JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang perluasan subjek Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat No 6, Kamis (19/1). Kali ini, pihak terkait Persatuan Islam Istri (Persistri) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menghadirkan masing-masing satu orang ahli.

Dalam paparannya, ahli yang dihadirkan Persistri adalah Aliah B. Purwakania. Ia menerangkan, adanya sanksi hukum bagi para pelaku zina maupun homoseksual merupakan bagian dari upaya memberi perlindungan terhadap masyarakat. Sedang ditinjau dari aspek Ilmu Psikologi, Dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia itu menilai, langkah memberikan hukuman merupakan upaya preventif untuk mencegah dampak buruk suatu perilaku.

Menurutnya, dengan memberikan hukuman kepada pelaku zina maupun homoseks, demikian pula terhadap kalangan LGBT, manfaat yang didapat akan lebih besar ketimbang bertindak permisif membiarkan perilaku-perilaku itu merajalela.

Selain itu, Aliah juga berpendapat, pemberian sanksi hukum terhadap pelaku zina maupun homoseks dapat menurunkan angka pelaku tindakan-tindakan tersebut. Sektor pendidikan yang juga memiliki komitmen untuk menjaga masyarakat dari perilaku-perilaku seperti itu akan menjadi lebih kuat seiring munculnya aturan hukum yang jelas. Sanksi hukum juga dinilai Aliah berfungsi untuk menghindari potensi kriminalisasi bagi para pendidik yang dengan jelas kerap menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap perilaku zina, homoseks, maupun faham LGBT.

"Hukuman terhadap perzinaan itu bisa dilakukan dan sebetulnya itu yang kita harapkan," kata Aliah, di hadapan majelis hakim MK, Kamis (19/1). Adapun mengenai bentuk sanksi yang diberikan, Aliah berpendapat bahwa untuk kasus-kasus susila seperti zina, cabul, homoseksual, dan LGBT, para perumus undang-undang serta aparat penegak hukum dapat mengambil contoh dari sanksi yang diberikan kepada korban narkoba, yakni lewat cara rehabilitasi.

Sehabis persidangan, Aliah juga memaparkan bahwa lewat sidang judicial review tersebut, pihaknya berusaha mengingatkan para hakim dan seluruh pihak terkait akan Teori Fitrah. Menurut Aliah, pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali potensi untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk—lewat akal maupun dorongan nafsu. Adapun fitrah manusia menurutnya adalah heteroseksual.

"Jadi ada kebutuhan, yang tidak hanya bersifat biologis tapi juga bersifat psikologis. Dan jika terjadi misalkan hubungan sesama jenis, sebetulnya hal itu memaksa sekaligus mengarahkan pelaku hubungan sesama jenis pada kebutuhan psikologis yang menyimpang dari fitrahnya. Itu yang kemudian bisa menimbulkan berbagai masalah seperti depresi pada individu-individu LGBT dan sejenisnya," papar Aliah kepada gresnews.com.

Aliah menekankan pentingnya norma hukum untuk meminimalisasi jumlah kaum LGBT, karena dampaknya akan berbahaya untuk kelangsungan hidup umat manusia ke depannya. "Di Jerman, jumlah penduduk mengalami penurunan setelah pemerintah di sana melegalkan pernikahan sesama jenis," katanya.  

Aliah juga menyinggung perdebatan yang selama ini berlangsung di kalangan para Psikolog—apakah persoalan LGBT merupakan nature atau nurture. "Perdebatannya, apakah LGBT itu dipengaruhi lingkungan atau bawaan genetika? Dalam hal ini, kita harus melihat bahwa lingkungan itu juga sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Jadi kita lihat memang di sini norma hukum itu penting," pungkasnya.
SULIT DIRUMUSKAN - Sementara itu, menurut dosen Hukum pada Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, andai permohonan Euis Sunarti dkk dikabulkan, hal paling berat dan diduga bakal menimbulkan perdebatan panjang adalah soal rumusan aspek pidananya. Ahmad menerangkan, di kalangan pakar hukum pidana, zina hanya didefinisikan sebagai hubungan seksual di luar penikahan.

Definisi itu diterima tanpa menimbulkan banyak perdebatan. Tetapi ketika hendak dimasukkan ke dalam delik pidana, lebih luas dari delik aduan, di situ mulai muncul perdebatan. "Konsepnya setuju, zina adalah hubungan seksual di luar pernikahan. Tetapi ketika hendak dipidanakan, para ahli tidak setuju dengan itu karena unsur-unsurnya agak susah diterapkan. Menerapkan pasal susila tidak semudah yang kita bayangkan," kata Ahmad saat ditemui gresnews.com usai persidangan, Kamis (19/1).

Menurut Ahmad, andai subjek zina akan diperluas, maka makna zina itu sendiri harus didefinisikan kembali. Sedang jika definisnya diambil dari pandangan umum bangsa Indonesia, maka definisi yang muncul akan sangat beragam. "Ada yang menyatakan bahwa zina itu berlaku ketika salah satu pelakunya sudah menikah, atau kedua-duanya sudah menikah. Kemudian ada juga yang menyatakan bahwa perbuatan zina itu pelakunya tidak mesti sudah menikah. Itu menimbulkan kesulitan karena norma di dalam masyarakat sendiri berbeda-beda dalam melihat perbuatan zina ini sebagai perbuatan tercela atau bukan," papar Ahmad.

Pertanyaannya kemudian, menurut Ahmad, adalah bagaimana mengakomodasi norma-norma yang berbeda di dalam masyarakat itu ke dalam satu ketentuan yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurutnya, ketentuan-ketentuan di dalam KUHP haruslah berlaku secara universal. Dengan kata lain, andai permohonan Eusi Sunarti dkk dikabulkan, Ahmad khawatir golongan masyarakat yang menilai bahwa perbuatan zina bukan perbuatan tercela—misalnya dianggap bukan perbuatan tercela andai dilakukan oleh orang yang tidak terikat pernikahan—maka hal demikian hanya akan menyeret orang-orang yang dianggap tidak bersalah ke ranah pidana. Persoalan semacam inilah yang berpotensi menambah masalah laten over-kriminalisasi.

"Jika deliknya dibuat sangat terbuka, penjara akan penuh dengan orang-orang yang tidak bersalah namun bisa dipidana. Over kriminalisasi. Di sisi lain, delik itu bisa juga disalahgunakan oleh penegak hukum untuk menakut-nakuti masyarakat. Itu yang berbahaya. Itu yang harus dipikirkan. Ketika suatu delik dirumuskan, jangan sampai delik itu disalahgunakan," beber Ahmad.

Ahmad bersikeras bahwa persoalan zina atau hubungan seksual merupakan domain privat, bukan domain publik. Terkait itulah Ahmad kembali menekankan, jika zina akan dikategorikan sebagai urusan publik, unsur-unsurnya sudah harus sangat jelas. Rumusannya akan sangat susah dan debatable. Harus dirumuskan, zina itu ditafsirkan apa?" katanya.

Terakhir, Ahmad berpendapat bahwa aturan yang ada saat ini, khususnya Pasal 284 KUHP, telah memiliki kepastian hukum. Menurutnya, perilaku zina yang diatur di dalam KUHP sekarang memberikan perlindungan terhadap lembaga perkawinan. "Jadi jika salah satu pihak sudah menikah, dilindungi oleh pasal itu, Pasal 284. Itu untuk melindungi keturunan juga sebetulnya," kata Ahmad. Ahmad juga menerangkan bahwa pasal yang berlaku saat ini juga diakui di banyak negara sebagai delik aduan.

"Ini bukan hanya berlaku di negara-negara non-Islam, di negara-negara Islam juga persoalan zina masuknya delik aduan," pungkas Ahmad.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, uji materil Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP ini dimohonkan oleh sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda, dari kalangan akademisi hingga aktivis sosial. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya karena pasal yang saat ini mengatur persoalan perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut dinilai tidak memiliki kepastian hukum terkait perlindungan terhadap para pemohon, baik sebagai pribadi, keluarga, maupun masyarakat.

Sidang yang digelar pada Kamis (19/1) ini tampak akan memasuki babak akhir untuk perkara yang teregistrasi dengan nomor 46/PUU-XIV/2016 tersebut. Pihak terkait yang masih memiliki kesempatan untuk menghadirkan ahli, yakni Persistri dan YLBHI, masing-masing menyebut akan menghadirkan dua orang ahli lagi pada persidangan berikutnya.

Persistri menyebut, salah satu ahli yang akan mereka hadirkan adalah ahli agama dari agama lain selain Islam. "Saya mendengar dari pihak Persistri bahwa ada ahli agama lain berkenan hadir dan ingin sekali hadir untuk menyampaikan bahwa mereka mendukung permohonan ini. Mereka tidak memberi tahu ahli itu dari agama apa, yang jelas beliau adalah salah satu ketua dewan agama yang ada di Indonesia. Beliau ahli agama," kata Titin Suprihatin, anggota Persistri, kepada gresnews.com.

Sementara itu, pihak YLBHI berencana akan menghadirkan ahli agama dan ahli HAM di persidangan berikutnya yang akan digelar pada Rabu (1/2) mendatang. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: