JAKARTA, GRESNEWS.COM - Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor kepada terdakwa kasus proyek videotron Hendra Saputra diwarnai beberapa hal menarik. Pertama tentu saja Putusan Hakim Ketua Nani yang mengesampingkan ancaman pidana minimum pada Pasal 2 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut, ancaman minimalnya 4 tahun penjara, dan denda Rp200 juta. Tetapi dalam putusannya, Hakim Ketua Nani hanya menghukum Hendra dengan pidana 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta rupiah

Dan yang kedua adalah adanya dissenting opinion dari hakim anggota dua Sofialdi yang menyatakan Hendra Saputra tidak terbukti bersalah dan meminta Majelis Hakim membebaskannya dari segala dakwaan. Sofialdi berpendapat, unsur dalam dakwaan primer terdakwa melawan hukum dengan melawan hukum tidak terbukti.

"Dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1999, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum bila diatur lebih dulu, dan tidak boleh ditafsirkan secara analogi. Dari keterangan saksi fakta, ahli, dan bukti, Hendra selaku direktur PT Imaji dalam melaksanakan seluruh perbuatannya dilakukan atas perintah Riefan Avrian," ujar Hakim Sofialdi di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Ia menjelaskan segala perbuatan yang dimaksud yaitu mulai dari penandatangan akta perusahaan, pembukaan rekening di BRI, hingga pengajuan kredit di BRI sebesar Rp7 miliar. Semua itu, menurut pendapat Sofialdo, dilakukan atas permintaan Riefan. Bahkan Riefan juga meminta Hendra menandatangani surat kuasa untuk penarikan uang hasil dari proyek tersebut.

Selain itu, dalam dakwaan Jaksa disebutkan bahwa Hendra menandatangi dokumen terkait pengerjaan proyek. Namun menurut Sofialdi hal tersebut tidak bisa menjadi acuan untuk menjerat sang direktur "dadakan" ini. Apalagi lanjutnya, dalam Undang-Undang tidak dilarang seseorang menandatangai suatu dokumen.

Sofialdi berpendapat dakwaan subsidair Jaksa Kejati DKI mengenai unsur penyalahgunaan wewenang juga tidak dapat dibuktikan. Unsur menguntungkan diri sendiri adalah tujuan pelaku tindak pidana korupsi. Dan yang menarik uang hasil proyek videotron malah menguntungkan Riefan, dan ia membagikannya kepada seluruh karyawan dengan mengatakan uang itu adalah bonus perusahaan.

"Unsur kewenangan dalam dakwaan Jaksa juga tidak terbukti. Riefan memanfaatkan Hendra selaku direktur utama PT Imaji. Apalagi Riefan sudah mengakui dan siap mempertanggungjawabkan perbuatannya,"

Karena dakwaan primair dan subsidair Jaksa tidak terbukti, oleh karena itu ia meminta Majelis Hakim Tipikor untuk membebaskan Hendra dari segala tuduhan dan membebankan biaya perkara kepada negara.

Tetapi, karena hanya Sofialdi yang berbeda pendapat sedangkan dua hakim lainnya yaitu Hakim Anggota satu Ibnu Basuki dan Hakim Ketua Nani Indrawati tetap pada pendiriannya dengan menyatakan Hendra bersalah, maka Hendra tetap dihukum.

Pasal 14 Ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan, yang menjadi keputusan adalah suara terbanyak. Untuk itu, sebagai Hakim Ketua Nani tetap menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara serta denda Rp50 juta.

Namun, putusan yang diambil Majelis Hakim yang dipimpin Nani ini bagaimanapun cukup menarik. Ia menghukum Hendra dengan menggunakan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor yang seharusnya ancaman minimalnya 4 tahun penjara dan denda minimal Rp200 juta. Tetapi ia mengesampingkan ancaman hukuman minimal yang ada di pasal tersebut.

Alasannya, Hendra hanya merupakan korban dari kelicikan anak Menkop Syarief Hasan, Riefan Avrian untuk mendapatkan proyek videotron. Dan dalam proses persidangan, Hendra juga mempunyai andil besar dalam mengungkap pelaku sebenarnya kasus ini yang tak lain mantan bos nya Riefan.

Sementara itu pengacara Hendra, Unoto Dwi Yulianto mengatakan, seharusnya Majelis Hakim Tipikor membebaskan Hendra dari semua tuduhan sesuai apa yang dikatakan oleh Hakim Anggota dua Sofialdi. "Selama persidangan terbukti Hendra hanya diperalat Riefan dengan menjadikannya direktur," ujarnya.

Terkait dengan dakwaan Jaksa mengenai tandatangan Hendra di sejumlah dokumen, Unoto pun sependapat dengan Sofialdi. Menurutnya, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Hendra dengan menandatangani dokumen tersebut.

Sedangkan mengenai keputusan Hakim yang mengesampingkan ancaman pidana minamal dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, Unoto beranggapan hal itu merupakan bentuk ketidakberanian Majelis Hakim untuk membebaskan Hendra dari segala dakwaan.

"Saya pikir hari ini menjadi tonggak sejarah hakim lagi-lagi tidak berani mengambil keputusan yang berani. Fakta sudah terungkap bahwa Hendra dijadikan direktur dan diperalat (Riefan)," ujarnya kepada wartawan.

BACA JUGA: