JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fenomena kemunculan hoax atau berita-berita palsu, informasi bohong yang sengaja disebar di media-media sosial, bahkan media massa sudah semakin mengkhawatirkan. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, saat ini, kemajuan teknologi informasi komunikasi membawa ikutan tidak hanya manfaat yang positif tetapi juga memberikan dampak yang negatif.

"Lalu lintas informasi begitu cepat dimana setiap orang dengan sangat mudah memproduksi informasi, melalui beberapa jenis media sosial seperti facebook, twitter, SMS, whatsapp dan lain-lain. Saking cepatnya, filter atas muatan komunikasi seringkali terabaikan," kata Fickar, dalam seminar bertajuk "Hoax: Antisipasi dan Penawarnya Melalui Literasi Media Sosial" di Aula Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Kamis (12/10).

Informasi melalui media sosial dan elektronik sangat berpengaruh terhadap emosi, perasaan, pikiran  bahkan tindakan seseorang atau kelompok dalam masyarakat. "Karena itu jika informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat bahkan informasi informasi bohong (hoax) dan  dengan judul yang sangat provokatif, akan mengiring pembaca atau penerima kepada pikiran dan opini yang negatif," kata Fickar yang menjadi salah satu pembicara di seminar yang diselenggarakan atas kerjasama gresnews.com, Telkom dan Universitas Trisakti tersebut.

Dalam perspektif hukum, hoax, kata Fickar, bisa diartikan sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. "Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya," ujarnya.

Untuk menangkal penyebaran hoax, pemerintah melalui Kementerian Kominfo juga sudah melakukan pemblokiran terhadap 6.000 an situs. "Tidak semua memuat hoax, namun dari 6.000 itu ada yang terkait hoax, selebihnya adalah SARA, terorisme dan sebagainya," ujarnya.

Kemudian, Fickar memaparkan, ada beberapa peraturan perundang-undangan untuk melawan dan mencegah meluasnya dampak negatif hoax, yaitu antara lain Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis

Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE  mengulas soal penyebaran berita bohong dan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Ancaman hukuman bagi mereka yang melanggar pasal-pasal ini adalah enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Sementara Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946, berkaitan dengan penyebaran atau pemberitahuan bohong dengan sengaja yang membangkitkan keonaran di masyarakat. Ancaman hukumannya pun terbilang tinggi, yaitu 10 tahun (Ayat 1).

Untuk Pasal 311 KUHP, kaitannya adalah dengan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis. Di sini, jika seseorang dituduh melakukan pencemaran nama baik secara lisan atau tulisan dan tuduhan itu ternyata tidak benar, maka pelakunya terancam pidana penjara paling lama empat tahun. Kemudian Pasal 378 KUHP, terkat dengan penipuan, yang ancamanya adalah penjara 4 tahun.

Fickar mengatakan, meski sudah ada berbagai perangkat hukum tekait hoax, namun ada dilema diantara penegakan hukum yang dilakukan terhadap para pelaku hoax disatu sisi dengan dengan pemblokiran terhadap situs-situs hoax. Di sisi lain juga penuntutan hanya terhadap pelaku hoax.

Kedua langkah yang dilakukan oleh negara dalam hal ini pemerintah, kata dia memang sudah seharusnya, namun bersamaan dengan itu jumlah penyebar hoax semakin besar (terutama terjadi pada momen-momen pemilihan kepala daerah). "Karena itu sangat disayangkan pemerintah hanya berhenti pada tindakan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs  hoax tanpa meminta pertanggung jawaban para pengelola media sosial," ujarnya.

Sementara si pembuat berita hoax masih dapat terus berproduksi menyebar hoax dan memperluas ruang gerak dengan nama dan situs yang lain. Menurutnya, konsepsi pelaku (dader) dalam hukum pidana tidak terbatas pada pelaku langsung, tetapi juga termasuk pihak-pihak yang menyuruh, membantu, memberi fasilitas dan kesempatan sebagaimana diatur Pasal 55 dan 56 KUHP sebagai pelaku penyertaan.

Menurut Fickar, penegakan hukum kasus hoax yang dilakukan pemerintah serta upaya-upaya pemblokiran yang dilakukan terhadap situs-situs penyebarnya, merupakan penindakan yang terkesan hanya dilakukan pada para pembuat hoax saja. "Tidak ada yang keliru atau salah dari tindakan itu, tetapi seharusnya tidak berhenti disitu, karena para pembuat hoax itu tidak akan pernah bisa mengartikulasikan dan mengumumkan produksi hoaxnya tanpa ada sarana media sosial yang menjadi sarananya," terangnya.

"Artinya tanggung jawab menghentikan Hoax ini tidak melulu ada pada pemerintah dan aparat penegak hukum, tetapi juga bisa diperluas kepada para pemilik atau penyedia social media  seperti FB, Twitter, Youtube dan sejenisnya," tambahnya.

Bentuk tanggung jawab itu dapat berupa pertanggung jawaban hukum sebagai bagian penyelesaian represif, bisa juga perusahaan penyedia media soaial diberi tanggung jawab pencegahan melalui aplikasi yang berfungsi sebagai sensor.

Demikian juga tindakan memblokir atau menutup situs meski didasarkan pada kewenangan yang diberikan undang-undang, namun efektivitasnya juga perlu dipertanyakan. Alasannya, pertama, penutupan website atau pemblokiran situs karena ada satu atau dua tulisan/informasi yang bersifat hoax menimbulkan pertanyaan batas-batas dan perbedaan hoax dengan kritik.

"Jika pemerintah tidak hati-hati bisa terjebak pada tindakan yang bisa ditafsirkan sebagai membatasi pikiran masyarakat," ujarnya.

Karena itu tindakan pembliokiran atau penutupan website secara keseluruhan dapat menimbulkan serangan balik bahwa pemerintah tidak peka terhadap "kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi" (freedom of speech) yang memang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

Kedua, penanganan pada langkah penutupan website atau pemblokiran situs sebagai tindakan hukum memang penting, namun belajar pada masyarakat dunia akan lebih  efektif pencegahan hoax ini dengan memperkuat masyarakat dengan kemampuan memfilter informasi hoax yang datang, sehingga masyarakat akan lebih santai menanggapi setiap berita hoax. "Langkah ini belakangan dikenal dengan sebutan pendidikan literasi media," terang Fickar.

Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang berguna dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. "Literasi media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi sehingga setiap individu dapat dengan lebih kritis menanggapi apa yang mereka lihat, dengar, dan baca," pungkasnya.

MENGENALI HOAX - Sementara itu, pembicara lainnya, Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) mengatakan, ada beberapa ciri yang bisa diketahui masyarakat untuk mengenali hoax. Pertam, sebuah berita yang memuat judul bombastis dan menghakimi bisa dipastikan hoax. Kedua, memuat foto yang sifatnya fantastis. "Juga ada upaya memberikan dampak terhadap pembaca berupa sentimen, kecemasan, kebencian, dan lain-lain, bukan pengetahuan," kata pria yang akrab disapa Ijul itu.

Kemudian, kata Ijul, hoax juga biasanya tidak memiliki sumber yang jelas. Substansi dan analisisnya tidak berimbang serta cenderung menyudutkan 1 pihak. "Selain itu, konten hoax biasanya mengandung fanatisme berbasis ideologi tertentu," ujarnya.

Dia setuju bahwa hoax mesti dicegah mengingat dampaknya adalah bisa menumbulkan ujaran kebencian, permusuhan, perpecahan, dan persekusi. Menurut Ijul, hoax bisa berkembang karena masyarakat masih minim literasi baik internet maupun media sosial. Kemudian lambannya sistem edukasi konvensional merespons perkembangan jaman. "Kemudian lemahnya sistem filter oleh pemerintah dan ketiadaan ´self-filtering di masyarakat," ujarnya.

Untuk menangkal hoax, Ijul mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, adalah pentngnya digital literacy yaitu literasi internet dan media sosial. Kedua, pemahaman berita dan informasi pribadi. Ketiga, sistem penyaringan informasi oleh negara. Ketiga, pendidikan self-filtering pribadi dan terakhir adalah bergabung dengan komunitas anti-hoax.

Terkait dengan pemuatan hoax di media massa, Redaktur Eksekutif Gresnews.com M. Agung Riyadi mengatakan,  media massa atau pers sebenarnya adalah lembaga yang bertugas menyiarkan informasi secara benar, akurat dan terpercaya karena dalam kerjanya, awak media massa atau jurnalis terikat dan dipandu oleh kode etik jurnalistik. "Tetapi pada kenyataannya, pers pun tak luput dari memuat berita hoax, dan ini sangat mengkhawatirkan," ujarnya.

Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengungkapkan salah satu saluran penyebaran hoax adalah televisi yaitu sebesar 8,7% dan media cetak sebesar 5 persen. Survei menempatkan televisi dan media cetak berada di urutan ketiga dan keempat sumber penyebara hoax. Nomor satu adalah dari aplikasi pesan singkat seperti Line, WhatsApp atau Telegram (62,8 persen) dan kedua adalah situs web 34,9 persen. Sementara di bawah televisi dan media cetak ada emal (3,1 persen) dan radio (1,2 persen).

Pertanyaannya, mengapa media massa atau pers yang terikat kode etik bisa ikut menyebarkan hoax? Salah satunya adalah tak lepas dari sikap tak profesional yang dijalankan awak media massa pers. Misalnya, mereka membuat berita berdasarkan apa yang ada di media sosial dan tidak melakukan pengecekan kebenarannya. Kedua, bisa karena memang ada kepentingan dari pemilik media (pemodal).

Dampak pemuatan hoax terhadap media massa ini tidak bisa dianggap enteng. "Media bisa melakukan revisi atas kesalahan yang termuat dalam berita. Namun memiliki kebiasaan melakukan revisi dengan asumsi bahwa setiap kesalahan bisa diperbaiki, hanya akan merusak kepercayaan dan kredibilitas media tersebut," ujar Agung.

Ketika kepercayaan dan kredibilitas itu rusak, apalagi jika dilakukan berulang kali, pelan-pelan pembaca akan meninggalkannya. Dan ketika media-media arus utama melakukan kesalahan terus-menerus, maka pembaca butuh alternatif untuk mendapatkan informasi, dan beralih ke media sosial, dan akan kesalahan media arus utama akan menjadi sumber hoax baru.

Karena itu, untuk menangkal hoax di media massa, Agung mengingatkan, agar para jurnalis kembali kepada kode etik jurnalistik. Jurnalis juga harus memahami dan mengimplementasikan 9 elemen Jurnalisme yang diperkenalkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. "Dari sembilan elemen itu, ingat yang terpenting adalah kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran," ujarnya.

"Kemudian, jurnalis juga harus ingat bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi," tegas Agung.

BACA JUGA: