JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mari sejenak kita layangkan ingatan kita ke peristiwa bentrokan paling mengerikan antara polisi dan TNI di Batam medio September 2014 silam. Dalam peristiwa itu, situasi kota Batam mendadak mencekam ketika prajurit TNI dari Batalion Infanteri 134 Tuah Sakti mengepung dan menembaki markas Brimob Kepolisian Daerah Kepulauan Riau.

Amuk prajurit TNI itu, berdasarkan keterangan pihak Polda Keppri ketika itu, bermula dari adanya operasi pihak kepolisian yang menggerebek tempat penimbukan bahan bakar minyak ilegal di kawasan Sagulung, Batam yang berjarak 500 meter dari Markas Brimob. Penggerebakan depo BBM ilegal yang menurut kabar burung dibekingi oknum TNI ini kemudian memicu konflik antara Brimob dan TNI. Ratusan anggota TNI mengepung markas Brimob dan jual-beli tembakan pun terjadi membuat situasi kota Batam mencekam.

Akibat bentrokan itu, kemudian diantara petinggi Polri dan TNI ada wacana untuk menggabungkan kembali pendidikan TNI-Polri khususnya para calon perwira. Sebelum pemisahan TNI-Polri, para calon perwira baik TNI dan Polri sama-sama menjalani pendidikan dasar di Tidar, Akmil Magelang. Pasca pemisahan TNI-Polri, para calon perwira dari kedua angkatan dipisah. TNI di Tidar, dan polisi di Semarang.

Kapolri (ketika itu) Jenderal Polisi Sutarman mengatakan, penggabungan taruna TNI dan Polri di tingkat pendidikan dasar akademik, salah satunya dilandasi niat untuk menghilangkan ego sektoral sekolah kedinasan. Menurut Jenderal Sutarman, dalam pendidikan dasar Akmil dan Akpol terdapat beberapa kesamaan kurikulum.

Momentum itulah yang menurutnya dan juga Panglima TNI tepat untuk menggabungkan Taruna dua sekolah kedinasan tersebut. "Ada beberapa kurikulum yang sama, melakukan pendidikan karakter bangsa. Saya kira kita satukan sehingga ada hubungan emosional antara teman-teman TNI dan Polri," kata Sutarman saat itu.

Wacana ini kemudian banyak ditentang berbagai kalangan yang menilai, wacana ini jika dilaksanakan bakal kembali membuat polisi berwatak militer seperti pada era rejim Orde Baru.

Prof Hermawan Sulistyo, Direktur Eksekutif Concern Strategic Think Tank, terkait wacana ini, pernah mengingatkan lewat tulisannya bahwa watak militer polisi memang harus dihapuskan. Pasalnya, polisi bukanlah anggota tempur sebagaimana anggota militer.

Di tengah situasi pertempuran pun seperti di Timur Tengah, polisi tetap bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat seperti mengatur lalu lintas. Karena itulah polisi dalam peperangan tidak boleh ditembak karena statusnya sebagai aparat sipil.

Hanya saja polisi memang dipersenjatai dan boleh menggunakan kekerasan secara sah untuk melumpukan pelaku pelanggaran hukum dan bukan untuk membunuh sebagaimana layaknya tentara di masa perang. Atas dasar itulah, kata Prof Hermawan, pendidikan kepolisian tidak boleh sama dengan diklat tentara.

Pemolisian masa depan diidealkan sebagai democratic policing (pemolisian demokratis). Polisi menjalankan tugas dengan menghormati hak-hak sipil dan ekonomi (ecosoc), sebagai hak dasar manusia. Polisi bekerja dalam lingkungan demokratis serta mendorong demokrasi melalui pemenuhan fungsi keamanan dan penegakan hukum, yang diperlukan sebagai syarat dasar demokrasi.

Karena itu, permintaan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti agar pasukan Brimob dilatih dalam Diklat Raider di Kopassus sebagaimana tertuang dalam surat Nomor B/3303/VII/2015 tertanggal 15 Juli yang dibubuhi tanda tangan Kapolri, boleh dibilang merupakan sebuah langkah mundur dari upaya membangun polisi sipil atau democratic policing seperti yang dikatakan Hermawan Sulistyo.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa perlunya, polisi memiliki kemampuan raider? Raider sendiri merupakan satuan elit infanteri TNI yang memperoleh pendidikan dan pelatihan untuk perang modern, anti-gerilya, dan perang berlarut.

Raider merupakan prajurit kekuatan penindak di mana satu batalyon raider setara tiga kali lipat kekuatan satu batalyon infanteri biasa di TNI Angkatan Darat. Latihan untuk menjadi anggota Raider dilakukan selama 6 bulan.

ALASAN KEJAR TERORIS - Kapolri sendiri beralasan, latihan kemampuan raider bagi Brimob diperlukan untuk mempersiapkan Brimob dalam pengejaran teroris jaringan Santoso yang dikabarkan berada di Poso. Badrodin mengatakan perlu kemampuan lebih untuk mengejar jaringan teroris itu.

"Kita dihadapkan pada teroris Santoso yang menggunakan metode di medan gunung dan hutan. Brimob kita belum terlatih melakukan survival atau pengajaran pada daerah-daerah hutan dan gunung-gunung," kata Jenderal Badrodin Haiti, Selasa (28/7).

Meski demikian Badrodin mengungkapkan bukan berarti Brimob dilatih kemampuan berperang melainkan kemampuan-kemampuan khusus untuk misi di medan yang sulit.

"Kita perlu satu kemampuan bagaimana pendeteksian di hutan, bagaimana melakukan penjajakan, bagaimana mereka survival sampai sebulan dan seterusnya. Kemampuan itu yang diperlukan untuk tugas brimob dalam rangka kegiatan di hutan dan gunung sebagai medannya, bukan kemampuan berperang, maka item tertentu yang minta diberikan pelatihan," terangnya.

Terkait permintaan ini, pihak TNI sendiri menunjukkan keengganannya. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan permintaan itu sepertinya sulit dikabulkan.

Salah satu alasan tak akan dipenuhinya pelatihan raider itu karena polisi berbeda dengan tentara. TNI adalah kombatan dan khusus bertempur sedangkan polisi bukan. "Mungkin tidak akan dilakukan, Raider itu untuk perang," kata Fuad, kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Yang paling memungkinkan, kata jenderal bintang dua ini adalah latihan bersama antara polisi dan TNI. Dan selama ini latihan gabungan tersebut telah berjalan dengan baik. "Beberapa waktu, polisi dan TNI menggelar latihan bersama untuk penanggulangan antiteror," ujarnya.

Belakangan, Mabes Polri sendiri memang sedikit meralat pernyataan dengan menegaskan yang diminta memang pelatihan bersama, bukan dilatih Kopassus. "Untuk rencana pelatihan itu, bukan minta dilatih tapi latihan bersama," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Div Humas Polri, Kombes Pol Suharsono di Gedung Humas Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (28/7) kemarin.

Suharsono menambahkan dalam permintaan untuk latihan bersama itu, Polri tidak meminta seluruh kemampuan yang dimiliki kesatuan Raider untuk diberikan kepada personel Brimob, melainkan hanya sebagian kemampuan dasar seperti teknik bertahan dan bertempur di hutan belantara.

Suharsono mengakui, Brimob tak memiliki kemampuan untuk berperang di dalam hutan dan hal itu sangat dibutuhkan dalam pengejaran teroris seperti kelompok Santoso yang bermukin di kawasan hutan Poso, Sulawesi Tengah. "Bukan kemampuan Raider yang diberikan seluruhnya, tapi hanya sebagian yang ingin atau ditransfer, yang dibagi, misalnya teknik pengejaran di hutan, kita enggak punya itu," kata Suharsono.

ANCAMAN BAGI REFORMASI KEPOLISIAN - Sejatinya wacana semacam ini merupakan pengulangan dari wacana-wacana sebelumnya untuk menyatukan kembali latihan baik dasar maupun tingkat lanjut antara polisi dan tentara. Wacana semacam ini selalu dilandasi alasan logis semisal menghilangkan ego sektoral, meningkatkan kemampuan personel dan lainnya.

Hanya saja bagi para aktivis masyarakat sipil, wacana-wacana semacam ini sejatinya adalah merupakan ancaman nyata bagi reformasi di tubuh Polri yang bertujuan menciptakan polisi berwatak sipil dan profesional. Di era Orde Baru, dengan watak militeristiknya, polisi kerap menggunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi dalam menjalankan tugas baik dalam penyelidikan hukum maupun menjaga ketertiban umum.

Watak-watak militeristik itu sendiri sebenarnya belum menghilang benar dari benak kesadaran aparat kepolisian. Berbagai kasus kekerasan masih bisa ditemui saat polisi menjalankan tugasnya. Yang paling banyak dikritik adalah cara-cara polisi khususnya Detasemen Khusus 88 yang kerap melakukan kekerasan seperti menembak mati para terduga teroris dengan berbagai dalih.

Wakil Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Chris Biantoro mengatakan, dengan masih banyaknya terjadi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga sipil, jika Brimob mendapatkan latihan raider, saat diterjunkan mengendalikan huru-hara akan bersikap represif.

Sebab raider TNI merupakan pasukan pemukul. "Belum dilatih saja, pelanggaran yang dilakukan polisi sangat tinggi," kata Chris kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Seharusnya, kata Chris, materi pelatihan yang harus diberikan bukan raider tetapi kemampuan lain. Seperti pendekatan berhadapan dengan masyarakat, kemampuan cyber war dan resolusi konflik. Saat ini persoalan masyarakat telah berubah.

Dengan membekali polisi kemampuan raider, menurut Chris, akan muncul persoalan baru. Keberadaan Densus 88 sebagai unit khusus memburu teroris masih bermasalah. "Banyak pelanggaran terjadi di lapangan dan hingga kini belum dievaluasi," ujarnya.

Kontras sendiri mencatat, selama ini reformasi Polri lebih banyak dilakukan di wilayah normatif, yakni perumusan aturan-aturan legal baru. Misalnya, pada pengesahan produk legislasi seperti Keputusan Presiden BJ Habibie Nomor 89 Tahun 2000 untuk memisahkan struktur dan peran TNI–Polri, lalu dikuatkan oleh TAP MPR VI/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dilanjutkan oleh TAP MPR VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara RI.

Peran TNI dan Polri diatur secara operasional melalui UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34/2004 tentang TNI. Bahkan secara tersirat pemisahan peran TNI dan Polri masuk dalam konstitusi UUD 45 (Amandemen II) pada Bab XII Pasal 30 Ayat (3) dan (4).

Sayangnya dalam praktik, reformasi di tubuh Polri belum benar-benar terjadi. Ini terlihat dari masih tetap terjaganya watak militerisme dalam tindakan konkret kepolisian. Watak itu misalnya terlihat dalam pemberantasan kejahatan dengan menerapkan doktrin musuh terhadap target maupun melegitimasikan kematian musuh.

Misalnya, cara eksekusi langsung tembak mati di tempat dalam menindak terduga pelaku-pelaku terorisme di Temanggung sampai dengan yang terakhir di Aceh. Pola interaksi atasan-bawahan juga masih sentralistik sehingga menjauhkan Polri dari mekanisme kontrol internal yang efektif.

Akibatnya, sistem kerja kepolisian selalu gagal mencegah kecenderungan meningkatnya perilaku-perilaku penyalahgunaan wewenang kepolisian yang melibatkan pejabat tinggi kepolisian, baik di dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam skala besar.

Watak militeristik yang masih ada di tubuh polisi pula yang dinilai menjadi penyebab seringnya terjadi bentrokan dan kekerasan antara anggota TNI dan Polri. Kasus terakhir adalah bentrok antara anggota polisi dengan anggota TNI dari satuan penerbang Angkatan Darat di Semarang pertengahan Juli kemarin.

Bentrokan itu dipicu alah paham antara dua orang anggota Penerbad dan lima orang yang mengaku Brimob di kompleks ATM BRI jalan Abdur Rahman Saleh. Insiden kecil itu memicu terjadinya "penyerbuan" terhadap markas Satuan Brimob Polda Jateng Detasemen A Pelopor Subden 2 Jalan Kumudasmoro Gisikdrono, Semarang Barat, oleh ratusan anggota Penerbad Seamarang bersenjata pada hari Minggu (12/7) lalu.

UU PERBANTUAN - Masih tertanamnya watak militeristik di tubuh aparat kepolisian ini menunjukkan reformasi di kepolisian belum berjalan sepenuhnya. Karena itu wacana-wacana menyatukan kembali TNI-Polri meski hanya dalam bentuk latihan-latihan bersama, dinilai hanya akan semakin memundurkan upaya reformasi Polri.

Chris Biantoro mengatakan, untuk menjawab kebutuhan polisi dalam memburu pelaku kejahatan terorisme di medan-medan berat, seperti di hutan, ada baiknya dilakukan dengan cara meminta bantuan aparat TNI secara resmi. Dalam konteks ini, dia menilai, sebenarnya saat ini ada rancangan UU Perbantuan yang masih belum dibahas di DPR.

UU Perbantuan TNI ini sendiri memang disusun guna menghapus area abu-abu dalam menangani masalah keamanan. Intinya ketika ada masalah keamanan yang tidak bisa ditangani sendiri oleh Polri, maka Polri punya mekanisme hukum untuk melibatkan TNI dalam menanganinya.

Pembentukan UU ini sendiri, sebenarnya merupakan amanat Pasal 4 Ayat (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Disitu disebutkan: "Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang".

Sayangnya, aturan ini masih belum masuk dalam pembahasan di DPR. Padahal dengan adanya UU Perbantuan tersebut, dukungan TNI untuk membantu tugas-tugas polisi menjadi makin jelas dan memiliki dasar hukum.

Hanya saja, menurut Chris, UU Perbantuan ini harus dijelaskan terlebih lebih dulu tujuannya. Jangan sampai pengerahan tentara menjadi kontraproduktif dengan niat awal. "Takut akan menjadi bumerang bagi polisi dan mengancam kredibilitas TNI sendiri," tegas Chris.

Dia juga tak ingin RUU ini diselesaikan secara terburu-buru sehingga nantinya, justru kewenangan Polri-TNI menjadi rancu dan malah menimbulkan wilayah abu-abu. Dalam kaitan ini sementara menunggu payung hukum yang tegas dan jelas, Chris lebih menyarankan polisi untuk menambah perseonelnya.

"Kebijakan satu polisi satu desa masih cukup relevan," katanya. (dtc

BACA JUGA: