JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memastikan tidak ada keterlibatan PT Garuda Indonesia selaku korporasi dalam kasus korupsi yang dilakukan mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar. Meskipun perkara tersebut berkaitan dengan proses pembelian mesin pesawat dari Rolls-Royce untuk Garuda.

Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif justru berterima kasih atas sikap kooperatif yang dilakukan Garuda Indonesia dalam penanganan perkara itu. Syarif mengaku perusahaan tersebut membantu KPK memberikan informasi yang dibutuhkan untuk memperkuat alat bukti bagi penyidik.

"Untuk pihak Garuda terus terang kami berterima kasih mereka sangat kooperatif memberikan banyak informasi yang kami mintakan," kata Syarif di kantornya, Jumat (20/1).

Pernyataan Syarif ini  mengindikasikan bahwa lembaga antirasuah tidak akan menyentuh PT Garuda Indonesia sebagai korporasi dalam kasus ini. Saat konferensi pers atas penetapan Emirsyah sebagai tersangka, Syarif mengatakan kasus ini menjadi tanggung jawab Emirsyah secara pribadi bukan korporasi.

"Kenapa kita tidak bisa implementasikan pidana korporasi kepada Garuda karena yang dapat untung itu pribadi," terang Syarif.

Hal senada dikatakan Ketua KPK Agus Rahardjo. Agus berharap kasus ini tidak akan berdampak negatif bagi PT Garuda Indonesia. Senada dengan koleganya, Agus menegaskan jika perkara ini bersifat pribadi dan bukan menyangkut korporasi.

"Berharap kasus ini tidak berikan dampak negatif pada Garuda, Flight Carrier harus dijaga karena sudah baik dari bidang internasional. Ini kasus pribadi, kami trima kasih manajemen membantu. Pesan tidak ada dampak kepada Garuda, dapat disebarkan ke pelanggan Garuda," terang Agus.

BUKAN KORUPSI PERTAMA DI GARUDA - Kasus korupsi yang menyentuh PT Garuda Indonesia ini bukanlah kasus pertama kalinya. Sebelumnya perusahaan berbasis jasa penerbangan itu juga terseret masalah pembelian saham mantan Bendahara Umum Partai Demokrat oleh Muhammad Nazaruddin.

Meskipun secara jelas pembelian saham PT Garuda Indonesia melalui Mandiri Sekuritas bermasalah. Tetapi hingga saat ini KPK tidak menjerat korporasi tersebut sebagai tersangka. Kasus pencucian uang tersebut hingga kini hanya menjerat Nazaruddin seorang yang oleh majelis hakim dihukum 6 tahun dan denda Rp500 milar.

Kendati komisioner KPK intens berhubungan dengan Mahkamah Agung (MA) untuk menyusun Perma Korporasi, sepertinya KPK belum mulai beranjak untuk mengusut mempidanakan korporasi bermasalah.
 Padahal dalam beberapa perkara, beberapa perusahaan plat merah cenderung punya andil dalam kasus yang melibatkan para pejabatnya. Sebut saja kasus Hambalang ada nama PT Adhi Karya, kemudian PT Hutama Karya dalam perkara pembangunan Diklat Sorong Kementerian Perhubungan, ada juga PT Nindya Karya di kasus Dermaga Sabang.

Baru-baru ini ada perkara suap yang diperuntukkan kepada Kajati DKI Jakarta dan Aspidsus oleh petinggi PT Brantas Abipraya serta kasus suap pengadaan pupuk di PT Berdikari.

"Sebenarnya kasusnya kita belum tetapkan yang mana. Tapi untuk BUMN itu lebih tricky karena kerugian keuangan negaranya diterima oleh BUMN. BUMN itu juga bagian dari negara, jadi itu agak tricky," kata Syarif  di kantornya, Senin (9/1).

Syarif memberikan contoh mengapa BUMN cenderung sulit dijadikan prioritas dijerat kasus korupsi. "Jadi kalau misalnya kita ambil dendanya, (ibaratnya) dari kantong kanan masuk lagi ke kantong kiri, jadi sama saja dari negara ke negara," terangnya.

Sinyal lain KPK masih ragu untuk mempidanakan perusahaan plat merah karena Syarif meyakini jika korupsi yang dilakukan dinikmati oleh individu, bukan masuk ke kantong perusahaan. Berbeda dengan korupsi perusahaan swasta yang pemidanaannya akan langsung dibahas oleh KPK.

"Dan sebenarnya kalau yang masuk BUMN itu, saya yakin dinikmati oleh individu-individu di dalam BUMN itu, bukan dari BUMNnya sendiri. Tapi kalau untuk (perkara korupsi yang melibatkan) pure korporasi, nanti itu dibahas. Tapi sekarang kita ada patokannya, jadi akan lebih gampang bekerja, KPK, polisi, dan jaksa," jelas  Syarif.

Syarif menambahkan, jika dihukum korporasinya, misal BNI. BNI kan perusahaan negara, terus diambil kerugian keuangan negaranya. "Kan sama aja sama-sama uang negara, itu dilema teknis. Dan di luar negeri juga, kaya di Belanda, mereka lebih fokus pada korporasi murni, bukan korporasi milik negara," katanya.

Namun dalam korupsi yang dilakukan BUMN, pasti (uangnya) pergi ke orang-orangnya. "Nah, orangnya yang kita proses," sambungnya.

TANGGAPAN GARUDA - Menanggapi kasus itu,  PT Garuda Indonesia membela diri. Menurut Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia Benny S. Butarbutar, perkara ini sama sekali tidak berkaitan dengan korporasi tetapi hanya bersifat pribadi.

"Sehubungan dengan hasil investigasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan penggeledahan di beberapa tempat dan terkait dengan BUMN transportasi, dengan ini Manajemen maskapai nasional Garuda Indonesia menyampaikan bahwa dugaan hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan korporasi, namun lebih kepada tindakan perseorangan," kata Benny dalam siaran pers yang diterima wartawan.

Sebagai perusahaan publik Garuda Indonesia sudah memiliki mekanisme dalam seluruh aktivitas bisnisnya. Mulai dari penerapan sistem yang diterapkan secara ketat hingga transparansi dalam informasinya.

Terkait kasus ini, manajemen Garuda Indonesia juga menyatakan  menyerahkan sepenuhnya kepada KPK  dalam penuntasan kasus tersebut, serta akan bersikap kooperatif dengan pihak penyidik.

BACA JUGA: