JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sikap Mahkamah Agung (MA) untuk tidak mengeluarkan fatwa terkait polemik boleh-tidaknya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diberhentikan sementara lantaran menyandang gelar terpidana mendapat apresiasi. Alasan MA yang tak mengeluarkan fatwa lantaran peradilan telah berlangsung sehingga menjaga independensi sudah tepat.

Pakar Tata Negara Margarito Kamis menyebutkan MA sudah bersikap benar dengan menolak mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Apalagi, MA beralasan tidak bisa mengeluarkan fatwa karena fatwa tersebut diminta atas perkara yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Margarito sepakat bahwa jika MA mengeluarkan fatwa maka peradilan yang tengah berlangsung di PTUN akan menjadi tidak independen. "Pendapat atau fatwa MA akan berpengaruh terhadap sikap hakim yang sekarang tengah memeriksa kasus tersebut. Dan jika begitu, Ketua MA telah merusak independensi peradilan," kata Margarito kepada gresnews.com, Rabu (22/2).

Namun demikian, Margarito juga menjelaskan, pendirian Tjahjo Kumolo untuk tetap tidak memberhentikan Ahok hingga ada putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada dasarnya merupakan pendirian yang tidak memiliki pengaruh secara hukum. Alasannya, sambung Margarito, di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan memberhentikan gubernur merupakan domain presiden. Bukan domain menteri dalam negeri.

Disinggung bahwa di dalam UU a quo disebutkan Presiden memberhentikan gubernur atas rekomendasi Mendagri, Margarito menyebut hal itu sebagai persoalan teknis antar institusi, bukan persoalan hukum.

"Itu persoalan teknis. Rekomendasi dan pernyataan sikap macam apa pun yang ditujukan kepada presiden, tidak punya kekuatan hukum mengikat. Pemberhentian gubernur sepenuhnya menjadi kewenangan presiden sehingga yang harus kita dapati sekarang adalah sikap presiden atas persoalan ini," paparnya.

Beberapa waktu lalu, Ketua PP Muhamadiyyah Dahnil Simajuntak menyatakan, Presiden Joko Widodo menunggu fatwa MA untuk menyelesaikan polemik pemberhentian Ahok ini. Namun demikian, menurut Margarito, dengan atau tanpa fatwa dari MA, sikap Jokowi andai dirinya keukeuh tidak memberhentikan Ahok, tetap beralasan.

"Jika saja kemarin MA mengeluarkan fatwa agar Ahok diberhentikan, belum tentu fatwa itu dilaksanakan. Alasannya, bisa saja bahwa fatwa MA itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Jadi tidak ada pengaruhnya juga buat presiden," kata Margarito.

Ia menyebut bahwa presiden cenderung akan tetap tidak memberhentikan Ahok dalam waktu dekat dengan dalih bahwa saat ini ada dua gugatan terhadapnya di PTUN. Dengan kata lain, presiden akan menunggu lebih dulu putusan PTUN.

"Begitu tindakan pemerintah digugat di PTUN, sepanjang belum ada putusan, maka tindakan pemerintah--dalam hal ini presiden--harus dianggap benar. Itu yang diatur dalam UU PTUN," terang Margarito.

Lantaran itulah Margarito menyebut kedua gugatan yang ada di PTUN sekarang secara tidak langsung telah memberi justifikasi atas sikap presiden yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai tindakan kontroversial.

Padahal, menurutnya, demi menghentikan semua kegaduhan yang terus terjadi belakangan ini, Jokowi sudah seharusnya memberhentikan Ahok sementara. Menurut Margarito, bagaimanapun konsekuensi dari tindakan tersebut, Jokowi sebagai presiden telah bersumpah akan menaati dan menjalankan UUD dan UU lainnya demi seadil-adilnya kepentingan bangsa dan negara.

"Saya tahu presiden mungkin punya kalkulasi dan ekespektasi sendiri, tapi kalkulasi dan ekspektasi yang paling hebat haruslah didasarkan pada konstitusi dan kedalaman moral pemimpin. Dalam hal ini, kedalaman moral bisa dilihat dari sejauh mana seorang presiden komitmen terhadap sumpahnya," paparnya.

Margarto juga menilai, memberhentikan Ahok terkait status hukumnya sebagai terdakwa dapat menjadi momentum bagi Jokowi untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar bersikap independen, terlepas dari hubungan baiknya dengan Ahok selama ini, baik secara personal maupun politis. Bagaimanapun, polemik seputar kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok telah membuat negeri ini gaduh dalam kurun waktu 5 bulan ke belakang. Mau tidak mau, Jokowi harus meredakannya.

"Saya ingin Presiden Jokowi membuktikan diri bahwa beliau sepenuhnya berjalan di atas aturan-aturan konstitusi. Saya tidak ingin beliau dikenang sebagai presiden yang kerap melanggar konstitusi," pungkasnya.

Senada dengan Margarito, praktisi hukum sekaligus Pakar Tata Negara Irmanputra Sidin juga menyebut MA sudah bersikap benar dengan memberikan fatwa kepada Kemendagri.

"Sikap MA sudah benar. Dalam kasus Ahok, tidak ada kebutuhan bagi lembaga negara, baik presiden maupun kementerian dalam negeri, untuk meminta fatwa kepada MA," kata Irman kepada gresnews.com, Rabu (22/2).

Irman menerangkan, semestinya MA dimintai fatwa andai dalam konteks menentukan sikap hukum tertentu, ada perdebatan yang mendahuluinya. Dengan kata lain, sebuah lembaga baru bisa minta fatwa kepada MA sekiranya di lembaga tersebut ada pendapat berbeda dalam menilai suatu perkara.

"Memang ada problem atau perdebatan di Kemendagri (dalam konteks kasus Ahok--red)? Memangnya Presiden Jokowi galau? Kan tidak. Tindakan MA sudah tepat. Masalah ini harus bisa diselesaikan sendiri oleh pihak Kemendagri," tukasnya.

SIKAP BERHATI-HATI - Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto menerangkan, pihaknya tidak mempermasalahkan sikap MA yang tidak menggubris permintaan mendagri agar mengeluarkan fatwa.

"MA tidak bisa mengeluarkan fatwa dengan pertimbangan fatwa yang kami minta berkaitan langsung dengan perkara yang kini sedang digugat di PTUN. Bagi kami, itu tidak apa-apa. Dikasih ya syukur, gak dikasih juga gak apa-apa. Itu domainnya MA," kata Widodo kepada gresnews.com, Rabu (22/2).

Disinggung bahwa dampak dari tidak diberhentikan sementaranya Ahok oleh Kemendagri salah satunya adalah aksi massa 212 lalu di komplek DPR, Widodo menyebut hal itu lebih dilandasi aspek politis, alih-alih pemahaman yang utuh atas alasan hukum yang dikemukakan kemendagri.

"Itu sudah masuk ranah politik. Tidak ada kaitannya dengan pertimbangan hukum kami. Karena politis, jadi ya silakan sampaikan ke Senayan," katanya.

Widodo menjelaskan, dengan atau tanpa desakan massa sekalipun, lebih-lebih dengan terangnya pandangan MA, sikap kemendagri atas kasus Ahok masih sama dengan sikap mendagri satu atau dua minggu sebelumnya.

"Mendagri masih menganggap kasus Ahok ini masih multitafsir. Sikap ini tidak dibuat-buat oleh Kemendagri sendiri, tapi didasarkan pada pengalaman," kata Widodo.

Widodo menjaskan, pihaknya sudah pernah memberhentikan Bupati Kabupaten Ogan Ilir, Ovi, yang terjaring Operasi Tangkap Tangan oleh Badan Narkotika Nasional. Namun demikian, putusan Kemendagri untuk memberhentikan Ovi malah berbalik menjadi gugatan terhadap Kemendagri di PTUN.

"Kami digugat, dan kalah. Padahal, di dalam UU sudah jelas bahwa kepala daerah tidak boleh narkoba," kata Widodo.

Selain kasus Ovi, Widodo juga menyebut nama Gubernur Gorontalo Ruslie Habibi sebagai contoh yang relevan dengan pendirian kemendagri atas kasus Ahok. Menurut Widodo, Rusli sudah menyandang status terhukum lantaran kaitannya dengan kasus pencemaran nama baik eks Kapolda Gorontalo Budi Waseso. Namun demikian, Rusli tidak dicopot dari jabatannya lantaran hukuman pidana yang diberikan kepada politisi Partai Golkar itu hanya dua tahun.

Lantaran itulah dalam menyikapi kasus Ahok, Widodo menyebut mendagri lebih memilih bertindak hati-hati, alih-alih memberi semacam keistimewaan kepada mantan Bupati Belitung Timur itu--tudingan yang kerap ditujukan kepada Jokowi maupun Tjahjo Kumolo.

"Ada orang yang menyebut Ahok melakukan penistaan, tapi ada juga yang bilang bukan. Sementara kalau Ahok terbukti melakukan penistaan agama, hukumannya juga kan belum tentu lima tahun. Makanya kita tunggu putusan pengadilan saja. Jika tidak begitu, bisa-bisa nanti digugat juga kita," paparnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, Widodo mengimbau agar masyarakat bisa melihat keputusan Mendagri dengan menggunakan kacamata yang lebih proporsional. Menurutnya, masyarakat harus tahu bahwa selain Ahok, ada pula kepala daerah yang tidak diberhentikan kemendagri meskipun tindakannya terbukti melawan hukum. Dan, sikap kemendagri ditunjang alasan-alasan yang konstitusional.

"Jangan sampai masyarakat tahunya kasus seperti ini seolah-olah hanya terjadi pada Ahok. Kalau pemerintah disebut tidak menegakkan aturan, dalam kasus Ovi dan Rusli kan pemerintah juga sudah menegakkan aturan. Dalam kasus Ovi kita bahkan malah digugat. Kok pada gak ribut? Masyarakat harus tahu juga kasus-kasus itu," tukasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: