JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan sita eksekusi aset Yayasan Supersemar sesuai dengan putusan Mahkamah Agung dengan nomor 140 PK/PDT/2015 mulai menemui titik terang. Komisi III telah menyetujui pengucuran dana anggaran sita eksekusi yang diajukan Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung HM Prasetyo dalam Rapat Kerja dengan Komisi III dua pekan lalu menyampaikan permintaan tambahan anggaran Kejaksaan Agung sebesar Rp420 miliar. Anggaran tersebut di antaranya uang sita eksekusi aset milik Yayasan Supersemar seperti diminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku eksekutor.

Dengan disetujuinya biaya sita sebesar Rp2,5 miliar, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi memastikan eksekusi aset Yayasan Supersemar akan segera dilakukan. "Anggaran eksekusi Supersemar sudah disetujui oleh Komisi III DPR, seperti disampaikan Pak Jambin (Jaksa Agung Muda Pembinaan) kepada saya," kata Bambang di Kejagung, Rabu (29/6).

Kejaksaan Agung saat ini menunggu kucuran biaya tersebut untuk selanjutnya diserahkan kepada tim eksekutor Pengadilan Jakarta Selatan. "Kami berharap secepatnya dikucurkan, agar JPN bisa memohon eksekusi segera dapat dilakukan," kata Bambang.

Bambang mengungkapkan anggaran Rp2,5 miliar diajukan oleh PN Jaksel, guna kebutuhan dan keperluan biaya eksekusi. Kejaksaan selaku jaksa pengacara negara (JPN) disamakan perlakuan dengan pihak berperkara lain.

Sebelumnya Kejaksaan Agung sendiri menyatakan tidak akan menalangi Rp2,5 miliar untuk membiayai eksekusi uang pengganti sekitar Rp4,4 triliun dari Yayasan Beasiswa Supersemar. Kejagung masih menunggu dana tersebut dari pemerintah, karena pihaknya wajib membayar biaya eksekusi tersebut yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kejagung telah menyampaikan kebutuhan dana tersebut kepada pihak terkait, di antaranya Komisi III DPR RI. "Tidak bisa main talangin. Nanti kami salah lagi. Ini kan ada aturannya, kami tunggu, surat sudah dilayangkan," kata Jaksa Agung H Muhammad Prasetyo di Jakarta, Jumat (24/6) lalu.

Sebelumnya Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna membenarkan adanya biaya yang dibutuhkan untuk menyita aset milik Supersemar. Menurut Made, biaya untuk melakukan penyitaan pada perkara perdata wajar adanya.

"Memang dalam setiap penyitaan itu ada biayanya. Sepanjang yang saya tahu, misalnya, untuk penyitaan tanah itu tergantung luasnya, jaraknya dengan lokasi pengadilan. Kemudian ada berapa titik yang harus dilakukan penyitaan? Ada biaya yang dibutuhkan juru sita untuk itu," kata Made dikonfirmasi media, Senin (30/5).

TERUS DILACAK - Meskipun hingga saat ini belum dilakukan eksekusi sita aset yang telah ada, jaksa pengacara negara (JPN) masih terus melacak aset Supersemar hingga jumlahnya mencapai nominal denda yang harus dibayar lembaga tersebut sebesar Rp4,4 triliun.

Hingga saat ini Kejagung telah mencatat 113 rekening giro dan deposito atas nama Supersemar yang siap dieksekusi. Selain itu, ada 2 bidang tanah/bangunan serta 5 kendaraan roda empat yang juga siap disita. Walaupun data aset sudah dikantongi, namun penyitaan belum dapat dilakukan hingga pemenuhan biaya keperluan sita dilakukan Kejagung.

Jaksa Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi berkata, juru sita pada PN Jakarta Selatan saat ini tinggal menunggu pemenuhan biaya sebelum melakukan eksekusi atas aset Supersemar.

"Kalau sudah dibayar biaya sita eksekusinya akan ketahuan asetnya sekarang," kata Bambang.

Sita eksekusi aset Yayasan Supersemar sesuai dengan putusan Mahkamah Agung dengan nomor 140 PK/PDT/2015. Putusan MA itu menyebutkan Yayasan Supersemar harus membayar US$ 315 juta dan Rp139,2 miliar atau setara Rp4,4 triliun.

Yayasan Supersemar tak bisa mengelak putusan MA tersebut. Pihak Yayasan Supersemar pun menyampaikan akan taat hukum. Hanya, Kuasa hukum Yayasan Supersemar Bambang Hartono mengatakan jika Yayasan tidak memiliki uang sebanyak dalam gugatan seperti disampaikan Bambang dalam sidang aanmaning. Bambang malah mempertanyakan besaran angka yang harus dibayarkan kepada Negara karena berbeda jauh dari berkas yang disampaikan JPN sebelumnya.

Apalagi, kata Bambang, Yayasan tidak pernah menerima uang jutaan dolar Amerika Serikat dari Pemerintah. Yang diketahuinya sesuai audit Kejaksaan Agung, Yayasan Supersemar menerima 309 miliar periode 1979-1998. Lainnya Yayasan Supersemar tidak menerima. Dan dana sebesar itu telah dikeluarkan untuk beasiswa hingga 2014.

"Kami hargai putusan itu, akan tetapi kami minta keadilan," pinta Bambang sebelumnya.

Yayasan Supersemar diketahui merupakan yayasan yang bergerak dalam dunia pendidikan. Hingga saat ini Yayasan Supersemar telah memberikan beasiswa kepada ribuan anak-anak di Indonesia. Pihak Yayasan meminta keadilan atas putusan tersebut karena dana yang dimiliki yayasan telah disalurkan untuk beasiswa.

Kasus ini berawal ketika HM Soeharto melalui Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1976 tanggal 23 April 1976 jo Keputusan Menteri Keuangan RI no 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Presiden (penggugat) memerintahkan Bank-Bank Milik Pemerintah menyetir 50% dari 5% dari laba bersih ke Yayasan Beasiswa Supersemar. Namun kenyataannya, dana yang diperoleh Supersemar tidak digunakan sesuai tujuannya sehingga mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar.

Dalam gugatan Kejaksaan Agung, dana yang terkumpul Yayasan Supermar mengalir ke sejumlah perusahaan yang diduga milik keluarga dan kroni Soeharto. Diantaranya, US$125 juta diberikan kepada PT Bank Duta pada tahun 1990 dan kemudian sebesar US$19 juta dan US$275 juta hanya dalam waktu empat hari.

Dana itu juga mengalir PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutn Tanaman Industro sebesar Rp12 miliar pada 1982 hingga 1993. Juga diketahui mengalir ke kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp10 miliar pada 28 Desember 1993.

Presiden melalui Jaksa Pengacara Negara menggugat Yayasan Supersemar. Setelah melalui proses panjang, MA dalam putusan PK pada 8 Juli 2015, Yayasan Supersemar diharuskan membayar US$ 315 juta dan Rp139,2 miliar kepada negara atau totalnya sebesar Rp4,4 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Putusan diambil oleh ketua majelis Suwardi, Soltoni Mohdally dan Mahdi Sorinda setelah mengabukan PK yang diajukan Negara cq Presiden RI.

BACA JUGA: