JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung gamang untuk mengeksekusi uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun dalam perkara korupsi PT Indosat Mega Media (IM2) dalam perkara kerjasama penyelenggaraan 3G antara PT Indosat dan IM2 di frekuensi 2.1 GHz. Eksekusi itu tak kunjung dilakukan kendati Mahkamah Agung telah menolak kasasi terdakwa Indar Atmanto.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014 memutuskan mantan Dirut IM2 Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun, disertai denda sebesar Rp 300 juta dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun yang dibebankan kepada IM2. Indar kini telah  dieksekusi ke Lapas Sukamiskin, Bandung. Namun Indar juga tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

Jika eksekusi badan telah dilakukan namun eksekusi uang pengganti Rp1,3 triliun yang dibebankan kepada IM2 belum juga dilakukan. Padahal Kejaksaan Agung memberikan waktu sampai tanggal 6 November 2014 yang sudah terlewati, kepada pihak Indosat dan IM2 untuk menyelesaikan pembayaran uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun tersebut.

Beberapa kali telah dilakukan pertemuan pihak Indosat dan Kejaksaan Agung. Namun Indosat tetap tidak bersedia membayar karena masih akan melakukan upaya hukum lain. Akhirnya eksekusi terkatung-katung hingga kini.

Namun Kejaksaan Agung memastikan akan melaksanakan putusan MA terkait eksekusi uang pengganti tersebut. Eksekusi akan dilakukan setelah ada putusan PK yang diajukan Indar Atmanto. "Tunggu dulu, jaksa harus hati-hati karena ada dua putusan berbeda," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyopramono di Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu.

DUA PUTUSAN BERBEDA - Sejumlah pakar hukum pidana meminta Kejaksaan Agung menunda eksekusi uang pengganti hingga ada putusan PK.  Pakar hukum pidana Universitas Pajajaran (Unpad) Romli Atmasasmita berpendapat Kejaksaan Agung tidak bisa serta merta melakukan sita aset PT Indosat Mega Media (IM2) dalam perkara ini. 

Kejaksaan Agung harus menunggu perkara tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan diputuskan setelah melalui sidang PK. Sebab saat ini terdapat dua putusan kasasi yang bertolak belakang.

Pertama, Putusan Mahkamah Agung Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014 yang memutuskan mantan Dirut IM2 Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun, disertai denda sebesar Rp 300 juta dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun yang dibebankan kepada IM2.

Di sisi lain, terdapat putusan kasasi Mahkamah Agung lain dengan Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014 yang isinya menolak kasasi yang diajukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perkara IM2 yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan.

Hal ini sejalan dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara 28 Januari 2014 yang sebelumnya juga telah menguatkan keputusan PTUN yang telah memutus tidak sah dan menggugurkan keputusan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun. 

MENANTI PUTUSAN PK - Dengan putusan itu, putusan MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Alat bukti yang digunakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam semua tingkatan sebagai dasar perhitungan unsur kerugian negara tidak memiliki kekuatan hukum lagi dan tidak dapat digunakan.

Menurut Romli, Putusan kasasi MA yang memperkuat PTUN yang menggugurkan kewenangan BPKP harus dihormati. Kejaksaan Agung harus menjaga marwah lembaga, KUHAP dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28.

Kepastian hukum yang adil, lanjut guru besar hukum Unpad ini, Kejaksaan Agung harus memperhatikan amar TUN bahwa kerugian negara menjadi tidak jelas. "Dengan landasan kerugian negara tidak sah maka harus menunggu putusan PK turun. Karena mantan Dirut PT IM2 masih memiliki langkah hukum untuk mengajukan PK," tegas Romli.

Bila Kejaksaan Agung memaksa melakukan eksekusi dan ternyata PK untuk PT IM2 menang, maka dapat digugat secara perdata. Dengan alasan Kejaksaan Agung melakukan penyitaan secara ilegal. "Jadi akan lebih bagus bila menunda eksekusi hingga putusan PK turun," kata Romli.

Senada disampaikan pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Dian Simatupang. Eksekusi uang pengganti dapat dilakukan setelah ada putusan PK.

Kejaksaan Agung juga harus memperhatikan putusan kasasi MA bahwa BPKP tidak berhak mengaudit PT IM2. Karena tidak berhak maka tuduhan merugikan negara mencapai Rp1,3 triliun menjadi tidak sah. "Inilah yang menjadi dasar kenapa Kejaksaan Agung tidak bisa mengeksekusi uang pengganti tersebut," tegasnya.

ANTARA NYALI KECIL DAN HATI-HATI - Eksekusi uang pengganti kasus IM2 sebesar Rp1,3 triliun oleh Kejaksaan Agung belum dilakukan karena aspek kehati-hatian. Padahal berdasar Pasal 268 ayat [1] KUHAP diatur bahwa Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.

Artinya, jika Kejaksaan Agung yakin dan bernyali bisa melakukan eksekusi. Namun langkah tersebut tidak diambil jaksa. Tak heran jika Komisi Kejaksaan (Komjak) mendesak Kejaksaan Agung segera mengeksekusi putusan Mahkamah Agung tentang pembayaran uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun tersebut.

Padahal dari sisi Indosat sendiri telah mengambil ancang-ancang. Jika dilihat dari laporan keuangan Indosat periode kuartal III-2014, dalam catatan atas laporan keuangan nomor 30 menyebut bahwa Indosat telah melakukan penyisihan untuk kasus pidana tersebut senilai Rp1,36 triliun dan Rp300 juta untuk denda yang dikenakan kepada Indar.

Adanya beban penyisihan tersebut yang menyebabkan laba usaha Indosat selama sembilan bulan pertama 2014 menjadi hanya Rp498 miliar atau merosot 67,22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sehingga jika pengadilan memutuskan hal terburuk yakni menolak hasil PK, maka tidak akan berpengaruh pada laporan keuangan tahun ini. Akibat dari penurunan laba Indosat, harga saham ISAT juga sempat ambrol hingga mencapai Rp3.100 per saham pada 18 November 2014.

Ketua Komisi Kejaksaan mengatakan, tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak mengeksekusi putusan tersebut. Apalagi sudah berkekuatan hukum tetap dan salinan putusan sudah diterima.

Menurut Halius, ketentuan untuk eksekusi terhadap perkara korupsi yang sudah inkracht juga sesuai  kesepakatan Kejagung dan MA serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK), belum lama ini. "Selain hukuman mati harus dieksekusi,"  kata Halius kepada gresnews.com, Selasa (30/6).

Kejaksaan Agung sepertinya bergeming dengan desakan tersebut, memilih menunggu keluarnya putusan PK Indar. Jaksa Agung HM Prasetyo selalu berdalih, penundaan eksekusi karena lebih mengedepankan kepentingan publik khususnya di bidang telekomunikasi.

Prasetyo menyatakan akan mengambil langkah hati-hati dalam menyelesaikan kasus PT IM2. "Ada dua badan peradilan yang menganani kasus ini sekarang. Satu, MA sudah menyatakan itu terbukti dan terpidananya sudah masuk penjara. Sementara yang bersangkutan melakukan gugatan ke PTUN," jelas Prasetyo.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir mengamini langkah hati-hati Kejaksaan Agung tidak buru-buru melakukan eksekusi denda jika jaksa masih ragu. Ragu karena didasari upaya PK yang dilakukan terpidana. Apakah itu masuk korupsi atau bukan.

"Jika ragu sebaiknya ditunda (eksekusi denda)," jelas Muzakkir saat berbincang dengan gresnews.com.

JUSUF KALLA MEMBELA - Kejagung tampaknya makin ragu dan lebih hati-hati menghadapi IM2. Sebab orang nomor dua dua negeri ikut memberikan dukungan. Dukungan terhadap kerja sama PT Indosat Tbk dan PT IM2 yang tidak merugikan negara ditegaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Menurutnya, kerja sama penyelenggaraan 3G di frekuensi 2,1 GHz telah sesuai dengan aturan dan UU Telekomunikasi.

Menurut Kalla yang diduga punya saham di Indosat, itu sejalan dengan sikap pemerintah saat itu. "Kasus itu, akan dianggap salah kalau melanggar aturan. Kalau yang membuat aturan mengatakan tidak salah, ya tidak ada yang salah," kata Wapres JK.

Wapres menilai kasus yang menimpa PT IM2 seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab regulator sudah menyatakan tidak ada kesalahan. Kasus ini hanya cara menafsirkan hukum sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda. Namun bila menggunakan UU Telekomunikasi maka kerja sama tersebut sudah sesuai dengan aturan dan regulasi yang ada.

"IM2 kan anak perusahaan, hanya pisah entitas. Saya yakin tidak ada maksud macam-macam untuk melakukan pelanggaran hukum,"  jelasnya.

Dalam perkara ini juga telah ditetapkan dua korporasi sebagai tersangka, yakni PT Indosat Tbk dan PT IM2 Tbk. Dan dua orang mantan Dirut PT Indosat Tbk, yaitu Johnny Swandy Sjam dan Hari Sasongko yang hingga kini mendapat keistimewaan tidak ditahan oleh Tim Satgasus P3TPK.

BACA JUGA: