JAKARTA, GRESNEWS. COM -  Buni Yani, tersangka kasus penyebaran kebencian  saat memposting caption pada video Ahok soal Ayat Al Maidah 51, mengajukan perlawanan hukum melalui praperadilan. Buni Yani resmi mendaftar gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Register Perkara 147/pid.prap/2016 PN Jakarta Selatan.

Proses penetapannya sebagai tersangka dan penangkapan yang dilakukan Polda Metro Jaya menjadi alasan dirinya mengajukan praperadilan. Ia menilai penahanan dan penetapan statusnya sebagai tersangka menyalahi ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Praperadilan yang diajukan Senin (5/12) itu,  untuk menguji proses penetapan dan penangkapannya. Alasan yang dipakai Kapolda, menetapkan dirinya sebagai tersangka, menurut Buni Yani,  sangat tidak berdasar.

"Dasar hukum yang sangat lemah dijadikan tersangka, kawan ini tinggal tunggu waktu saja untuk jadi tersangka nanti, jadi itu yang ingin kita lawan," kata Buni Yani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya karena memposting caption dalam video penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta yang diuploadnya. Buni Yani dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Buni Yuni menulis caption di akun Facebook-nya " PENISTAAN TERHADAP AGAMA ? "Bapak-ibu [pemilih Muslim]...dibohongi Surat Al-Maidah 51]... [dan] "masuk neraka juga [Bapak-ibu].. dibodohi". Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.

Adapun bunyi Pasal 28 Ayat (2) UU ITE berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."

Buni Yani menganggap dari teks yang dipostingnya tidak ada delik yang bisa membuatnya dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Namun sebaliknya dengan Polda, kata-kata yang diposting Buni Yani itu dijadikan alasan penetapan tersangka.

"Ada 3 teks kalimat yang saya upload itu, apakah itu menyebarkan kebencian apa tidak ?sesuai UU ITE, enggak ada sama sekali, saya enggak ada menyebar kebencian pekerjaan, saya dosen saya ajarkan hal yang baik-baik," keluh mantan pengajar di London School.

PERTANYAKAN ALASAN PENANGKAPAN - Sementara itu penasihat hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, menjelaskan penetapan kliennya sebagai tersangka serta penangkapan yang dilakukan Polda Metro Jaya banyak menyalahi aturan. Ada hal yang dilewatkan saat Polda Metro Jaya saat menetapkan kliennya sebagai tersangka sehingga membuat pihaknya bermaksud untuk menguji tindakan Kepolisian tersebut.

"Kami anggap ini ada hal yang terlewati menurut KUHAP juga Perkap, jadi ini yang akan kami mohonkan," kata Aldwin.

Kuasa hukum Buni Yani lainnya, Unoto Dwi Yulianto juga menyebut beberapa kejanggalan saat penetapan tersangka Buni Yani. Saat Kepolisian memanggil Buni Yani sebagai saksi tidak ditulis nama Buni Yani dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Padahal menurut Dwi Yulianto, sebagai dasar hukum untuk melakukan pemanggilan harus ditulis nama Buni Yani.

Selain itu, setelah diperiksa sebagai saksi dalam perkara yang disangkakan kepada Buni Yani langsung dilakukan penangkapan tanpa terlebih dahulu diperiksa sebagai tersangka. Dia menyimpulkan, penangkapan dilakukan sebelum pernah ada pemeriksaan. Dari alasan itu, Dwi Yulianto menganggap ada kesalahan prosedur saat penangkapan dan penetapan tersangka Buni Yani.

"Kami pikir dalam proses penetapan tersangka  Pak Buni Yani, menurut kami un-prosedural. Yang kedua, un-fair karena tidak dilakukan gelar perkara untuk menentukan Pak Buni Yani sebagai tersangka," kata Dwi Yulianto.

Penangkapan, kalau bukan tertangkap tangan harus mengacu kepada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 dan 2009 tentang Manajemen Penyidikan dan Pengawasan dan Pengendalian Penyidikan Pidana.

Dwi melihat penanganan perkara Buni Yani dilakukan penanganan yang berbeda dengan Ahok yang juga masih berkaitan dengan kasus yang menjerat Buni Yani. Dia membandingkan perkara kliennya dengan kasus Gubernur DKI Jakarta Non-aktif Basuki Tjahaja Purnama yang dilakukan gelar perkara terlebih dahulu sebelum menetapkannya sebagai tersangka.

"Tindakan-tindakan termohon, sudah dilakukan di luar prosedur yang ada," kata Dwi Yulianto. Itu pula alasan pihaknya ingin menguji sejauh mana tindakan itu sesuai dengan prosedur, melalui gugatan praperadilan.

BACA JUGA: