JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Timur (DPP Apindo Jatim) mengajukan gugatan terhadap dua pasal dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Permohonan yang diwakili oleh Ketua Apindo Jatim Alim Markus dan Sekretaris DPP Apindo Jatim Haryanto meminta pengujian terhadap Pasal 88 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pasal 88  Ayat (4) berbunyi  Pemerintah menetapkan upah minimum. Sedang pasal 89  Ayat (3) berbunyi upah minimum ditetapkan Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota’.

Pada sidang Kamis kemarin pihak penggugat menghadirkan saksi ahli bahasa Budinuryanta Yohanes untuk menguatkan kerugian yang dialami pemohon atas berlakunya pasal-pasal tersebut. Yakni hilangnya hak dan kewenangan pemohon untuk mengelola pengupahan di perusahaan. Serta  tidak adanya efisiensi yang berkeadilan dan menghentikan kelanjutan usaha atau perusahaan pemohon.

Dalam persidangan tersebut, Budinuryanta memaparkan analisisnya terhadap penggunaan bahasa dalam pasal-pasal dan ayat-ayat UU Ketenagerjaan itu. Menutnya, bahasa dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang dimohonkan pemohon menggunakan redundancy (gejala penggunaan bahasa yang ditandai jumlah informasi yang diberikan melebihi jumlah yang diperlukan, gejala itu disebut juga kelimpahan makna).

Menurutnya, jika alasan pemohon menyatakan penentuan kebutuhan hidup layak (KHL) dilakukan berdasarkan survei pasar oleh dewan pengupahan kabupaten/kota, sesuai Permenaker Nomor 13 Tahun 2012 dan nomor 31 itu dapat diterima. Maka besar kemungkinan perhitungan KHL yang diusulkan telah meliput juga produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.

“Jika benar penghitungan KHL yang direkomendasikan telah meliput produktifitas dan pertumbuhan ekonomi, maka gejala redundancy (kelimpahan makna) terjadi juga pada Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan,” katanya.

Agar tidak berkelimpahan makna, kata Budinuryanta, rumusan Pasal 88 ayat (4) tersebut seharusnya tertulis, ‘Pemeritah menempatkan upah minimum sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak. “Jadi mempertimbangkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi ditanggalkan karena ada redundancy tadi,” ujarnya.

Sementara kata memperhatikan dalam hubungannya dengan frasa ‘rekomendasi dari dewan pengupahan’, sebagaimana rumusan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak lagi bermakna mengamati, mencermati, atau mengawasi, tetapi bermakna gramatikal menggunakan dasar atau berdasarkan. “Dalam hal ini, rekomendasi dari dewan pengupahan dijadikan sebagai dasar penetapan upah minimum dan tidak dijadikan sebagai objek pengamatan, pencermatan, atau pengawasan.

Menurut dia, penggunan frasa berdasarkan akan lebih tepat, tegas, dan khusus menciptakan makna gramatikal, menggunakan dasar rekomendasi dari dewan pengupahan. Sehingga rumusannya menjadi “Upah minimum, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati/walikota’.

Menurutnya, dari perspektif linguistik (ilmu bahasa), redundancy terkategori sebagai pemborosan unsur bahasa yang berakibat pada keanekaan interpretasi. Pada gilirannya, berakibat pula pada keperbedaanpahaman (misconception). Keanekaan interpretasi serta keperbedaan paham akan berakibat pada ketidakpastian operasionalisasi dan eksekusinya. Terlebih lagi, jika dipandang dari perspektif pragmatik yang mengkaji bahasa dalam penggunaan sesuai konteks dan situasi, sebagaimana penggunaan bahasa dalam bidang hukum, redundancy mutlak dihindari agar terbebas dari multiinterpretasi.

“Dengan demikian, jika produk-produk hukum seperti undang-undang dikehendaki memiliki kepastian dalam operasionalisasinya. Maka rumusan pasal-pasal dan ayat-ayatnya harus terhindar dari rumusan yang menimbulkan multi tafsir,” tegasnya.

Pada sidang sebelumnya Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsos, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi R. Irianto Simbolon mengatakan ketentuan Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) merupakan bagian kedua dari bab X mengenai perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan. Bagian kedua itu khusus mengatur ketentuan pengupahan yang meliputi 11 pasal, (Pasal  88 hingga dengan Pasal 98 ) yang saling terkait dan berhubungan satu dengan yang lain.

Menurut Irianto, Pasal 88 mengatur pernyataan umum atau general statement mengenai hak setiap pekerja buruh untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. “Maksudnya jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja buruh dari hasil pekerjaannya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya secara wajar,” katanya.

Pendapatan tersebut, kata dia, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok yang meliputi makanan dan minuman, sandang papan atau perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Kebutuhan hidup layak, lanjutnya, pada umumnya tidak bisa dilakukan serta-merta dan sekaligus, tetapi perlu diperhatikan secara bertahap. Kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.

Menurutnya, frasa ´dan dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi´ adalah bentuk keseimbangan dalam penetapan upah minimum dengan  memperhatikan tingkat produktifitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. “Justru jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakseimbangan antara kepentingan  buruh dan pengusaha,” jelasnya.

Terkait Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, kata Irianto, pemerintah beranggapan dalil yang diajukan pemohon terkait ‘rekomendasi dari dewan pengupahan sering kali diabaikan’ adalah asumsi pemohon belaka. Atau setidak-tidaknya berdasarkan kejadian atau case yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Sebab, dalam menerapkan upah minimum provinsi, gubernur pasti memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan karena unsur-unsur dari dewan pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan atau stakeholder, yakni unsur pengusaha, unsur serikat pekerja, serikat buruh, unsur pemerintah, unsur perguruan tinggi, dan pakar. “Keputusan yang diambil telah mempertimbangkan berbagai kepentingan,” ujarnya.  

DPP Apindo Jatim mengajukan uji materi Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan ke MK. Pasal 88 ayat (4) berbunyi: ‘Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi’. Selanjutnya, Pasal 89 ayat (3) yang berbunyi: ‘Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota’.

Pemohon menganggap norma-norma itu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Dalam petitumnya, DPP Apindo Jawa Timur meminta MK menyatakan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a sebagai jaring pengaman’. Kemudian, Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh gubernur harus berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota’.

Mereka juga meminta MK menyatakan materi muatan Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BACA JUGA: