JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perjalanan Mary Jane Fiesta Veloso, warga negara Filipina yang didakwa menyelundupkan heroin seberat 2,6 kilogram ke Indonesia untuk mencari jalan menghindari hukuman mati kandas sudah. Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) perempuan berusia 30 tahun yang dijuluki "Si gembong narkoba" itu.

Atas penolakan itu, habis sudah jalan pencarian keadilan yang bisa diupayakan Mary untuk menghindari eksekusi di depan regu tembak. "Menolak PK Mary Jane Fiesta Veloso," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Kamis (26/3).

Mary Jane divonis mati PN Sleman dalam kasus kepemilikan 2,6 kg heroin tahun 2010 lalu. Grasinya sudah ditolak Presiden Joko Widodo dan jelang eksekusi mati, ia mengajukan PK. Duduk sebagai ketua majelis hakim agung M Saleh dengan anggota Timur Manurung dan Andi Samsan Nganro. M Saleh sehari-hari selain sebagai hakim agung juga sebagai Wakil Ketua MA bidang Yudisial. Vonis penolakan PK itu sendiri sudah diketok Rabu (25/3) kemarin.

Sehari sebelum putusan jatuh, Selasa (24/3) Menteri Luar Negeri Filipina Albert F. Del Rosario sempat menjenguk Mary Jane di LP Wirogunan, Yogyakarta. Kunjungan itu berlangsung sekitar satu jam.

Kepala LP II A Wirogunan Zaenal Arifin, mengatakan kedatangan Menlu Filipina itu murni untuk menjenguk Mary Jane. Turut mendampinginya dalam kesempatan itu Dubes Filipina untuk Indonesia Maria Lumen Banzon Isleta.

Selama kunjungan sekitar satu jam itu, Menlu Albert berbicara langsung dengan Mary. Dia juga diberitahu lapangan tempat Mary Jane biasa bermain voli di dalam LP.

"Mereka bertemu dan bicara dengan bahasa Tagalog. Menlu menyampaikan terimakasih atas pembinaan di sini, karena Mary Jane dilatih keterampilan merajut," kata Zaenal Arifin di LP Wirogunan.

Dalam pertemuan itu, Menlu Albert memberikan bingkisan ke Mary Jane. Isinya antara lain sabun, odol dan lain-lain. Kunjungan tersebut, menurutnya jelas sebagai dukungan moral terhadap Mary Jane sebagai warganya.

Untuk kondisi Mary Jane saat ini, kata Zaenal, kondisinya sehat. Sementara soal Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Mary sampai sekarang masih belum diketahui keputusannya.

Sebelumnya, pihak jaksa penuntut umum PN Sleman menjawab dengan tegas menolak permohonan PK dari terpidana. JPU menyatakan permohonan PK tidak memenuhi pasal 263 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena permohonan PK terpidana diajukan oleh kuasa hukumnya, maka bertentangan dengan peraturan itu.

Pada sidang administrasi PK ini, jaksa penuntut umum (JPU) langsung merespons permohonan PK dari terpidana. JPU menyatakan menolak permohonan PK yang diajukan terpidana dengan dua alasan kuat.

Pertama, permohonan PK tidak memenuhi pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Namun permohonan PK Mary diajukan oleh kuasa hukumnya sehingga bertentangan dengan pasal KUHAP.

Kedua, penasihat hukum terpidana juga tidak dapat membuktikan korelasi antara status saudara Nuraini sebagai juru bahasa dengan materi persidangan. Apabila sejak awal kliennya menyatakan tidak fasih berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, harusnya disampaikan sejak awal persidangan.

"JPU menyatakan agar PN Sleman yang memeriksa perkara ini untuk menolak permohonan PK terpidana dan tidak melanjutkan pemohonan PK ke MA," kata JPU Sri Anggraini Astuti di PN Sleman, Selasa (3/3/2015).

Apabila perkara tetap diteruskan ke MA, maka JPU berharap agar MA menolak permohonan PK terpidana. MA diharapkan tetap pada keputusan semula.

Mary sendiri mengungkit-ungkit dirinya selama di persidangan tidak didampingi penerjemah bahasa. Adapun penerjemah bahasa Muhammad Jefrry mengaku tidak ada komunikasi dengan terpidana setelah sidang berakhir. Ia hanya bertugas menerjemahkan bahasa di persidangan.

"Nggak ada komunikasi, setelah selesai sidang ya nggak ada lagi. Saya cuma pas di sidang saja menerjemahkan," kata Jefri di PN Sleman sebelum sidang dimulai.

Kuasa hukum Mary lainnya, Agus Salim menyatakan bahwa status penerjemah pada saat sidang vonis menjadi dasar untuk mengajukan PK. Permohonan PK kali ini diajukan atas putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 31 Mei 2011. Amar putusan MA tersebut menolak permohonan kasasi dari Mary.

Penerjemah terdakwa pada saat sidang itu masih berstatus mahasiswa STBA LIA Yogyakarta atas nama Nuraini. Kuasa hukum menilai, penerjemah saat itu tidak berkompeten. Penerjemah juga belum mengantongi sertifikat penerjemah, dan terpidana saat itu juga tidak bisa berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris secara baik.

"Juru bahasa masih berstatus mahasiswa, pada proses penuntutan perkara pidana tidak memiliki kapasitas untuk menerjemahkan proses persidangan secara benar. Tidak bisa melindungi hak-hak terdakwa. Sehingga terpidana tidak bisa secara maksimal mengambil manfaat kehadiran penerjemah untuk pembelaan pribadi," kata Agus Salim di PN Sleman.

Sayang, dalil-dalil yang diajukan pihak Mary itu rupanya tak meruntuhkan keyakinan para hakim agung. PK Mary Jane ditolak. Kini Mary hanya bisa pasrah menunggu dan berdoa hingga eksekusi mati dilaksanakan. (dtc)

BACA JUGA: