JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis AKbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat publik berpendapat Mahkamah Konstitusi harus memiliki lembaga pengawasan. Tugas pengawasan itu bisa saja diserahkan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas keluhuran, kehormatan dan martabat hakim. Namun kalangan Mahkamah Konstitusi keukeuh menolak kehadiran KY sebagai sebagai pengawas lembaganya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat terang-terang menyatakan menolak dilakukannya pengawasan MK oleh Komisi Yudisial. Menurutnya MK, sebagai lembaga kehakiman yang diatur di dalam Pasal 24C UUD 1945, tidak bisa diawasi, atau lebih tepatnya dijaga oleh KY.

"Saya tidak setuju dengan istilah pengawas. Kalau istilah pengawas berarti kita sub-ordinat. Kalau sub-ordinat berarti bisa kehilangan independensi," ujar Arief.

Arief menerangkan dalam konstitusi, khususnya pasal 24B, istilahnya menjaga, bukan mengawasi. "Saya sampaikan, saya tidak mau diawasi tapi mau dijaga. Jadi jika orang masih bilang MK harus diawasi, ini artinya gagal faham konstitusi," kata Arief, Rabu (31/1).

Ia menambahkan dalam Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, KY diletakkan di Pasal 24B, setelah Mahkamah Agung (MA) yang diatur di dalam Pasal 24A. Adapun MK diletakkan setelah KY, yakni di Pasal 24C. Dengan struktur demikian, menurut Arief, MK tidak punya kaitan apa-apa dengan KY.

"Kalau ada kaitan antara KY dan MK, harusnya MK ditempatkan di Pasal 24B. Barulah KY ditempatkan di Pasal 24C. KY ditempatkan di Pasal 24B karena KY hanya berhubungan dengan MA," lanjut Arief. Lantaran itulah Arief kembali menegaskan, andai ada pihak-pihak yang bersikeras menghendaki MK menjadi lembaga yang dijaga oleh KY, maka UUD-nya harus lebih dulu diubah.

"Kita ditugasi untuk menegakkan konstitusi. Nah sekarang ada UU yang bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi—red) ya konsekuensinya kita batalkan. Jadi itu dasarnya. Artinya gagal faham konstitusi kalau menghendaki KY berkaitan dengan MK," kata Arief.

Arief menerangkan, untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, MK sendiri sudah punya Dewan Etik. Menurutnya, Dewan Etik bahkan sudah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Apa yang Dewan Etik lakukan juga menurut Arief bisa dipantau masyarakat di website MK. Bahkan terakhir, rekomendasi Dewan Etik bahwa MK harus membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan membebastugaskan Patrialis Akbar, sudah bisa diakses publik di www.mahkamahkonstitusi.go.id.

"Jadi kalau ada anggapan bahwa Dewan Etik itu tertutup, internal, dan tidak transparan, itu keliru semua karena sudah diupload di web," kata Arief.

Namun demikian, Arief juga menyebut bahwa andai publik ingin MK memiliki satu lembaga eksternal semacam KY bagi MA. Menurutnya tidak perlu ada Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagaimana Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK—Perppu yang kemudian berubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014.

"Menurut saya Perppu gak perlu. Kalau mau memperkuat, bentuk saja badan yang menjaga kita, silakan. Tapi jangan KY lho ya. Kalau KY nanti bertentangan dengan putusan mahkamah dan dengan konstitusi, nanti pasti kita batalkan lagi," katanya.

Menurut Arief, bisa saja pemerintah membentuk dewan kehormatan hakim konstitusi. Hal demikian, menurutnya, tak ubahnya lembaga pengawas yang bertugas menjaga KPU dan Bawaslu—Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). "Itu kan sama saja mungkin Dewan Etik ditingkatkan namanya itu. Tapi namanya bukan Dewan Pengawas, melainkan Dewan Penjaga Kehormatan," katanya.

 

TIDAK EFEKTIF - Namun Pakar Tata Negara Refly Harun menilai, MK sudah seharusnya memiliki lembaga khusus yang bertugas melakukan penjagaan. Menurut Refly, pemerintah sudah seharusnya membentuk semacam Majelis Kehormatan, Majelis Etik atau Dewan Etik, yang bertugas mengantisipasi bentuk-bentuk penyimpangan kode etik sekecil apa pun.

"Agar tidak menggurita seperti yang terjadi pada hakim MK sekarang," kata Refly, Rabu (1/2). Menurutnya, sebenarnya tidak haram memberikan kewenangan itu pada KY, tapi tidak haram juga membentuk lembaga baru yang sifatnya eksternal.

Namun demikian, Refly menambahkan, andai MK bersikeras mempertahankan Dewan Etik sebagaimana yang berlaku saat ini, hal itu sangat tidak efektif. Alasannya, Dewan Etik MK dibentuk, difasilitasi, dan bertugas di bawah sistem MK sendiri. Sehingga ada perasaan ewuh-pakewuh. Terlihat juga Dewan Etik banyak melindungi hakim-hakim yang melanggar kode etik. "Contoh soal kasus katebelece. Itu malah dikasih sanksi ringan padahal itu pelanggaran berat," paparnya.

Refly juga menyebut Dewan Etik MK tidak bekerja dengan transparan. Beberapa pihak yang pernah mengadu ke Dewan Etik merasa perjuangannya sia-sia. "Karena tidak ada proses transparan yang bisa kita lihat, bahkan kecenderungannya Dewan Etik terkesan melindungi hakim-hakim MK," kata Refly.

Refly juga mengkritisi tafsir MK atas kedudukan KY yang diputus pada tahun 2006 lalu. Menurutnya, putusan itu mesti ditinjau kembali, mengingat relevansinya dengan konteks hari ini.

"Apakah tafsir konstitusi itu masih relevan?" tanyanya.

Menurut Refly, perkara konstitusionalitas itu bisa berubah. Dulu yang namanya hukuman mati dianggap konstitusional, besok-besok bisa dianggap inkonstitusional. Demikian juga putusan MK. Persoalan konstitusionalitas itu dinamis.

Bahwa Arief Hidayat menyebut pihak-pihak yang meminta MK diawasi oleh KY sebagai pihak-pihak yang gagal memahami konstitusi, menurut Refly tidak demikian. Menurutnya, saat seseorang bicara mengenai penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation, maka original intent atau asbabu nuzul sebab turunnya suatu pasal tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk melakukan penafsiran.

"Banyak cara menafsirkan konstitusi termasuk dengan paham kekinian, kontekstualitasnya. Jadi tidak hanya teks. Tapi konteks. Tidak hanya sejarah, tapi fenomena kekinian juga. Karena itu yang namanya konstitusionalitas bergerak dari masa ke masa," kata pakar hukum tata negara ini.

Refly mencontohkan, di Amerika, dulu, orang-orang mengatakan bahwa aturan mengenai hukuman mati terhadap anak di bawah 18 tahun adalah aturan konstitusional, dengan catatan anak tersebut sudah berusia 16 tahun. Namun aturan itu, kini dianggap inkonstitusional seiring berkembangnya pemahaman di masyarakat. "Apa yang dulu konstitusional bisa jadi sekarang tidak. Demikian juga sebaliknya. Apa yang dulu inkonstitusional sekarang menjadi konstitusional,” kata Refly.

Refly juga menilai, pendapat Arief bahwa MK mau dijaga KY dengan catatan UUD 1945-nya harus diamandemen lebih dulu, adalah pendapat yang keliru. Menurutnya mengubah penafsiran atas undang-undang harus diputus dengan mengubah UUD, padahal mengubah konstitusi itu perkara yang tidak mudah. "Maka buat apa ada MK? MK dibutuhkan untuk menafsirkan konstitusi dari masa ke masa," papar Refly.

Ia menegaskan bahwa perubahan undang-undang dan putusan MK masih bisa dilakukan selama perubahan itu didasarkan pada dasar-dasar dan nalar yang benar. Bukan berdasar kepentingan-kepentingan pihak tertentu, baik kepentingan pihak luar maupun kepentingan MK sendiri.

Terakhir, Refly menyatakan pandangan berbeda dalam menilai kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Bahwa MK menyebut kasus tersebut merupakan kasus individual, bukan kasus institusional. Dirinya mengaku tak sependapat.

"Saya tidak begitu percaya ini persoalan individual. Ini persoalan sistemik. Sebab jika sistemnya baik, yang begini-begini ini gak bakal terjadi. Ini menunjukkan sistemnya tidak baik," katanya.

Lantaran itu, untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan. Ada banyak hal yang harus segera dibenahi. Salah satunya pola rekrutmen hakim MK.  Dengan perbaikan sistem rekrutmen dan sistem pengawasan, Refly berpendapat bahwa hakim konstitusi yang baik akan tetap baik dan hakim yang ternyata memiliki tabiat buruk tidak bisa melakukan apa-apa, karena sistemnya baik.

Dua hal itu, menurut dia, sejatinya sudah diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK Mahkamah Konstitusi. Namun UU tersebut sudah dibatalkan MK. Atas hal itulah Refly menilai, kasus yang menjerat Patrialis Akbar sejatinya bisa dijadikan momentum untuk menghidupkan kembali sejumlah norma di dalam UU Nomor 4 Tahun 2014.

"Kita harus selamatkan MK. Coba bayangkan, semua institusi sudah tidak benar semua. Termasuk institusi yang lahir dari rahim reformasi. MK tidak benar, DPD ketuanya ditangkap, KPK juga pernah bermasalah, dan lain sebagainya. Lalu lembaga mana yang benar di republik ini? Kita harus melakukan recovery," pungkasnya.

POIN PENTING UU 4/2014 - Sebagai catatan, UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan MK memiliki tiga isu penting yang dianggap bisa menjaga MK agar lebih baik ke depannya. Isu pertama adalah mengenai syarat hakim konstitusi. Dalam UU a quo disebutkan bahwa syarat menjadi hakim konstitusi adalah seseorang tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.

Isu selanjutnya, mengenai tim panel ahli yang bertugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim MK setelah calon hakim tersebut diajukan oleh DPR, Presiden, dan MA. Singkatnya, panel ahli bertugas menyaring calon hakim MK sebelum calon-calon tersebut ditetapkan lewat SK presiden.

Ketiga, UU Nomor 4 Tahun 2014 juga menyoal perbaikan sistem pengawasan MK. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membentuk lembaga permanen, misalnya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang nantinya dibentuk KY dan MK.

Hanya saja, MK terlanjur menilai bahwa ketiga isu yang sudah dijadikan norma itu, dan kini dianggap penting oleh sebagian masyarakat, tak lain adalah norma-norma yang inkonstitusional. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: