JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik kasus dugaan korupsi ‎penyalahgunaan keuangan biaya pengiriman Kartu Perlindungan Sosial (KPS) PT Pos Indonesia tahun 2013 terus memperkuat bukti-bukti keterlibatan delapan tersangka baru. Para tersangka diduga memanipulasi pertanggungjawaban biaya pengiriman dan me-mark-up harga hingga merugikan negara sebesar Rp2,4 miliar.

Pada pekan lalu, penyidik memeriksa mantan Kepala Area Operasional III Palembang yang telah menjadi tersangka dengan inisial JAN. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, pemeriksaan dilakukan untuk mencari informasi dan alat bukti apakah ada pihak-pihak lain yang diduga kuat ikut terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini.

"Masih proses penyidikan, kita telah memeriksa tersangka JAN. Penyidik mengonfirmasi bukti-bukti yang dimiliki penyidik," kata Rum, Selasa (28/2).

Didampingi oleh penasihat hukumnya, JAN menerangkan proses pengiriman KPS untuk wilayah Palembang. Berdasar keterangan JAN, pengiriman KPS berjalan dengan baik. Namun kejaksaan tak percaya begitu saja bahkan untuk mengurai kasus ini, sudah 35 saksi diperiksa.

Selain JAN, penyidik telah menetapkan tujuh tersangka lain. Mereka adalah YN (mantan Manajer Pengendalian Sistem dan Kinerja Area Operasional Surabaya), AYS (mantan Kepala Area Operasional VI Semarang), A (mantan Kepala Mail Processing Centre Semarang), SZ (Ketua Satgas Kartu Perlindungan Sosial Area Operasional Surabaya), MHP (mantan Kepala Area Operasional Surabaya), AM (mantan Kepala Area Operasional I Medan) dan K (swasta).

Kasus ini merupakan kelanjutan penyidikan dari kasus sebelumnya yang telah menetapkan tiga tersangka yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung yakni ‎Zulkifli Assagaf bin Salim (mantan Senior Vice President PT Pos), Arjuna (karyawan BUMN) dan Pamungkas Tedjo Asmoro.

Sebelumnya, untuk menguatkan bukti keterlibatan tersangka, penyidik telah memeriksa Iri Sapria selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sekretariat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kementerian Sosial. Lalu Markus C. Doso Nugroho selaku Deputi Kepala Sistem Pengawasan Intern Bimbingan Pengawasan Keuangan PT Pos Indonesia wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kepada penyidik Iri Sapria menerangkan bahwa pada 2013 ada penggunaan PT Pos Indonesia untuk melakukan percetakan KPS dan pendistribusiannya kepada masyarakat yang tidak mampu. Namun faktanya ditemukan adanya pemotongan biaya distribusi. Dan itu dibenarkan saksi Markus C. Doso Nugroho.

"Ternyata dalam praktiknya ditemukan adanya penyalahgunaan keuangan berupa pemotongan biaya distribusi KPS yang kemudian disetorkan kepada pimpinan Area Operasi VI Semarang dan Area Oparasi VII Surabaya," kata Rum.

Perhitungan kerugian negara dalam kasus KPS PT Pos Indonesia ini diperkirakan mencapai Rp2,4 miliar.

DISUNAT - Kasus ini berawal munculnya Surat Izin Tambahan Biaya Pendistribusian KPS dari 10 wilayah area kantor pos sebesar Rp21,7 miliar yang ditandatangani tersangka Zulkifli Assagaf selaku Ketua II Satgas KPS Pusat. Atas dasar surat izin itulah, kepala UPT mengeluarkan kas perusahaan dengan alasan untuk pembayaran honor petugas pengantar KPS dan sewa kendaraan berdasarkan format yang dipresentasikan Tedjo ketika pertemuan di Hotel Bilique, Lembang.

Namun kenyataannya sebagian dana itu digunakan antara lain untuk membeli telepon seluler dan diserahkan kepada pimpinan area operasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban dana, para kepala UPT terpaksa membuat bukti dengan kuitansi palsu atau kuitansi pembayaran yang di-mark up.

Pada 2013 lalu pemerintah melalui Kementerian Sosial memproduksi dan mendistribusikan KPS sebanyak 15,5 juta lembar dengan anggaran sebesar Rp154 miliar. Saat itu Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengungkapkan, anggaran tersebut akan dibiayai sepenuhnya dari APBN dan akan didistribusikan oleh PT Pos Indonesia.

Pegiat antikorupsi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW) Akbar Hidayatullah meminta Kejaksaan Agung serius mengusut kasus-kasus di BUMN hingga ke akarnya. Apalagi, saat ini Kejagung tengah menyidik kasus-kasus korupsi di BUMN. Karenanya, Akbar meminta tidak main-main menyidik. "Yang terlibat harus diseret," katanya.

BACA JUGA: