JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tak berhenti dirundung cobaan. Setelah pimpinannya porak-poranda  dikriminalkan, sehingga Presiden Jokowi harus menunjuk pimpinan sementara, kriminalisasi juga menimpa penyidiknya, kini teror juga menghinggapi pegawai struktural KPK lainnya.

Ancaman dan teror itu menimpa penyidik KPK Afif Julian Miftah. Teror diterima keluarganya yang tinggal di Perumahan Mediterania Regensi, Jalan Anggrek blok A, RT 04/16 Kelurahan Jakamulya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Awalnya teror itu   dilakukan dengan meletakan bungkusan mirip bom karena terdapat kabel di depan rumah meski belakangan setelah ditelitinya ternyata bukan bom. Teror kedua dilakukan dengan menggembosi ketiga ban kendaraan milik Afif yang diparkir di depan rumahnya.  

Pelaksana Tugas KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan, pihaknya sudah melaporkan perkara ini ke pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas siapa pelaku dan motif dari teror tersebut. Namun hingga saat ini belum belum diketahui hasil yang di dapat dari pihak Kepolisian setempat dalam hal ini Polres Bekasi Kota.

Indriyanto enggan berspekulasi bahwa teror yang terjadi berkaitan dengan perkara yang ditangani Afif. "Belum diketahui hasilnya, apakah ini persoalan pribadi ataukah terkait penanganan kasus tertentu. Ditunggu saja hasil pengusutannya dan kami percayakan kepada Kepolisian setempat," terang Indriyanto, kepada gresnews.com, Selasa (7/7).

SIAPKAN PENGAMANAN - Indriyanto mengakui teror ini memang menjadi perhatian khusus bagi KPK. Meskipun begitu, ia menjamin hal tersebut tidak akan mengganggu kinerja lembaga antirasuah ini dalam memberantas tindak pidana korupsi. "Karena intimidasi atau sejenisnya adalah bagian risiko dari tugas KPK, jadi kami bekerja seperti biasa saja," ujarnya.

Menyikapi kondisi ini Indriyanto menyatakan akan memberikan pengamanan tambahan kepada para pegawai strukturalnya. "Ada pengamanan (tambahan) tapi tidak bisa dijelaskan secara detail," kata Indriyanto.

Sementara itu pimpinan KPK lainnya Johan Budi Sapto Pribowo mengungkapkan  bahwa saat ini Afif sedang menangani empat hingga lima perkara korupsi. Namun sayangnya, Johan enggan menjelaskan lebih rinci mengenai kasus-kasus tersebut.

Senada dengan koleganya, Johan juga tidak ingin terburu-buru beranggapan teror kepada Afif berkaitan dengan perkara yang ditanganinya. "Jangan dikaitkan dulu, kita tunggu penyelidikan Polri," ujar Johan.

Mantan Deputi Pencegahan ini juga mengakui telah memberlakukan pengamanan ekstra terhadap para pegawai strukturalnya setelah adanya kejadian ini. "Pengamanan kita lakukan, mohon maaf tidak bisa menjelaskan bagaimana sistem pengamanan yang ada di KPK. Sudah kita sampaikan ke Polri," imbuh Johan.

Dari teror ini muncul pula wacana apakah sebaiknya penyidik KPK kembali memegang senjata api untuk melindungi dirinya. Sebab, setelah muncul konflik KPK-Polri pasca perkara dugaan gratifikasi Komjen Budi Gunawan, para penyidik tidak lagi menggunakan senjata api karena masalah izin yang telah habis waktunya.

Johan  berharap hal tersebut bisa terealisasi. "Kemarin itu persoalannya cuma berkaitan soal izin, KPK punya sekitar 100 pucuk senjata. Waktu itu perizinannya kadaluarsa, sekarang sedang diurus. Sebenarnya penyidik itu melekat senjata, ini cuma soal izin. Kalau senjata seharusnya penyidik dapat," papar Johan.

KASUS DITANGANI AFIF - Teror itu terjadi pada Minggu (5/7) malam sekitar pukul 21.00. Ketika itu Afif mendapati ada bungkusan menyerupai bom karena ada beberapa sambungan kabel di depan rumahnya. Kemudian ia langsung melaporkan hal ini ke Kepolisian setempat dan dikirimlah tim gegana.

Tim yang dikirim akhirnya memusnahkan benda mencurigakan tersebut. Setelah diteliti, benda itu ternyata bukan bom, tetapi hanya menyerupai karena terdapat beberapa sambungan kabel yang saling berkaitan satu sama lain.

Afif selama ini diketahui telah menangani sejumlah kasus besar. Seperti perkara  terkait Anggodo Widjojo, perkara Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Komjen (Purn) Adang Darajatun terkait kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI), Miranda S Goeltom. Serta kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden  Partai Keadilan Sejaktera (PKS) Luthfi  Hasan Ishaq. Juga kasus yang menjerat Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo terkait dugaan suap USD190 ribu dari Willy Sebastian Lim.   

BUKAN PERTAMA - Teror ini bukanlah kasus pertama kalinya menimpa para pegawai struktural KPK. Chatarina Mulya Girsang, yang ketika itu menjadi tumpuan dalam sidang pra peradilan Budi Gunawan juga pernah ditodong senjata api oleh beberapa orang tak dikenal.

Ada juga teror yang menimpa Endang Tarsa yang kala itu masih menjadi Direktur Penyidikan. Endang bahkan pernah akan ditangkap pihak yang diduga berasal dari Kepolisian karena tuduhan membangkang perintah atasan. Ia ketika itu juga diminta menjadi saksi dalam sidang praperadilan Budi Gunawan.

Endang dipaksa agar memberi keterangan bahwa proses penyidikan dilakukan tidak sesuai prosedur. Tapi ia menolak hal itu, sehingga ia  sempat dilindungi KPK di save house. Setelah perseteruan KPK-Polri mereda, Endang diketahui telah mengundurkan diri dari Kepolisian dan menjadi pegawai KPK seutuhnya. Ia pun bergeser posisinya menjadi bagian koordinasi supervisi.

Aksi teror ini menurut Eks Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua merupakan salah satu bentuk serangan balik koruptor ke KPK. "Itu sudah sering terjadi, ada yang ditabrak, patah kakinya, kali ini cuma bom buat-buatan," kata Abdullah.

Abdullah menilai teror ini sangat sistematis, apalagi terjadi berulang-ulang. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai serangan balik para koruptor. "Sistematis karena dari berbagai fenomena, dari rencana perubahan UU KPK, yang diamandemen, ada beberapa kali judicial review, jadi ada upaya yang disebut corruptor fight back. Ini berjalan terus," tandas  Abdullah.

Abdullah menganalisa, bahwa yang diteror itu lembaga KPK. Namun entry point dari berbagai sisi, apakah dari pimpinan, pejabat, penyidik. "Pokoknya KPK-nya," katanya. Karena itu ia melihat serangan itu beruntun mulai rencana UU baik KUHP maupun KUHAP, rencana amandemen UU KPK, seluruhnya diarahkan untuk melemahkan KPK.

Namun, Abdullah menandaskan teror seperti itu telah diketahui seluruh awak pegawai KPK. Karena sebelum mereka masuk KPK telah mengetahui resiko yang akan dihadapinya bekerja di KPK. Sehingga dalam rekruitmen pegawai mereka telah diberikan pemahaman bahwa pekerjaan tersebut berpotensi menghadapi serangan balik koruptor. Hanya organisasi dan lembaga punya berkewajiban menyiapkan infrastruktur untuk melindungi pegawainya. (dtc)

BACA JUGA: