JAKARTA, GRESNEWS.COM - Reformasi sudah bergulir 19 tahun di Indonesia namun belum banyak perubahan yang berarti. Bahkan dalam pengamatan para aktivis hak asasi manusia (HAM) banyak aktivis reformasi yang justru berubah setelah mendapat kue kekuasaan.

"Pihak-pihak yang sejak awal anti-reformasi atau yang semula reformis, lalu menjadi oportunis karena ingin berkuasa, atau yang takut akan kepentingannya terancam, terus menghambat jalannya perubahan," ujar Direktur Amnesty International cabang Indonesia Usman Hamid di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (21/5).

Namun Usman mengakui sudah ada sederet perubahan paska-reformasidi antaranya adalah kebebasan pers. Ada pula reformasi bidang keamanan, militer, polisi, dan intelijen.

Menurutnya reformasi telah membuat masyarakat bisa lebih jelas melihat masalah-masalah negara seperti korupsi-korupsi dan nepotisme juga pelanggaran hak asasi manusia. Sayangnya cara-cara lama masih digunakan dalam menciptakan kecemasan politik. Praktik penyalahgunaan wewenang juga masih muncul.

"Bukan hanya lewat jalan elektoral, lewat pendirian partai-partai dan penyalahgunaan aturan hukum berbentuk kriminalisasi, tapi juga cara-cara lama yang berbahaya lagi dikemas dalam politik kecemasan, politik ketakutan yang menggunakan sentimen kebencian, sentimen pemecah belah, maupun pengkambinghitaman," tutur Usman.

Tak jarang lembaga yang menjadi ´korban´ dari kewenangan itu adalah lembaga yang lahir dari reformasi sendiri. Usman menyebut lembaga pemberantasan korupsi dan Komnas HAM sering mendapat tekanan.

Tantangan lainnya yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sejak reformasi bergulir adalah dibidang hukum. Mulai dari semrawutnya supremasi hukum, masih lemahnya supremasi hukum hingga kekakuan ideologis yang menjadi kendala kultural di dalam pembaharuan hukum di Indonesia.

"Hanya satu pembaharuan hukum yang belum selesai dalam agenda kaitan dengan agenda reformasi yaitu undang-undang peradilan militer. Jika undang-undang peradilan militer masih berlaku maka lembaga keadilan hukum dari otoritas sipil itu terkendala pekerjaannya. Tidak pernah ada peradilan sipil yang betul bisa mengoreksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer," katanya.

"Jadi kesetaraan derajat warga militer berstatus militer di orde baru itu nomor satu dan sipil nomor dua. Hal itu belum bisa dipulihkan hingga hari ini, masih ada perbedaan status warga sipil dan militer," imbuh Usman.

Selain itu, Usman mengatakan Komnas HAM pada awalnya lembaga yang bisa mengontrol kebijakan pemerintah yang berpotensi melanggar HAM. Namun kini Komnas HAM juga mengalami politisasi dalam proses seleksi keanggotaannya.

"Kendala itu yang membuat ujung tombak institusi yang menangani masalah HAM ini mengalami penurunan kewibawaan," sebutnya.

TANTANGAN KINI - Kendati belum sesuai harapan, namun reformasi yang telah berjalan patut disyukuri. Misalnya saja dalam hal supremasi sipil yang telah berjalan selama 19 tahun.

Sejarahwan Peter Kasenda mengingatkan agar politisi sipil tidak cengeng dan gampang menarik-narik TNI ke wilayah politik. Menurut dia menarik kembali TNI ke kancah politik apapun alasannya sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi. Sebab dua agenda utama dari reformasi selain menghapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah menghapus Dwi Fungsi ABRI atau TNI.

"Di era Orde Baru, dengan dalih dwi fungsi peran politik ABRI begitu merajalela. Mereka menguasai birokrasi dengan mengisi sejumlah pos kementerian, menjadi gubernur dan bupati, serta menjadi direksi di sejumlah BUMN," papar Peter, Minggu (21/5).

Peter menambahkan, hal yang harus dilakukan pemerintah, DPR, dan partai politik terkait TNI adalah bagaimana menjaga mereka agar terus tumbuh dan berkembang menjadi tentara professional yang disegani negara-negara tetangga. Untuk itu, selain kesejahteraan para prajuritnya harus ditingkatkan, peralatan tempurnya pun harus terus dimodernisasi.

"Di era Sukarno, TNI kita termasuk yang terkuat tak cuma di Asia Tenggara tapi juga Asia. Kalau sekarang, kita tahu lah seperti apa," kata Peter yang pernah menulis buku "Hari-hari Terakhir Sukarno".

Kesejahteraan para prajurit, juga seyogyanya PNS, dapat membaik bila praktek korupsi yang merupakan amanat reformasi dapat terus ditekan. Mengembalikan kekuatan politik TNI dan membiarkan praktek korupsi merajalela sesungguhnya mengkhianati reformasi.

Sementara itu Sekjen Transparency International Dadang Trisasongko menambahkan, pembentukan KPK karena bobroknya lembaga penegak hukum. Namun ternyata hingga kini parlemen sulit untuk diawasi.

"Sebetulnya itu menjadi dasar di hari ini untuk kembali fokus pada dua hal itu. Pembenahan di sistem politik dan penegakan hukum," ujar Dadang.

Direktur Imparsial Al Araf kemudian mengangkat soal reformasi yang masih berjalan setengah hati. Menurut dia, politik saat ini masih belum bisa membahagiakan masyarakat.

Ia berpendapat bahwa proses reformasi yang sebenarnya jadi momentum untuk melakukan perubahan yang riil belum secara penuh dapat membangun politik yang otentik, yang secara penuh membahagiakan masyarakat. Menurutnya hal yang paling penting dalam refleksi reformasi ini adalah membayar utang sejarah dari reformasi. 

Utang yang dimaksud itu adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya. Termasuk juga  menemukan mereka yang melakukan penculikan di kasus tahun 1997-1998. (dtc)

BACA JUGA: