JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Tim penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung menemukan dugaan kongkalikong antara rekanan dan panitia lelang pengadaan alat dan bahan  HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) tahun anggaran 2015 di Kementerian Kesehatan RI. Temuan itu terungkap setelah penyidik memeriksa 31 saksi dalam kasus korupsi di lingkungan Satuan Kerja Direktorat Pengendalian Penyakit Menular pada Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI tersebut.

"Tim penyidik masih mendalami modus dan siapa yang paling berperan dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp12 miliar," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum terkait penyidikan kasus ini, Jumat (13/1).

Dalam sepekan ini, tim penyidik telah memeriksa sejumlah saksi dari rekanan pengadaan. Mereka adalah Kasdinato selaku Marketing PT. Sinergi Utama Sejahtera, Arijanto Setiawan selaku Sales & Marketing PT. Macrocitra Ardana Sejati dan Jensen Imawan selaku Direktur PT. Oncoporbe Utama.

Arijanto Setiawan kepada penyidik menerangkan PT. Macrocitra Ardana Sejati pernah memberikan surat dukungan kepada para peserta lelang bahkan sebelum lelang mereka melakukan pertemuan dengan oknum PNS dari Kemenkes. "Yang bersangkutan sebelumnya pernah bertemu dengan ibu Nadia dan Pak Sigit (Direktur Pengendali Penyakit Menular Langsung) dari pihak Kementerian Kesehatan RI untuk mempresentasikan produk RPR Sipilis dengan Hera Pasmetik," kata Rum.

Sebelumnya, tim penyidik juga memeriksa Branch Sales Manager PT. Anugerah Argon Medika, Deswan W. Gulatom dan  Account Manager PT. Medquest Jaya Global, Mohammad Fauzi.

Deswan W. Gulatom juga menerangkan tentang proses pengadaan alat dan bahan HIV dan IMS Kementerian Kesehatan RI Tahun Anggaran 2015 yang dilakukan oleh PT. Anugerah Argon Medika. Begitu pun ‎Mohammad Fauzi menerangkan tentang proses pengadaan alat dan bahan HIV dan IMS Kementerian Kesehatan RI Tahun Anggaran 2015 yang dilakukan oleh PT. Medquest Jaya Global.

"Ini dalam rangka mencari siapa tersangkanya, kumpulkan keterangan dari saksi-saksi," jelasnya.

Pihak rekanan yang juga telah diperiksa adalah Direktur PT. Safira Mitra Perdana Bagus Maret Waluyo,‎ Elis Rokayah selaku administrasi PT. Safira Mitra Perdana dan Ferriel Aswini selaku staf administrasi PT. Safira Mitra Perdana.

PERINGATAN KPK - Tata kelola obat di Indonesia berpotensi besar disalahgunakan. Pada 2016 hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan delapan potensi korupsi dalam tata kelola obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan delapan persoalan itu antara lain Ketidaksesuaian Formularium Nasional (FORNAS) dan E-catalogue, aturan perubahan FORNAS yang berlaku surut melanggar azas kepastian hukum, mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal dan tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.

Kemudian, ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP, belum adanya aturan minimal kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah, belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat, serta lemahnya koordinasi antar lembaga.

Terkait ketidaksesuaian FORNAS dan e-catalogue, kata Alex, FORNAS seharusnya disusun untuk mengendalikan mutu. Sedangkan e-catalogue dibuat guna mengendalikan biaya. Akan tetapi, fakta di lapangan tidak semua obat FORNAS tayang di e-catalogue. Sebaliknya, lanjut Alex, justru ada obat yang tidak masuk FORNAS tetapi tayang di e-catalogue.

Persoalan lain terkait ketidakakuratannya RKO sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Data RKO yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari Dinkes dan Faskes saat ini dinilai belum akurat. Sebab, belum semua pihak menyampaikan RKO sebagai dasar pengadaan obat di e-catalogue. Tak hanya itu, data RKO yang ada melenceng jauh dari realisasi belanja obat. Hal itu dinilai menimbulkan kerugian pada industri farmasi lantaran ketidakpastian pemenuhan komitmen yang telah mereka berikan.

KPK mendorong para pihak melakukan perbaikan yang komprehensif dan terpadu. Tak hanya itu, KPK juga merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan singkronisasi aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan FORNAS, serta penyusunan RKO dan pengadaan melalui e-catalogue.

KPK pun meminta pihak terkait untuk membenahi persoalan tersebut agar terhindar dari korupsi. Merujuk data dari Indonesia Corruption Watch bahwa korupsi di sektor kesehatan Indonesia terbilang tinggi. Pada periode 2001-2013 saja telah merugikan negara hingga Rp594 miliar.

Kemudian pada 2008-2012, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 327 kasus yang kerugian negaranya senilai Rp2,8 triliun di Kementerian Kesehatan. BPK merekomendasikan 659 tindakan untuk menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp1,36 triliun.

Namun Kementerian Kesehatan baru melakukan 276 rekomendasi senilai Rp 153 miliar. Sebanyak 344 rekomendasi lagi, setara nilainya dengan Rp450,4 miliar, sedang dalam proses pelaksanaan atau belum sesuai dengan saran BPK.

BACA JUGA: