JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo sebelumnya menyerukan agar pembahasan Undang-undang Anti Terorisme di DPR segera dituntaskan. Desakan itu didorong tidak kunjung selesainya pembahasan UU yang diharapkan menjadi payung hukum aparat keamanan untuk menangani tindak terorisme di tanah air. Disaat bersamaan muncul serangan bom bunuh diri di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur yang menewaskan lima orang, baik dari pihak pelaku maupun korban aparat keamanan.

Namun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme tersebut terganjal perdebatan tentang keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan terorisme. Kontroversial dua kubu yang pro dan kontra terus saja tak beroleh titi temu.

Perkembangan terakhir baik pemerintah maupun kalangan DPR menyetujui keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme, hanya saja penentuan batas keterlibatannya kini menjadi diskusi yang alot.

Adanya perdebatan yang berlarut larut itu Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin  menyarankan agar draft UU Terorisme yang menjadi inisiatif pemerintah itu dikembalikan untuk dikoreksi kembali oleh pemerintah. Untuk menentukan seperti apakah model pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme, agar RUU anti teroris itu tidak berlarut larut didiskusikan di DPR.

Hasanuddin sendiri sedari awal menilai pelibatan TNI dalam penanganan terorisme adalah sebuah keniscayaan dan menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Menurutnya untuk bisa menyelesaikan pembentukan RUU tersebut, penyusun UU dari awal harus memahami dan merangkai apa itu terorisme.

Menurutnya teroris harus dipahami bahwa mereka bukan "sekadar" para pelaku kejahatan pidana biasa. Tapi, sudah merupakan kejahatan trans internasional dengan ideologi tertentu, organisasinya terstruktur, dananya juga  terorganisir dan target akhirnya adalah ancaman terhadap keselamatan bangsa dan negara.

"Awalnya mungkin ya seperti di Indonesia, "cuma" muncul tiga atau lima orang teroris saja, dan bisa dihabisi dengan cara konvensional dan pendekatan hukum," ujarnya dalam pernyataannya yang dikirim kepada gresnews.com.

Namun, lanjut dia, teroris tak hanya sampai di situ. Mereka punya cita-cita dan ideologi. Mereka juga akan terus bermutasi dan bergerak membesarkan kemampuannya. Pada awalnya mereka akan melakukan operasi tertutup dengan senyap (silent operation) yang bergerak secara tertutup dengan memanfaatkan jaringan dan sel selnya untuk melakukan kegiatan teror. Pelakunya pun hanya dipilih dari mereka yang siap menjadi martir melalui peledakan bom atau model serangan lain. Sifatnya juga masih gerakan perorangan yang dilakukan oleh kelompok kecil.

Tapi, menurutnya, kalau tim-tim kecil ini sudah terorganisir,  mereka akan bermutasi menjadi satuan-satuan gerilyawan, dan ujung-ujungnya pasti akan melakukan perang terbuka.

"Lihat saja kasus di Iraq, Syria, dan terakhir di Marawi, Filipina. Kalau teroris sudah seperti di Marawi apakah kemudian baru diserahkan ke TNI untuk digempur?" tanyanya.

Menurut Hasanuddin, teori seperti dinilai salah besar. Perang terbuka tidak seperti pemadam kebakaran. Menurut dia sebelum pertempuran dibutuhkan persiapan dan informasi yang matang antara lain: kemampuan intelijen musuh, susunan bertempur musuh (SBM), susunan persenjataan musuh (SPM), taktik bertempur musuh (TBM), dan lain lainnya.

"Dalam kasus ini, TNI pasti butuh banyak informasi  seperti itu, sebelum menggempurnya. Dan informasi akan akurat kalau TNI sudah dilibatkan (secara terukur) sejak awal," jelasnya.

Sementara itu dalam draft RUU anti teroris yang sekarang digodok DPR, terkesan TNI hanya sebagai perbantuan saja. Padahal dari pernyataan pemerintah  (Menkopolhukam) justru meminta pelibatan langsung bersama Polri.

MENGUATNYA PERAN TNI - Sebagaimana diketahui, pembahasan soal pelibatan TNI dalam pemberantasan teroris sebagaimana tercantum dalam RUU Anti-Terorisme kembali menguat. Hal itu karena adanya kekhawatiran dampak pertempuran kelompok Maute yang terafiliasi dengan ISIS dengan militer Filipina di Marawi, Filipina. Ditambah adanya serangan teror bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Menurut Hasanuddin, serangan teritorial kelompok Maute di Marawi itu menarik perhatian khusus Indonesia. Sebab, lokasi itu tak jauh dari teritorial kedaulatan Indonesia.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius juga berpendapat, Asia Tenggara, termasuk Indonesia bisa mengalami dampak dari terdesaknya pasukan ISIS di Suriah.

"Sekarang ini, dengan terdesaknya ISIS di Suriah, sebaran (anggota) nya ke mana-mana, ke negara masing-masing, termasuk di Marawi, pusatnya di Asia Tenggara. Ini jadi medan magnet untuk melaksanakan jihad versi mereka," ujar Suhardi, Senin (29/5).

Indonesia juga punya potensi kelompok teror membentuk front teritorial. Sebagai contoh adalah peristiwa latihan perang Jamaah Islamiyah di Aceh pada 2010 yang diikuti 50 mujahid. Hal serupa juga pernah diupayakan kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Hanya saja kedua kelompok bersenjata itu digagalkan oleh operasi gabungan aparat Indonesia.

Atas dasar itulah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menginginkan agar TNI terlibat langsung dalam pemberantasan terorisme. Ia tidak ingin TNI hanya berstatus BKO saja. Soal keterlibatan  langsungnya,  bisa dibahas.

"Paling tidak teknisnya secara substansial sudah ketemu TNI akan dilibatkan," katanya di Senayan, Selasa, 30 Mei 2017 lalu.

BACA JUGA: