JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengaju uji materi UU No 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin ke Mahkamah Konstitusi terus berupaya membuktikan gugatanya dengan menghadirkan sejumlah ahli sejarah. Para pemohon yang merupakan korban penggusuran lahan di DKI Jakarta ini ingin membuktikan bahwa ketentuan UU tersebut, terutama  ketentuan  Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU hanya dapat diterapkan saat negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai.

Para pemohon yang terdiri dari  Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi pada sidang  Selasa (10/1) itu menghadirkan saksi dan ahli sejarah seperti sejarawan JJ Rizal, dosen Sejarah Yudi Bachrioktora, dan redaktur The Jakarta Post Evi Mariani Sofian.

JJ Rizal dalam keterangannya menjelaskan, UU No 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya memang dibentuk saat Presiden Soekarno menyatakan Indonesia tengah berada dalam keadaan perang dan darurat. Namun demikian, dalam melakukan penggusuran, Soekarno sendiri tidak pernah menerapkan norma-norma dalam UU tersebut.

Menurut Rizal, Soekarno selalu mengedepankan sisi-sisi manusiawi saat melakukan penggusuran, dan  penggusuran sebagaimana yang diatur di dalam UU No 51 Tahun 1960 sendiri sebetulnya hanya berlaku untuk wilayah-wilayah darurat atau bahaya, bukan wilayah perkotaan.  

Rizal menjelaskan Bung Karno salah satu orang yang mendukung habis-habisan pemberlakuan keadaan bahaya (UU No 51 Tahun 1960—red). Bahkan dia mengeluarkan Dekrit Tahun 1959, tanggal 5 Juli, hari Minggu, itu berdasarkan keadaan bahaya tersebut. Bung Karno, dalam konteks itu  punya ide besar membangun Stadion Senayan Gelora Bung Karno. "Tapi dia justru tidak melakukan tindakan penggusuran dengan menggunakan alasan keadaan bahaya," kata Rizal.

Saat hendak melakukan penertiban di kampung Senayan, Soekarno meminta ketua kampung mempertemukan dirinya dengan warga setempat. Saat itu, warga bersedia dipindahkan ke tempat lain asal mereka diberikan kompensasi berupa uang ganti rugi dan lahan baru. "Bahkan pohon-pohonnya yang produktif juga diganti, dan nama kampung tempat dia pindah di daerah Tebet, gang-gang, dan jalannya, disamakan dengan nama kampung ketika masih di Senayan," kata Rizal.

Namun demikian, Rizal melihat,  belakangan praktik penggusuran seperti itu tidak lagi berjalan sebagaimana keinginan Soekarno. Pasalnya, gubernur Jakarta saat itu, Sudiro (menjabat 1953-1960) menggunakan norma-norma di dalam UU No 51 Tahun 1960 sebagai jalan melakukan penertiban di dalam kota. Hal itu terus berlangsung di era berikutnya. Yakni era kepemimpinan Soemarno Sasroatmodjo yang menjabat Gubernur DKI sejak1960-1966.

"Nah, pada tahun 1963 Gubernur Soemarno yang dokter Angkatan Darat juga mengggunakan UU No 51 Tahun 1960 saat mengambil lahan untuk penanggulangan masalah banjir di Pluit dan pengadaan proyek rekreasi kawasan Ancol. Jelas, ini juga menimbulkan konflik karena gubernur menggunakan dalih negara dalam keadaan bahaya," tambah Rizal.

Rizal menegaskan, konteks negara dalam keadaan darurat dan bahaya—yang mendasari lahirnya UU No 51 Tahun 1960—sebenarnya memiliki durasi waktu (lifetime) sendiri. Dengan kata lain, kondisi tersebut tidak berlaku seumur hidup atau selamanya. Namun kenyataannya, UU tersebut malah terus hidup dan dijadikan alasan untuk praktik-praktik penggusuran yang tidak manusiawi.

Begitu juga ketika Undang-Undang Pembaharuan Agraria diberlakukan Tahun 1960 yang mengatur secara jelas pengalihan lahan. Seharusnya undang-undang yang berbasis pada keadaan bahaya tidak berlaku lagi. "Saya pikir Bung Karno melakukan praktik politik secara langsung ketika mengambil lahan di Senayan itu menunjukkan bahwa dia memang mendukung keadaan bahaya, tapi praktik keadaan bahaya digunakan untuk mengambil tanah rakyat adalah praktik yang keliru," jelas Rizal.

Demikian pula yang dilakukan Bung Hatta. Menurut Rizal, meski  sudah tidak menjabat Wakil Presiden, Bung Hatta sempat berkonflik dan marah kepada Gubernur Sudiro dan Gubernur Soemarno ketika keduanya melakukan penertiban atas pemukiman-pemukiman yang dianggap ilegal dan dianggap sebagai tanah negara. Menurut Rizal, Hatta melihat bahwa dalam melakukan penertiban, para korban diperlakukan secara tidak manusiawi.

"Bagi Bung Hatta, yang terpenting adalah mereka ini manusia Indonesia yang dijanjikan oleh kemerdekaan untuk punya rumah dan punya tanah. Jadi kalau mereka tidak punya rumah dan tidak punya tanah, itu berarti kerja kita kurang maksimal, kurang baik. Itulah yang disampaikan Bung Hatta ketika terjadi pengambilan lahan oleh Gubernur Sumarno dan praktik polisi pamong praja yang keras pada masa Sudiro," tutur Rizal.


MENGHINDARI PRAKTIK OTORITARIANISME - Tak jauh berbeda dengan  JJ Rizal, dosen Sejarah Universitas Indonesia Yudi Bachrioktora juga menegaskan, status keadaan bahaya atau darurat bukanlah barang baru dalam sejarah perpolitikan bangsa Indonesia. Menurutnya, status SOB atau staat van oorlog en beleg (negara dalam keadaan bahaya) sudah digunakan pemerintah kolonial sejak tahun 1920-an. Hal itu dilakukan terutama guna menghadapi beberapa pergolakan masa di tahun 1920 hingga tahun 1930-an.
"Pemerintah Kolonial menggunakan ide rust en orde atau ketertiban dan keamanan sebagai bagian dari upaya mereka menghentikan segala acaman keberadaan Negara Kolonial Hindia-Belanda," kata Yudi, Selasa (10/1).

Yudi menerangkan, lantaran tengah menghadapi masa-masa revolusi, pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan status darurat dan bahaya tersebut sejak 1946 hingga tahun 1957. Namun demikian, undang-undang yang digunakan tidak lagi mengacu pada SOB pemerintah kolonial tahun 1936, melainkan undang-undang beru yang dibuat pada tahun 1957. Konteksnya saat itu, pemerintah tengah menghadapi sejumlah pergolakan politik di berbagai daerah.

Menurut Yudi, hal menarik dari pemberlakuan UU Nomor 59 Tahun 1960—sebelumnya UU No1 Tahun 1956— terjadi pada periode 1957 hingga tahun 1960. Menurutnya, status bahaya yang mengancam negara bukan hanya kondisi peperangan maupun kondisi ketegangan politik internal seperti  pergolakan-pergolakan, pemberontakan, maupun bencana alam.

Lebih dari itu, periode 1957 hingga 1960 merupakan periode di mana Presiden Soekarno melakukan pergulatan politik dengan melibatkan Angkatan Darat, salah satunya demi praktik nasionalisasi. Lantaran itulah kerja-kerja pengambil-alihan lahan saat itu banyak ditujukan untuk mengambil alih lahan-lahan perkebunan yang sebelumnya dikuasai orang-orang Belanda.

"Jadi, kepentingan ekonomi politik itu bersanding erat dengan segala pergulatan politik yang ditimbulkan oleh pemberontakan-pemberontakan di daerah pada tahun 1950-an,"ujarnya.

Jenderal Nasution sendiri mengakui hal itu, bahwa sebenarnya ketika keterlibatan ABRI berupaya untuk menghentikan segala pemberontakan di daerah, secara tidak langsung, mereka juga memasuki ruang yang lain, yaitu ruang ekonomi. Mereka mengambil alih perusahaan-perusahaan, tanah-tanah perkebunan yang dimiliki Belanda maupun usaha-usaha yang dimiliki warga Belanda-Indonesia.

Lantaran itulah Yudi menilai, diberlakukannya UU No 51 tahun 1960 saat ini tidak relevan. Menurutnya, UU itu semestinya tidak berlaku lagi ketika negara tidak lagi dalam keadaan bahaya. Terlebih, status bahaya-tidaknya suatu tempat menurut Yudi harus didasarkan pada instruksi presiden, tidak bisa dilakukan atas instruksi gubernur.
"Penggunaan kata bahaya di sini, ini harus secara serta-merta berdasarkan presiden, setelah bermusyawarah dulu. Dan keadaan ini tidak berlaku manakala digunakan oleh pemerintah setingkat gubernur, jika tidak ada perintah dari presiden untuk menentukan wilayah tersebut—misalnya kita sebut saja Jakarta—dalam kondisi bahaya", kata Yudi.

Yudi mengutip pernyataan Sadjarwo, Menteri Agraria tahun 1960. Ketika UUPA ditetapkan, Sadjarwo berpidato dan mengatakan bahwa salah satu hal yang paling penting yang mendasari diubahnya Undang-Undang Agrarische Wet masa kolonial dengan UUPA adalah lantaran negara ingin mengambil alih kewenangan tersebut untuk dipergunakan sebaik-baiknya demi kepentingan masyarakat.

"Pemahaman ini yang kemudian sebenarnya juga digunakan dalam Undang-Undang Nomor 51 bahwa tanah dikuasai oleh negara, tapi dalam pengertian pada masa itu untuk mengambil alih seluruh kekuatan ekonomi yang dimiliki perusahaan-perusahaan Belanda. Maupun perusahaan gabungan antara Belanda dan Indonesia. Fungsinya untuk kembali memberi ruang ekonomi pada kita," kata Yudi.

Lantaran itulah Yudi kembali menegaskan bahwa UU 51 Tahun 1960 tidak lagi relevan karena selain negara tidak dalam kondisi bahaya, jika diterapkan saat ini UU tersebut justru memberi peluang bagi  tumbuhnya praktik-praktik otoritarian. Sementara lewat peristiwa Mei 1998, Indonesia sendiri sudah berusaha melepaskan diri dari praktik dan watak-watak otoritarianisme.

"Dengan begitu, saya kira, jika kita memang ingin memperbaiki perundang-undangan, ini adalah salah satu bentuk perundang-undangan yang harus kita cermati ulang, jangan-jangan kita memberi peluang bagi kewenangan di daerah secara tidak langsung untuk bertindak secara otoritarian," pungkas Yudi.

Pernyataan Yudi diperkuat keterangan Evi Mariani Sofian, redaktur di harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Evi menyebut dirinya sudah puluhan kali meliput aksi-aksi penggusuran di DKI, sejak masa Sutiyoso. "Pada tahun 2003 dan 2004 saya meliput belasan penggusuran di Jakarta yang saat itu dilakukan di bawah pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Saya meliput sendiri penggusuran komunitas nelayan di Kali Adem Muara Angke, penduduk di dekat Taman Anggrek yang sekarang menjadi Podomoro City, warga Jakarta di Waduk Ria Rio di Jakarta Timur, dan beberapa tempat lainnya," kata Evi, Selasa (10/1).

Evi mengatakan dari pengalaman profesionalnya bekerja sebagai wartawan, dia menyimpulkan bahwa dasar hukum yang kerap digunakan aparat untuk melakukan penggusuran adalah Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin. "Namun, dalam beberapa kasus, saya mendapati ada beberapa warga yang merasa mereka bukanlah penduduk liar karena ada KTP sesuai alamat rumah yang digusur. Ada juga yang membayar PBB sesuai alamat yang digusur, ada juga yang memiliki verponding, namun tidak ada kesempatan bagi warga tersebut untuk mengajukan buktinya ke pengadilan," kata Evi.

Evi juga menerangkan, perilaku otoritarian yang ditunjukkan aparat penggusuran bisa dilihat dari pola penggunaan kekerasan dalam menghancurkan rumah-rumah secara paksa dengan menggunakan alat berat. Bahkan dalam beberapa kasus, menurutnya, kekerasan fisik juga hampir selalu dilakukan dengan pengiriman ratusan bahkan ribuan aparat gabungan termasuk tentara. "Misalnya untuk menggusur Kalijodo, pemda mengirimkan 6.000 satpol PP, polisi, dan tentara untuk mengosongkan wilayah yang dihuni 3.000 orang," katanya.

Para pemohon sebelumnya merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 51 Tahun 1960. Ketentuan yang mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa para pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut semestinya hanya dapat diterapkan saat negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai.

Pada persidangan pendahuluan yang digelar (3/11) lalu, para Hakim Konstitusi  mengingatkan para pemohon memperhatikan pertentangan pasal-pasal di dalam UU a quo terhadap UUD 1945. Hal itu penting dilakukan agar sidang judicial review yang digelar di MK tidak terjebak menjadi judicial complaint. (zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: