JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Lagi-lagi dengan alasan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC), jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut ringan terdakwa kasus suap ijon proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Abdul Khoir. Jaksa menuntut Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama itu pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda sebesar Rp200 juta.  

Ketua Tim Penuntut Umum pada KPK, Kristanti Yuni Purwanti, mengatakan Khoir dinilai telah terbukti bersalah memberi suap kepada sejumlah anggota Komisi V DPR seperti Damayanti Wisnu Putranti, Andi Taufan Tiro, Budi Supriyanto, Musa Zainuddin, dan Ketua Balai Pembangunan Jalan IX Maluku, Amran Hi Mustary.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan gabungan beberapa perbuatan," kata Yuni saat membacakan surat tuntutan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/5).

Dalam tuntutannya, jaksa menyebut ada sejumlah pertimbangan yang memberatkan. Diantaranya perbuatan Khoir dianggap tidak mendukung upaya pemerintah yang sedang giat memberantas tindak pidana korupsi. Selain itu, perbuatan tersebut menghambat pembangunan jalan di Maluku, karena dengan adanya kasus korupsi ini pembangunan jalan itu terbengkalai. Kemudian perbuatan Khoir juga merusak tatanan hubungan antara pihak eksekutif dan legislatif.

Namun jaksa hanya meminta majelis hakim mengganjar terdakwa dengan hukuman penjara 2,5 tahun. Tuntutan itu dinilai masih ringan. Sebab dakwaan Pasal 5 Ayat (1) UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ancaman maksimal hukumnya hingga 5 tahun penjara.  

Namun jaksa berdalih, terdakwa dituntut ringan karena mempertimbangkan peran terdakwa. "Sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC)," ujar Yuni.

Dijelaskan Yuni, pengajuan Khoir sebagai Justice Collaborator disetujui oleh KPK sejak 16 Mei 2016. Sehingga karena perannya itu, Khoir berhak mendapat tuntutan lebih ringan.

Kendati demikian, bagi kuasa hukum Abdul Khoir, Chaeruddin Masaro, tuntutan dua tahun enam bulan penjara itu masih dianggap terlalu berat bagi kliennya. Apalagi Khoir telah ditetapkan sebagai Justice Collaborator oleh KPK.

"2,5 tahun ini sebenarnya masih belum mencerminkan Justice Collaborator-nya diterima, karena salah satu yang menentukan kan hakimnya," ujar Chaeruddin usai persidangan.

Sebelumnya dalam dakwaan yang dibacakan jaksa pada 4 April 2016, Abdul Khoir didakwa menyuap Damayanti, anggota Komisi V DPR dari PDIP, senilai Rp3,28 miliar. Uang itu untuk memuluskan jatah proyek dari program aspirasi di DPR yang disalurkan untuk proyek pelebaran Jalan Tehoru-Limu, Maluku, senilai Rp41 miliar.

Terdakwa Abdul Khoir menyetujui pemberian fee sebesar 8 persen dari nilai proyek atau sebesar Rp3,2 miliar di muka, asal ia bisa menggarap proyek yang diberikan sebelum proses lelang. Untuk memenuhi kesanggupan fee tersebut Khoir meminjam uang ke Sok Kok Seng (Aseng) sejumlah Rp1,5 miliar dan kepada Hong Artha John Alfred sejumlah Rp1 miliar, untuk diberikan ke Damayanti. Uang tersebut ditukarkan dalam bentuk dolar Singapura sebesar SGD305 ribu.

Selanjutnya  uang itu diberikan kepada Damayanti Wisnu Putranti melalui koleganya, Dessy Ariyanti Edwin, di Restoran Merah Delima, Jakarta Selatan. Kemudian dibawa dan disimpan oleh Julia Prasetyarini alias Uwi.

Atas perbuatannya, Khoir didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana hukuman minimalnya satu tahun dan maksimal lima tahun penjara.

Khoir didakwa bersama-sama Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng, dan Direktur PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred yang diduga melakukan suap terhadap beberapa anggota Komisi V DPR.

TAK HANYA PROYEK JALAN - Kasus korupsi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tampaknya tak hanya sekadar proyek pembangunan jalan semata. Sejumlah proyek infrastruktur lainnya di kementerian tersebut disinyalir juga menjadi ajang permainan.

Sebelumnya massa dari Lembaga Muda Garuda Indonesia (LGMI) bersama Komunitas Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK) juga menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung KPK. Mereka membeberkan sejumlah kasus korupsi di Kementerian PUPR lainnya. Diantaranya terkait proyek penyediaan perumahan.

Massa mendesak KPK melakukan pengusutan dugaan korupsi yang berkaitan dengan penyediaan perumahan tersebut. Dalam rilisnya kepada wartawan, mereka menuding ada kongkalikong antara pihak perusahaan BUMN dengan oknum kementerian.

Ia membeberkan sejumlah modus operandi yang digunakan untuk menggangsir duit proyek pemerintah tersebut. Pertama, kongkalikong tender proyek untuk mendapat komisi yang besar dan memonopoli tender untuk memenangkan perusahaan tertentu. Kedua, untuk mengelabui masyarakat seolah-olah tender sudah sesuai dengan aturan. Ketiga, proyek-proyek tersebut dijual dengan imbalan komisi.

"Untuk pemenang tender BUMN dikenakan komisi 5-7 persen yang dikeluarkan dengan cara membuat mark up terhadap biaya pelaksanaan lapangan," kata perwakilan aksi, Dwiyono Notosaputro.

Kemudian, para perusahaan BUMN seolah-olah menjadi pelaksana tender utama, padahal pekerjaan tender disubkontrakkan kepada pihak lain. Pihak swasta yang ingin memenangkan tender dikenakan komisi sekitar 13 persen untuk para pejabat di Kementerian PUPR.

"Pokja 1 persen, PPK 2 persen, Kasatker 5 persen, Direktur 2,5 persen, dan Dirjen 2,5 persen," papar Dwiyono.

Menurut mereka, setidaknya ada lima perusahaan BUMN yang ikut terlibat dalam dugaan korupsi ini. Mereka adalah PT Waskita Karya, PT Hutama Karya, PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, dan PT Brantas Abi Praya.

Catatan gresnews.com, perusahaan BUMN tersebut memang kerap tersangkut kasus korupsi di KPK seperti proyek Hambalang dan Pembangunan Dermaga Sabang. Untuk PT Brantas Abi Praya baru-baru ini tersangkut kasus suap dalam pengamanan perkara di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

BACA JUGA: