JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus korupsi. Kasus tersebut terkait penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Percadangan Wilayah Pertambangan. Nur Alam juga diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

Dalam menerbitkan izin-izin itu, Nur Alam diduga menerima kickback, atau uang suap. Selain itu, KPK juga mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Nur Alam yaitu pencucian uang. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, dugaan itu muncul didasarkan pada Laporan Hasil Analisis (LHA) yang diberikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Informasi rekening sudah kami dapatkan dari PPATK. Jadi semuanya berjalan lancar. Sedang dikaji apakah ada kemungkinan tindak pidana pencucian uang tapi tergantung bukti-bukti yang didapat ada 2 alat bukti yang cukup maka ditingkatkan jadi tersangka sedangkan bukti-bukti lain yang berhubungan dengan TPPU itu juga akan dipelajari," kata Syarif, dalm konferensi pers di kantornya, Selasa (23/8).

Dari laporan itu, KPK juga mendapati catatan harta milik Nur Alam. Seperti diketahui, selama menjabat sebagai gubernur, Nur Alam tercatat terakhir kali melaporkan harta kekayaan pada 15 Oktober 2012, saat terpilih kembali menjadi Gubernur Sultra periode 2013-2018. Saat itu dia melaporkan harta kekayaan senilai Rp30,956 miliar. Ia tercatat memiliki 13 bidang tanah yang tersebar di beberapa wilayah seperti di Kendari, Makassar, dan Konawe Selatan.

Kemudian, Nur Alam juga memiliki banyak mobil sejumlah enam unit yaitu Nissan Terrano, Toyota Corolla, Suzuki Swift, Mercedes Benz, Toyota Alphard, dan Jeep Wrangler dengan nilai total sekitar Rp2 miliar. Selain itu, dia juga mempunyai usaha lain serta simpanan emas dan juga benda-benda antik.

Namun belakangan diketahui, Nur Alam juga memiliki rekening gendut yang nilainya jutaan dolar AS. Salah satunya diduga berasal dari suap terkait izin pertambangan. Kejaksaan Agung sempat menyelidiki dugaan Nur Alam menerima uang sebesar US$4,5 juta dari seorang pengusaha bernama Mr. Chen.

Chen ini dikaitkan dengan perusahaan Richcorp International. Dan pemberian uang itu disinyalir sebagai konsesi pertambangan PT Billy Indonesia di Sulawesi Tenggara. Penyidik Kejaksaan Agung juga sempat pergi ke Hongkong menyelidiki perusahaan bernama Richcorp International itu, namun ternyata perusahaan tersebut sudah tutup.

Selain itu, Nur Alam juga pernah dilaporkan terkait dugaan gratifikasi berupa mobil mewah, motor mewah dan rumah mewah. Gratifikasi itu juga diduga diterima terkait penerbitan izin usaha pertambangan melalui SK Gubernur Nomor 435 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan izin Usaha Pertambangan Operasi Produk kepada PT Anugerah Harisma Barakah yang dipimpin oleh Muh Yasin Setiawan Putra selaku direktur.

Penerbitan SK Gubernur Sultra tersebut dilakukan secara melawan hukum karena areal pertambangan tersebut semula berada di Kabupaten Bombana yang dikuasai oleh PT PNS selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Bupati Bombana.

Namun Nur Alam menerbitkan IUP dengan cara menggeser tapal batas Kabupaten Bombana dengan Kabupaten Buton sehingga areal tambang tersebut berada pada wilayah Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana. Karena areal tambang itu berada di wilayah Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana maka kewenangan penerbitan IUP harus diterbitkan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara.

Atas penerbitan IUP di atas IUP tersebut tentu saja PT PNS menggugat Gubernur Sultra. Terbukti dalam gugatan tersebut perkaranya dimenangkan oleh PT PNS hingga tingkat banding di Pengadilan Tinggi Makassar.

KAJI TRANSAKSI HARAM NUR ALAM - Soal pencucian uang, Syarif menegaskan, KPK telah mengantongi transaksi mencurigakan yang dilakukan Nur Alam. Informasi tersebut bersumber dari PPATK. "Sedangkan informaai rekening sudah kami dapatkan dari PPATK. Jadi semuanya berjalan lancar. Sedang dikaji apakah ada kemungkinan tindak pidana pencucian uang tapi tergantung bukti-bukti yang didapat ada 2 alat bukti yang cukup maka ditingkatkan jadi tersangka sedangkan bukti-bukti lain yang berhubungan dengan TPPU itu juga akan dipelajari," kata Syarif.

Syarif mengatakan bahwa Nur Alam telah mengalihkan dana yang diterimanya menjadi sejumlah aset seperti tanah dan bangunan serta mobil. Data mengenai itu pun disebut Syarif telah dikantongi KPK. "Itu sebagian yang kami dapatkan, akan dipelajari ada yang sudah jadi mobil atau yang lain akan dijelaskan dalam perkembangan kasusnya," jelas Syarif.

Terkait laporan hasil analisis dari PPTAK, Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, laporan itu masih dikaji. Namun kemungkinan besar KPK juga bakal mengenakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada Nur Alam. "Jika ada dugaan ke arah sana, penyidik akan mendalami dan menganalisis lebih lanjut dari laporan yang sudah ada," kata Yuyuk, Rabu (24/8).

Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan seorang tersangka saja yaitu Nur Alam selaku Gubernur Sultra. Nur Alam disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam perkara ini, KPK juga sudah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Jakarta. Hasilnya KPK menemukan beberapa dokumen terkait kasus tersebut. "Dokumen yang berkaitan dengan perkara yaitu penerbitan IUP Eksplorasi dan IUP Peningkatan Eksplorasi Menjadi Produksi PT Anugrah Harisma Barakah tahun 2009-2010 atau dokumen lain yang ada hubungan dengan perkara," kata Yuyuk.

DIENDUS SEJAK LAMA - Kasus pencucian uang yang dilakukan Nur Alam ini sebenarnya sudah terendus sejak lama, tepatnya pada tahun lalu. Saat itu, PPATK menyetor laporan itu ke Kejaksaan Agung (Kejagung) yang belakangan dihentikan pengusutannya.

Terkait penetapan Nur Alam sebagai tersangka, Ketua PPATK M Yusuf mengaku tidak kaget. Dia mengatakan, PPATK sudah mencium transaksi mencurigakan Nur Alam sejak tahun 2013. "Saya ceritakan, awalnya tahun 2013 memang awal kita mengirimkan kepada kejaksaan tentang adanya transaksi mencurigakan atas nama sejumlah kepala daerah, bupati/wali kota. Oleh kejaksaan didalami, kejaksaan minta bahan ke kita. Konon katanya kejaksaan sudah sampai keluar negeri (untuk menelusuri transaksi mencurigakan Nur Alam). Hingga akhirnya tahun 2015 kasusnya dihentikan," kata M Yusuf di Kompleks Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (24/8).

Yusuf menyebut, transaksi mencurigakan di rekening Nur Alam sangat masif selama beberapa tahun. Bahkan nilai transaksi mencapai puluhan miliar. Namun, karena pihak kejaksaan menghentikan penyelidikan, PPATK akhirnya menyetor informasi dan data ke KPK. Setelah diproses KPK selama beberapa waktu, ditemukanlah alat bukti kuat untuk menjerat Nur Alam dengan sangkaan korupsi.

"Kami juga karena memandang ini sebagai kasusnya penyelenggara negara, Nur Alam, dan dia juga berafiliasi dengan parpol yaitu PAN, itu kan relatif lebih mudah kalau KPK yang menangani. Yang kedua KPK punya fungsi supervisi, yaitu kasus-kasus oleh karena itu kami kirim juga informasi ke KPK, akhirnya dibantu deh untuk monitoring. Nah pada saat kejaksaan menghentikan, KPK sudah membangun case building. Mereka minta juga pada kita, dan kita kirim ada berapa fase. Dan nilai uangnya tidak etis lah kalau saya sampaikan, puluhan M (miliar rupiah-)," jelas Yusuf.

Nur Alam disangkakan menerima imbalan dari para pengusaha agar bisa memuluskan proses penerbitan Surat Keputusan (SK) dan izin dalam sektor pengelolaan sumber daya alam. Menurut Yusuf, modus Nur Alam juga telah terdeteksi sejak lama. Yusuf menegaskan, bahwa data yang dipunyai PPATK adalah data yang valid.

"Jadi gini, biasanya praktik-praktik pelanggaran korupsi itu berkaitan dengan satu, penyalahgunaan perizinan, kewenangan, dan anggaran. Kami sudah petanya. Jadi dari pihak KPK, PPATK sudah punya identifikasi, bisa penyalahgunaan perizinan, kewenangan, atau anggaran, dan keempat gratifikasi. Saya hormati dua lembaga itu. Kami itu kan PPATK ada jaksa, polisi, akuntan, sehingga informasi dari kami juga akurat," tegas Yusuf. (dtc)

BACA JUGA: