JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidikan kasus kredit fiktif Bank DKI yang merugikan negara sebesar Rp268 miliar akhirnya tuntas. Tiga tersangka terakhir yang merupakan mantan direksi Bank DKI bakal disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Waluyo menyampaikan, berkas ketiga tersangka telah dilimpahkan ke Kejari Jakarta Pusat untuk kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Ketiga tersangka tersebut adalah Eko Budiwiyono (mantan Dirut Bank DKI), Mulyatno Wibowo (mantan Direktur Pemasaran Korporasi Bank DKI) dan Gusti Indra Rahmadiansyah (mantan Pimpinan Divisi Risiko Kredit).

"Saat ini mereka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, sebagai tindak lanjut penyerahan tahap kedua dari Kejati,"  kata Waluyo dalam siaran persnya yang diterima gresnews.com, Selasa (17/1).

Sesuai dengan ketentuan perundangan, setelah penyerahan tahap dua, kata Waluyo, tim jaksa penuntut segera menuntaskan surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Disoal dugaan keterlibatan pihak lain, Waluyo menyatakan jika ditemukan fakta dan bukti-bukti penyidik akan menindaklanjuti. "Kita lihat dalam persidangan, penyidik tidak akan tinggal diam," kata Waluyo.

Sebelumnya, Kejati DKI Jakarta telah menetapkan empat tersangka dalam perkara yang sama. Keempat tersangka itu adalah Kepala Kredit Komersial Korporasi Bank DKI Dulles Tampubolon, Account Officer Korporasi Bank DKI Hendri Kartika, Pimpinan Divisi Risiko Kredit di Grup Manajemen Risiko Bank DKI Gusti Indra Rahmadiansyah, dan pemilik PT Likotama Harum dan PT Mangkubuana Hutama Jaya (MHJ) Supendi.

Kasus ini bermula saat PT Likotama Harum sebagai nasabah Bank DKI, mengajukan kredit penambahan plafon modal kerja Rp230 miliar. Permohonan kredit itu disertai dengan agunan berupa aset kantor Rp130 miliar dan jaminan asuransi pada Jasindo Rp10 miliar.

Dalam pengajuan kredit tertanggal 18 April 2013 tersebut, PT Likotama Harum minta tenggat waktu pengembalian selama satu tahun. Terhitung sejak 6 Juni 2013 sampai 6 Juni 2014. Pemberian kredit modal kerja tersebut untuk menggarap pekerjaan pembangunan jembatan Selat Rengit, Kepulauan Meranti, Riau senilai Rp212 miliar.

Dana kredit itu juga rencananya untuk membiayai pembangunan pelabuhan di kawasan Dorak, Selat Panjang, Riau Rp83,5 miliar. Dana itu rencananya juga akan dipakai untuk pembangunan Gedung RSUD Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, serta pengadaan konstruksi bangunan sisi utara Kabupaten Paser.

Proposal permohonan kredit tersebut ditangani Bank DKI melalui Grup Komersial Korporat (GKK) dan Grup Risiko Kredit (GRK). Bank DKI juga mendasari pemberian kredit dengan merujuk Buku Pedoman Perusahaan (BPP) Kredit nomor 425 tanggal 30 Desember 2010.

PERAN DIREKSI - Penetapan kredit Likotama Harum ini dilakukan oleh Dewan Direksi beserta Direktur Utama Bank DKI saat itu. Hingga tenggat waktu Likotama tak memenuhi janjinya.

Berdasarkan hasil penyelidikan jaksa, pencairan kredit kerja yang diterima Likotama Harum, justru dipakai untuk menyuplai dana pekerjaan yang digarap perusahaan lain. Termasuk PT Likotama menyalurkan dana hasil pencairan kredit di Bank DKI kepada pihak lain.

Setelah diteliti, pengalihan pekerjaan dari PT Likotama Harum kepada PT Mangkubuana Hutama Jaya juga tidak beres karena pekerjaan yang dibebankan tidak selesai. Dalam penyelidikan, jaksa menemukan adanya dugaan penyimpangan terkait tidak adanya upaya Bank DKI mengklaim asuransi yang dijadikan agunan kredit ketika terjadi kerugian.

Peran direksi yang saat itu dinilai melakukan pembiaran atas proposal tak laik dari Likotama.  Saat itu para penyusun MAK (Memorandum Analisis Kredit) dan pemutus kredit telah mengetahui bahwa PT Likotama bukan pemenang lelang sebenarnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang mengatakan, para mantan direksi itu diduga ikut membantu dalam hal pengucuran kredit itu. Direksi tak mengecek data yang menyebut bahwa PT Likotama disebut sebagai pemenang tender, padahal tender itu tak pernah ada. PT Likotama hanya menyerahkan fotokopi kontrak atau SPK sebagai jaminan dan bukan dokumen aslinya.

Diketahui cacat administrasi PT Likotama tersebut tak diindahkan oleh pihak Bank DKI. Ada prosedur pengajuan kredit yang dilanggar sesuai pedoman perusahaan, dan direksi ikut menyetujui pemberian kredit kepada Likotama.

"Setelah pencairan kredit itu, bukan digunakan sebagai modal oleh PT Likotama melainkan disalurkan kepada pihak lain," kata Sudung.

Bahkan, kata Sudung, PT Likotama tidak pernah mengerjakan proyek sesuai perjanjian pengajuan kredit. Proyek dimaksud, malah dikerjakan oleh perusahaan lain, dan fatalnya pekerjaan itu tidak selesai-selesai.

BACA JUGA: