Jambin harus bertanggungjawab dalam posisi saat ini," kata Masinton.

Untuk itu, dirinya berharap jika Jaksa Agung HM Prasetyo dicopot oleh Presiden, Jaksa Agung yang baru harus bisa memperbaiki sumber daya manusia di kejaksaan, memenuhi sistem anggaran,  reformasi birokrasi kejaksaan harus dilakukan oleh Jaksa Agung yang baru.

Karena, salah satu mandat dalam Inpres 7 Tahun 2015 dan Program Nawacita untuk dilaksanakan oleh kejaksaan adalah melakukan lelang jabatan strategis pada lembaga penegak hukum dan pembentukan regulasi tentang penataan aparat penegak hukum. "Kita ingin lembaga kejaksaan ini bisa lebih baik," kata Masinton.


BACA JUGA: