JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga Pemasyarakatan (lapas) sejatinya adalah tempat untuk membina narapidana bukan sekadar tempat menampung pelaku kejahatan. Jika hanya dijadikan penampungan, dipastikan lapas tak akan muat menampung para pelaku kejahatan di Indonesia. Ironisnya, semua itu ternyata terjadi di lapas-lapas di Indonesia saat ini.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah melakukan kunjungan ke sejumlah lapas di berbagai daerah. Diakuinya jika kondisi lapas di Indonesia masih memprihatinkan. Salah satu persoalannya karena minimnya sarana dan prasarana. Mulai dari pengawas yang kurang hingga kapasitas lapas yang berlebih alias over capacity.

Tentang kelebihan kapasitas lapas adalah fakta. Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk mengurangi jumlah narapidana yang masuk lapas. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga oleh Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM adalah mengurangi jumlah narapidana dalam lapas.

Ditjen Pemasyarakatan telah membangun 13 lapas baru di Indonesia yang dapat menampung sekitar 5.251 warga binaan. Namun hal itu belum menyelesaikan permasalahan kelebihan kapasitas saat ini. Dari 477 lapas yang ada di Indonesia termasuk 13 lapas baru tersebut telah menampung 169.697 warga binaan.

Sementara idealnya, total warga binaan yang dapat tertampung adalah 117.121, sehingga masih ada kelebihan kapasitas lebih dari 52.000, atau sebesar 145 persen.

Plt Dirjen Pemasyarakatan Ma´mun mengakui terjadi kelebihan kapasitas lapas meski telah dibangun Lapas baru. Ma´mun merencanakan sejumlah aksi untuk mengurangi jumlah penghuni Lapas. "Membangun Lapas baru tidak serta merta menyelesaikan masalah ini, itu butuh biaya mahal," kata Ma´mun kepada gresnews.com, Rabu (15/7).

PEMIDANAAN DI LUAR LAPAS - Salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan pemidanaan di luar penjara. Ma´mun mengatakan tidak semua narapidana serta merta harus dijebloskan ke lapas sebagai hukumannya. Ada beberapa terpidana kejahatan seperti para pengguna narkoba bisa dilakukan pemidanaan di luar lapas dengan cara rehab.

Para pecandu narkoba tersebut, kata Ma´mun, sebaiknya memang dimasukkan dalam pusat rehabilitasi. "Jika masuk lapas malah akan menciptakan pasar baru, mereka butuh pasokan kan," kata Ma´mun.

Dan sudah menjadi rahasia umum jika lapas merupakan tempat paling gampang mendapatkan pasokan narkoba. Dengan mudahnya narapidana berkerja sama dengan sipir mendapatkan narkoba. Syaratnya tentu harus ada uang untuk membeli.

Karenanya Ma´mun berpandangan para narapidana yang masuk pecandu akan lebih baik masuk rehabilitasi dibanding di penjara. Fungsi lapas pada dasarnya adalah untuk pembinaan.

Faktanya 50% lebih tahanan dan narapidana adalah terpidana kasus penggunaan narkoba.Pemakai narkoba yang seharusnya direhab, oleh penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum, majelis hakim sering dilakukan penahanan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk bisa direhab mesti membayar sejumlah uang.

Hal lain juga yang perlu ditekankan pemidanaan di luar penjara adalah penerapan pidana denda dan uang pengganti. Langkah tersebut diyakini juga bakal mengurangi kelebihan kapasitas di sejumlah lapas.

RESTORATIVE JUSTICE - Penerapan sistem restorative justice bisa menjadi alternatif baru pemidanaan. Sekaligus menjadi solusi over kapasitas lapas. Gagasan semacam ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan.

Ma´mun ikut mendorong diterapkannya model restorative justice ini. Menurutnya, narapidana di penjara bukan lagi sebagai bentuk hukuman tetapi untuk dilakukan pembinaan sebelum kembali ke masyarakat. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya.

Pembinaan dengan sistem restorative justice ini telah mulai dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan. Untuk kasus pidana pemula pembinaannya dilakukan pembinaan di masyarakat.

Terkait restorative justice ini, hasil kajian dari Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia tahun 2004 di tiga lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia perlu dipertimbangkan. Dari 300 responden, sebagian besar menganggap pembinaan yang mereka dapat di lapas bermanfaat untuk bekal hidup mereka nanti setelah bebas. Penjara membuat banyak napi sadar dan tobat.

Namun sebanyak 31,7 persen responden juga berpendapat sebaliknya. Sistem pemidanaan di lapas tidak bermanfaat. Kalaupun ada keterampilan, setelah keluar belum tentu diterima masyarakat. Angka ini cukup signifikan menggambarkan narapidana saat keluar masih kembali melakukan kejahatan.

Namun menurut Kriminolog UI Adrianus Meliala, penerapan sistem restorative justice ini tidak gampang. Kalau hanya diterapkan di lingkungan lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Model restoratif ini harus dimulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara disidik. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian.

MORATORIUM PP NO 99 TAHUN 2012 - Moratorium PP tentang Remisi ini juga dinilai penting untuk menyelesaikan masalah over kapasitas lapas. Dalam PP ini, narapidana kasus narkotika, teroris dan korupsi diperketat pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh pemerintah, sehingga mereka tidak bisa bebas tepat waktu sesuai Undang-Undang Pemasyarakatan.

Ma´mun mengungkapkan remisi merupakan hak setiap narapidana. Pemenjaraan bukanlah tempat balas dendam atau penghukuman. Tetapi lapas adalah tempat untuk membina mereka. Jika narapidana teroris, koruptor dan narkoba mengakui kesalahannya dan akan mengubah diri, maka remisi harus diberikan. "Itu adalah hak yang mesti diberikan jika insyaf," jelas Ma´mun.

Hanya saja wacana revisi PP Remisi ini sempat mengundang kontroversi, khususnya terkait remisi terhadap koruptor. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Abraham Todo Napitupulu beberapa waktu lalu pernah mengatakan, PP tersebut tak perlu direvisi lantaran selama ini saja belum pernah dijalankan.

"Begini yang jadi masalah karena PP 99/2012 itu sejauh ini kita rasa belum jalan. Itu saja. Pertimbangan KPK dimasukan atau tidak dimasukan, itu hanya bumbu manis saja," kata Abraham.

Abraham menyindir Menkum Yasonna yang dinilai tidak melakukan kajian mendalam sebelum melempar wacana ini. Keefektifan PP 99/2012 dipertanyakan sebagai acuan penegakan hukum untuk koruptor. Dari data tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), ia merincikan jumlah justice collaborator dan wistle blower juga masih minim.

"Pertanyaan terbesar apakah Menkum HAM sudah melakukan kajian apakah PP 99/2012 ini efektif atau tidak dalam memberikan remisi terhadap koruptor? Dari hasil pengamatan kami tidak. Dari laporan tahunan LPSK itu bisa dicek bahwa 8 justice collaborator dan whistle blower," sebut Abraham.

Lanjutnya, disinggung jumlah koruptor yang mendapat remisi sepanjang 2014 mencapai sekitar 254 orang. Data ini jelas menurutnya tidak cocok dengan keberadaan PP 99/2012 yang sudah disahkan sejak dua tahun lalu.

Dia menekankan tidak direvisi PP 99/2012 saja koruptor masih mudah mendapatkan remisi, apalagi kalau direvisi. "Pertanyaan kalau ini kita matchingkan dengan PP 99/2012 terkait persyaratannya dengan justice collabolator ini tidak maching, jadi tujuan ini direvisi jadi apa?" ujarnya.

Hanya saja ketika itu, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, dirinya sepakat jika pemberian remisi bagi terpidana korupsi, narkoba dan terorisme diperketat. Namun, ada yang harus diperbaiki dalam kebijakan yang diperkuat oleh PP No 99 Tahun 2012 tersebut.

"Saya setuju itu kita ketatkan, tetapi itu ujung sistemnya itu yang kita perbaiki. Ini kan melekatkan pemberian remisi pada sanksi lain yang seharusnya dalam sistem peradilan pidana itu di ujung. Kita buat sepakat kalau remisi pidana umum hampir 50 persen," ujar Yasonna beberapa waktu lalu.

Yasonna mengatakan, pihaknya adalah melakukan pembinaan dan masalah remisi adalah urusan dari Kemenkum HAM. "Sekarang ini misalnya, kalau ada menurut catatan kita orangnya sudah baik, sudah bertobat, orangnya sembayang baik, berlakunya baik, mau remisi, tapi karena misalnya tidak whistle blower minta izin ke KPK nggak dikasih," jelas Yasonna. (dtc)

BACA JUGA: