JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati gugatannya telah dikalahkan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.  Nelayan Muara Angke mengaku masih menaruh optimisme atas gugatan mereka terhadap izin reklamasi Pulau G, Jakarta Utara yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Kuasa hukum nelayan Muara Angke, Tigor Gemdita Hutapea menilai Putusan Banding Nomor 228/G/PT.TUN.JKT  tidak mencerminkan rasa keadilan bagi warga. Tigor menilai hakim PTTUN melakukan kesalahan dalam membuat pertimbangan hukum saat memutus banding perkara reklamasi Pulau G. Dia melihat ada ketidaksinkronan antara putusan tersebut dengan pertimbangan hakim saat memutuskan perkara mereka.

Hakim dalam pertimbangannya, merujuk kepada Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 3 tahun 2015. Dengan Sema itu, hakim tinggi TUN menilai gugatan yang diajukan nelayan Muara Angke tentang  izin reklamasi Pulau G sudah daluarsa. Pertimbangan itu, menurut Tigor, hakim tinggi telah salah dalam penerapan hukumnya.

"Kami menilai majelis hakim salah dalam menerapkan hukum, menilai gugatan penggugat daluarsa dengan menggunakan Sema Nomor 3 Tahun 2015, padahal gugatan kami masuk sebelum Sema itu berlaku," kata Tigor kepada gresnews.com, Kamis (1/12).

Karena menganggap pertimbangan hukum hakim tinggi TUN salah dalam penerapan hukum, nelayan pun akhirnya mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Nelayan telah mengajukan kasasi itu pada 21 November 2016 untuk menguji kembali putusan banding yang dikeluarkan PTTUN.

Lebih jauh Tigor mengaku melihat ada dua pertimbangan hakim yang menurutnya janggal. Pertama soal pengerjaan reklamasi Pulau G yang disebutnya telah selesai pembangunannya di Teluk Jakarta. Padahal, proses pengerjaan itu baru selesai sekitar 20 persen.

"Contohnya hakim menilai pulau reklamasi telah selesai  dibangun padahal Pulau G baru 20% pengerjaan," ujar Tigor.

Selain itu, hakim juga luput mempertimbangkan bahwa Pulau G pada dasarnya telah dihentikan sementara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK menghentikan sementara reklamasi pulau G sebagai sanksi karena dalam prosesnya banyak dilakukan dengan tidak prosedur, sehingga merugikan nelayan Muara Angke.

Dengan alasan itu, Tigor mengaku optimis, bahwa pertimbangan hakim akan merujuk kepada kepentingan nelayan. "Kalau majelis hakim MA dapat menilai keadilan bagi nelayan kami yakin bisa menang," pungkas Tigor.

PERTIMBANGAN BERBEDA - Khusus terhadap pulau G, gugatan nelayan, di Pengadilan Tata Usaha Negara atau pengadilan tingkat pertama itu telah dimenangkan. Namun pada putusan Pengadilan Tinggi nelayan harus menelan pil pahit lantaran hakim PT TUN membatalkan putusan Pengadilan TUN Jakarta Nomor 193/G/LH/15/PTUN-JKT, tanggal 31 Mei 2016 yang dimohonkan banding oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Sebelumnya para nelayan teluk Jakarta, mengajukan gugatan atas SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238/2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa pada 15 September 2015 lalu.

Dalam putusan tingkat pertama, ketua majelis hakim PTUN, Adhi Budhi Sulistyo menyatakan, izin reklamasi yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mematuhi syarat formal sesuai perundang-undangan. Sebab pihak tergugat Pemda DKI Jakarta  tidak dapat menunjukkan rencana zonasi seperti disebutkan dalam ketentuan.

Peraturan lainnya yang mesti ditaati dalam menerbitkan izin reklamasi adalah ketentuan Permen KP Nomor 17/PERMEN-KP/2013. Menurut Permen tersebut, reklamasi yang dilakukan di laut harus menggunakan rencana zonasi.

Namun di tingkat banding PTTUN, hakim menggunakan pertimbangan yang berbeda, sehingga putusan TUN dibatalkan ditingkat banding.

Saat ditanya apakah ada intervensi dalam perkara tersebut untuk memuluskan megaproyek di Pantai pesisir Jakarta, Tigor masih enggan berspekulasi. "Kami belum melihat ke sana kalau dalam proses persidangan," tukas Tigor.

Untuk itu Tigor berharap hakim di tingkat kasasi bisa melihat kasus tersebut dengan jernih sehingga bisa mengabulkan gugatan para nelayan Muara Angke.

BACA JUGA: