JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Yudisial  menuding keputusan Mahkamah Kontitusi yang mengabulkan uji materi sejumlah hakim agung  untuk menghapus kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim dinilai janggal.  Selain janggal putusan tersebut juga dinilai melanggar etik karena diduga  mengandung konflik kepentingan, karena sebagian hakim Mahkamah Konstitusi yang memutus perkara tersebut merupakan anggota organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY), Imam Anshori Sholeh, putusan MK yang telah mencabut keterlibatan KY dalam proses seleksi atau perekrutan hakim di tiga peradilan tersebut memiliki kejanggalan, sebab para Hakim Konstitusi sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan sejumlah ahli yang diajukan KY.

Padahal, keterlibatan KY dalam proses perekrutan calon hakim sangat urgent. Keterlibatan  itu diyakini dapat mempermudah KY dalam menjalankan fungsi pengawasan. Sebab KY terlibat dari awal proses perekrutan calon hakim. Dengan demikian, keterlibatan KY dalam proses perekrutan calon hakim bertujuan untuk memperkuat marwah serta kewibawaan lembaga peradilan di Indonesia.

"Para pembuat Undang-Undang memasukan KY itu karena sangat urgent, terutama untuk menghindari kemungkinan KKN dan agar lebih transparan serta akuntabel," kata Imam Anshori melalui pesan singkat kepada gresnews.com,  Rabu (7/10) malam.

Selain itu, Imam menyebut telah terjadi pelanggaran etik dalam penetapan putusan oleh  Hakim Mahkamah Konstitusi atas gugatan yang diajukan oleh sejumlah Hakim Agung yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) itu. Pelanggaran etik yang dimaksud oleh Imam,  adalah dari delapan orang Hakim Mahkamah Konstitusi, terdapat tiga orang yang tercatat sebagai anggota Ikahi. "Jadi ini ada conflict of interest. Karena itu Dewan Etik MK seharusnya ambil langkah dalam kasus ini," tegasnya.

Kendati demikian, Ia mengaku akan tetap menghormati dan mematuhi putusan MK tersebut. Dengan dikabulkannya permohonan Uji Materi sejumlah Hakim MA yang tidak menginginkan KY terlibat dalam proses seleksi perekrutan hakim, kini KY menyerahkan penuh wewenang perekrutan calon hakim kepada MA. "Putusan MK kan bersifat final dan mengikat. Ya dipatuhi saja keputusan itu. walaupun merasa janggal,” tutupnya.

Kejanggalan juga dituturkan ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono. Menurutnya, sejak awal telah ada pertanyaan mendasar terhadap permohonan gugatan yang diajukan hakim agung ini, yakni terkait kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Yaitu siapakah yang sesungguhnya dirugikan atas keterlibatan KY dalam proses seldeksi hakim pada peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara in.    

Seperti diketahui uji materi ini diajukan oleh hakim agung Imam Soebchi, hakim agung Suhadi, hakim agung Prof Dr Abdul Manan, hakim agung Yulis dan hakim agung Burhan Dahlan. Mereka tergabung dalam (Ikahi), menilai kewenangan KY dalam menyeleksi hakim telah merampas independensi hakim.

"Apakah yang dirugikan adalah beberapa hakim agung sebagai pengurus pusat Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ataukah Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga negara," ujar Bayu.

Menurut Bayu, seharusnya jika mengacu pada 5 syarat kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional yang ditetapkan MK dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 maka Ikahi tidak memiliki kedudukan hukum mengingat tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Ikahi yang diberikan UUD 1945. Sebagai buktinya dalam putusan atas perkara ini MK dalam pertimbangan hukumnya menyebut keterlibatan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

"Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 merupakan Pasal yang mengatur tentang wewenang KY dan isi pasal tersebut tidak mengatur tentang wewenang konstitusional Ikahi," tambah pakar tata negara spesialisasi perundang-undangan ini.

Jika dikatakan keterlibatan KY dalam proses seleksi hakim tingkat pertama dikatakan tidak diatur dalam UUD 1945. Hal yang sama juga terjadi dengan MA yaitu wewenang MA dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim tingkat pertama sebenarnya tidak diatur dalam UUD 1945. Pasal 24 UUD 1945 atau UU MA tidak menyebutkan soal wewenang tersebut. Dengan demikian pengaturan wewenang pengangkatan calon hakim merupakan ranah pengaturan oleh pembentuk UU.

Karena merupakan ranah pengaturan pembentuk UU,  maka sebenarnya menjadi wewenang pembentuk UU untuk menentukan lembaga-lembaga mana yang berwenang mengangkat calon hakim sepanjang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan hakim-hakim yang berkualitas dan berintegritas serta tidak melanggar prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang intinya terletak pada independensi hakim dalam memutus perkara dan bukan terletak pada tata cara seleksinya.

"Sehingga pembentuk UU memiliki wewenang untuk mengatur keterlibatan KY dalam proses seleksi hakim bersama MA," ujar pengajar Universitas Jember ini.

KEPUTUSAN TIDAK BULAT - Keputusan Mahkamah Kontitusi dalam perkara Nomor 48/XIII-PUU/2015 itu juga tidak bulat. Satu dari delapan hakim kontitusi, yakni  Hakim I Dewa Gede Palguna memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) .

Gede Palguna berpendapat bahwa terlibatnya KY dalam proses perekrutan Hakim bersama MA sama sekali tidak bertabrakan dengan UUD 1945 Tentang Kemerdekaan serta Kekuasaan Hakim. Menurut Gede, frasa "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim" dalam Pasal 24 B ayat 1 UUD 1945 tentang peran KY itu tidak dapat menjadi penghalang untuk ikut serta dalam proses perekrutan hakim.

Menurutnya, keikutsertaan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara bersama-sama dengan MA tidak mengganggu kemerdekaan dan kekuasaan hakim seperti yang disangkakan.

Ia juga meyakini, keterlibatan KY dalam perekrutan hakim bersama MA, tidak mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan. Sepanjang dipahami keterlibatan KY konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. "Menurut saya, Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma UU yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)," tegasnya.

Namun pandangan Gede Palguna tidak didukung oleh hakim lain. Tujuh hakim MK lainnya menyatakan sebaliknya. Hingga  Ketua Sidang Mahkamah, Hakim Anwar Usman, tetap mengabulkan permohonan uji materi sejumlah Hakim MA tersebut.

Adapun alasan para Hakim MK lainnya mengabulkan gugatan itu adalah, UU No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 A ayat 2 dan ayat 3, UU No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 13 A ayat 2 dan 3, serta UU 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 14 A ayat 2 dan 3 tentang keterlibatan KY dalam tahap proses seleksi perekrutan Hakim di tiga tingkat pengadilan tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 yang kemudian diturunkan dengan UU No 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu Mahkamah juga berpendapat Pasal 24 B UUD 1945 telah mengatur peran dan fungsi KY sebagai pengawas kode etik para hakim. Frasa "wewenang lain" yang dimiliki oleh KY tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain. Pertimbangan lain menurut Mahkamah adalah, KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ, membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.

Dengan demikian wewenang perekrutan Hakim di tiga pengadilan itu sepenuhnya menjadi milik Mahkamah Agung (MA).  

MA APRESIASI PUTUSAN MK – Menanggapi putusan MK,  Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan permohonan Uji Materi Perkara Nomor 48/XIII-PUU/2015 tentang sejumlah pasal dalam tiga Undang-Undang terkait dengan proses seleksi atau perekrutan hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang melibatkan Komisi Yudisial (KY).

Suhadi menilai, UU No 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Pasal 14A ayat 2 dan ayat 3, UU No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 13A ayat 2 dan 3, serta UU 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 14A ayat 2 dan 3 yang mengatur tentang dilibatkannya KY dalam tahap proses seleksi perekrutan Hakim di tiga tingkat pengadilan tersebut telah bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945 yang kemudian diturunkan dengan UU No 49 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Menurut pandangan kami UU itu bertentangan dengan UUD 1945 dan keputusan MK ini final serta mengikat, saya kira dengan adanya putusan ini ke depan MA sendirian yang akan melakukan perekrutan hakim," kata Suhadi,  yang juga tertera sebagai salah satu pemohon Uji Materi ini ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/10).

Ia mengaku, sejak ditetapkannya Undang-Undang yang mengatur KY bersama MA terlibat dalam proses seleksi perekrutan Hakim lima tahun silam, kedua lembaga itu belum pernah menjalankan perekrutan calon hakim secara bersama-sama. Ketika dimintai penjelasan, apa penyebab dua lembaga negara itu belum juga melakukan perekrutan bersama-sama, Suhadi berdalih kedua lembaga negara tersebut belum selesai dalam proses pembahasan teknis perekrutan calon hakim.

"Sampai sekarang belum ditandatangani (rumusan bersama teknis perekrutan MA dan KY)," ujarnya singkat.

Kendati demikian, ia mengaku pihaknya tidak akan pernah menafikan peran atau wewenang KY dalam melakukan pengawasan kode etik para hakim. Sebab, kewenangan tentang pengawasan kode etik para hakim telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. "Wewenang mereka itu khusus untuk masalah etik, dan di Undang-Undang KY itu pun sangat jelas mereka tidak terlibat untuk perekrutan hakim," tegasnya.  (Rifki Arsilan/dtc)

BACA JUGA: