JAKARTA, GRESNEWS.COM - Warga dari desa Bulukerto, dan Bumiaji, Kecamatan Bumiaji serta desa Sidomulyo, Kecamatan Batu menuntut Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya menghentikan proses banding yang diajukan pihak Hotel The Rayja. Kasus ini bermula dari penolakan warga terhadap pendirian hotel di atas sumber mata air Umbul Gemulo.

Mata air Umbul Gemulo selama ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi warga. Sehingga warga merasa pengadilan tinggi harus menghentikan gugatan banding terhadap pejuang lingkungan hidup. "Penolakan warga terhadap pendirian hotel adalah bentuk partisipasi warga bagi kelestarian lingkungan hidup," ujar Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim dalam pesannya kepada Gresnews.com, Minggu (1/2).

Tuntutan penghentian banding ini diajukan oleh warga di 3 desa yang sadar usahanya merupakan bentuk dari pelestarian lingkungan yang dilindungi oleh Undang-Undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata".

Jika Pengadilan Tinggi tetap memaksakan proses banding gugatan warga terus berjalan, maka dikhawatirkan akan menjadi potensi kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup. Warga ngotot tidak akan membiarkan lingkungannya dihancurkan dengan dalih pembangunan dan investasi.

Sebab, jika sumber Umbul Gemulo rusak karena pembangunan The Rayja, maka mereka sebagai warga yang pertama akan merasakan akibatnya. Sehingga dengan tuntutan tersebut mereka juga mempertanyakan keberpihakan pengadilan terhadap hajat hidup orang banyak.

"Jangan sampai pengadilan dijadikan tameng oleh investor hitam untuk mengkriminalisasi warga,” tutur Aris Faudzin, salah satu warga Bulukerto.

Masyarakat yang digugat oleh pihak hotel sedang berjuang untuk melestarikan sumber mata air di Kota Batu yang terus menurun kualitas dan kuantitasnya. Sehinhga Ony menyebut jika Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetap membiarkan proses banding gugatan Hotel The Rayja terus berjalan, maka hal tersebut pertanda pengadilan belum memiliki kepekaan terhadap kondisi lingkungan yang ada.

"Membiarkan mereka menghadapi proses hukum sama dengan mempertaruhkan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup," katanya.

Proses di Pengadilan Tinggi yang menjadi bukti sense of environmental protection didasarkan pada data Walhi yang menunjukkan konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Kota Batu menunjukkan kecenderungan kritis. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini tinggal 28 titik mata air. Sedangkan di Kecamatan Batu, dari 32 sumber air, kini tinggal 15 titik, sementara sumber air di Kecamatan Junrejo, dari 22 titik sumber mata air, kini tersisa 15 titik.

Pembangunan dan investasi yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan mempercepat bencana ekologis seperti yang sekarang tengah mengancam banyak wilayah di Indonesia. Sehingga Pengadilan Tinggi Jawa Timur harus berani mengambil keputusan yang berpihak kepada penyelamatan lingkungan hidup.

Jika pengadilan memfasilitasi kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan membiarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air, maka kerusakan keseluruhan ekosistem akan terus berlarut. "Sesungguhnya, pengadilan telah menjadi rumah aman bagi para perusak lingkungan," katanya.

BACA JUGA: