JAKARTA, GRESNEWS.COM – Menjelang simposium internasional Mahkamah Konstitusi (MK) seluruh dunia di Jakarta, Agustus 2015, muncul wacana perluasan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menerima constitutional complaint atau pengaduan konstitusional, yang juga menjadi tema dari simposium itu. Wacana perluasan kewenangan ini memicu perdebatan lantaran akan banyak tantangan ketika MK diberikan kewenangan ini.  

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan constitutional complaint atau pengaduan konstitusional dapat diajukan ketika ada perbuatan atau kelalaian dari pejabat publik yang mengakibatkan terlanggarnya hak konstitusional warga negara. Namun atas perbuatan tersebut sudah dilakukan upaya hukum dan tidak ada lagi upaya hukum, kasus itu baru bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai constitutional complaint.

"Contoh di Jerman, constitutional complaint bisa diajukan ketika semua pejabat publik dari tiga cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif melakukan kelalaian dan merugikan hak konstitusional warga negara. Ini bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi," ujar Palguna saat ditemui wartawan di ruangannya lantai 13 Gedung Mahkamah Kostitusi, Jakarta, kamis (30/7).

Ia mencontohkan, kalau ada putusan pengadilan yang dianggap bertentangan dengan hak konstitusional warga negara dan diajukan sebagai constitutional complaint dan MK mengabulkan perkaranya maka MK tidak akan mengambil alih perkaranya, tapi perkara akan dikembalikan ke pengadilan untuk diperiksa kembali dengan cara yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Sehingga kewenangan lembaga manapun tidak akan ada yang diambil alih MK.

Menurut Palguna, kalau kewenangan constitutional complaint diberikan pada MK, maka tidak akan ada benturan atau perselisihan antar lembaga negara. Sebab MK tidak akan mengganggu hak ‘tetangga’ dalam konteks contoh di atas. Kewenangan tersebut tetap menjadi wilayah kewenangan Mahkamah Agung.

Begitupun ketika ada pelanggaran hak konstitusional warga negara yang dilakukan pejabat publik. Perkara tersebut bisa diajukan sebagai constitutional complaint. Contohnya ada kelalaian pejabat publik yang mengakibatkan hak warga negara atas lingkungan yang sehat jadi terganggu. Maka MK bisa memerintahkan pejabat tata usaha negara yang mengakibatkan hal itu terjadi untuk melakukan perbaikan. Sehingga hal tersebut tidak terjadi lagi.

Persoalan di Indonesia, MK tidak memiliki kewenangan constitutional complaint. Sehingga banyak yang mengajukan uji materi undang-undang (UU) terhadap UUD 1945. Padahal norma UU tersebut dianggap sesuai dengan UUD 1945. Kasus uji materi yang diajukan ke MK kadang norma yang digugat tidak bermasalah, tapi norma UU bisa dianggap merugikan hak konstitusional warga negara karena kesalahan dalam menafsirkan norma bersangkutan. Makanya akhirnya MK mengakali putusan tersebut dengan putusan konstitusional bersyarat. Ia menambahkan ketika kewenangan constitutional complaint ini diberikan pada MK, ia menduga kewenangan ini akan mengurangi permohonan uji materi UU terhadap UUD 1945.

Menanggapi wacana ini, dosen hukum tata negara Universitas Andalas Khairul Fahmi menjelaskan Indonesia memang sebenarnya butuh ada lembaga peradilan yang diberi kewenangan khusus untuk menerima komplain-komplain warga negara terutama untuk perkara-perkara yang tidak lagi menjadi kewenangan dari lembaga peradilan yang ada seperti Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan di bawahnya.

"Kewenangan constitutional complaint bukan kewenangan untuk kasus yang biasa. Misalnya bukan apabila orang ada perkara dengan pemerintah, maka diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara ketika bentuknya administratif. Kalau ada perbuatan melawan hukum kewenangan pengadilan umum. Tapi ranah constitutional complaint yang kita bahas adalah kewenangan untuk memeriksa complain warga negara atas ketidakpatuhan penyelenggara negara baik di ranah eksekutif maupun yudikatif,” ujar Khairul saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (1/8/).

Ia mencontohkan banyak kasus ketika lembaga negara yang kalah di pengadilan, putusan pengadilan tidak dijalankan. Maka dalam konteks ini warga negara mesti diberi ruang untuk maju lagi untuk menjalani proses yang memperkuat peran atau penguatan hak warga negara yang diabaikan penyelenggara negara. Jadi target akhir constitutional complaint lebih pada pemenuhan dan wewujudkan hak asasi manusia. Jadi soal urgensi bisa dikatakan sangat urgent, menurutnya.

TERKENDALA AMANDEMEN UUD 1945 - Hanya saja, menurut Palguna, ketika MK akan ditambah kewenangan untuk menangani constitutional complaint ada terkendala dengan UUD 1945. Sebab kewenangan tersebut tidak diberikan UUD 1945. Sehingga muncul pertanyaan soal kemungkinan MK diberikan kewenangan constitutional complaint tanpa mengubah UUD 1945.

"Tentu saran yang paling masuk akal melalui amandemen UUD 1945. kan susah itu. Tapi kalau menurut studi saya dimungkinkan MK diberi kewenangan tanpa mengubah UUD 1945. Caranya cukup dengan mengubah UU Mahkamah Konstitusi saja dengan memperluas makna judicial review. Karena judicial review maupun pengaduan konstitusional itu induknya sama yaitu pengujian konstitusional. Kalau pengujian norma itu judicial review. Kalau pengujian perbuatan atau kelalaian itu adalah constitutional complaint. Jadi induknya sama constitutional review,” ujar Palguna.

Kalau MK diberikan wewenang constitutional complaint maka bunyi putusan MK tidak hanya sebatas menolak, mengabulkan atau menyatakan tidak dapat menerima permohonan. Tapi bisa juga putusan tersebut memerintah pejabat administrasi negara yang melakukan pelanggaran untuk melakukan perbaikan.

Ia mencontohkan misalnya MK menelusuri dari mana kelalaian atau perbuatan pejabat publik yang merugikan warga negara muncul. Setelah ditelusuri ternyata pejabat bersangkutan keliru dalam menafsirkan sebuah UU Ketenagakerjaan. Jadi pemohon akan masuk melalui uji materi UU Ketenagakerjaan dan bukan untuk menyatakan norma tersebut konstitusional atau inkonstitusional. Tapi permintaannya untuk menghentikan perbuatan pejabat publik yang dinilai merugikan warga negara berdasarkan UUD 1945 atau kalau pejabat lalai, maka pejabat bersangkutan diharuskan mengambil tindakan tertentu agar hak konstitusional warga negara terpulihkan.

Menurutnya, hal itu bisa saja dilakukan. Apalagi UUD 1945 tidak memberikan pengertian spesifik soal uji materi. Sehingga pembentuk UU boleh membuat penafsiran uji materi tersebut.

Terkait hal ini, Khairul mengatakan saat ini MK tidak memiliki kewenangan constitutional complaint. Sebab konstitusi belum memberi ruang untuk itu. Sementara soal usulan melalui revisi UU MK ia menilai tidak bisa. Sebab dalam UUD 1945 menentukan secara limitatif kewenangan MK. Kalaupun akan diakomodir maka belum bisa disebut sebagai constitutional complaint. Sehingga jalur yang paling mungkin hanya melalui pengujian UU.

"Tak cukup kuat kalau hanya diletakkan di level UU. Potensi diuji akan sangat besar. Saya juga tidak yakin kekuatan politik di DPR akan dengan mudahnya memberikan kewenangan baru itu ke MK," tutur Khairul.

PUTUSAN BERLAKU UNTUK PERMOHONAN SERUPA - Saat ditanya apakah nantinya putusan constitutional complaint bersifat erga omnes atau berlaku secara umum seperti uji materi UU terhadap UUD 1945 atau tidak, Palguna menjelaskan putusan tersebut bisa berlaku untuk persoalan yang serupa. Sehingga walaupun yang diajukan kasus konkrit, tapi nilai keberlakuannya bisa bersifat erga omnes.  

"Contohnya di Jerman. Agustus ini ada international symposium tentang constitutional complaint. Karena di Indonesia belum ada kewenangan itu, kita paling berbicara soal tantangannya di Indonesia," jelasnya.

Terkait dengan eksekusi putusan constitutional complaint, rata-rata, menurut Palguna, di sejumlah negara memutuskannya hanya secara deklaratif. Tapi kalau ada pejabat yang tidak melaksanakan putusan MK maka di mata publik langsung ‘nol nilainya’. Hal itu yang terjadi di Jerman dan Amerika yang budaya politiknya sudah maju. Berbeda dengan Indonesia yang kesadaran budaya politik dan etikanya belum terbangun dengan baik.

Menyambung hal ini, Khairul mengatakan semua kewenangan MK bersifat kasuistis kecuali pengujian UU terhadap UUD 1945. Sebab pengujian UU merupakan norma yang bersifat umum. Kalau kewenangan lembaga negara, sengketa hasil pemilu, dan kalau ditambah dengan constitutional complaint maka sifatnya kasuistis.

"Kalau ada asas preseden, ada kasus seperti ini. lalu ada kasus yang sama ya mungkin saja. Tapi tidak berlaku umum," tuturnya.

Adapun ketika putusan constitutional complaint tidak dilaksanakan, maka publik yang akan menilai pejabat bersangkutan yang melanggar hak konstitusional warga negara melalui pemilihan umum. Sebab tidak mungkin dibentuk lembaga baru untuk mengeksekusi putusan constitutional complaint. Karena constitutional complaint lebih pada hal yang bersifat administratif. Sehingga eksekusi putusan ini berpulang pada komitmen penyelenggara negara bersangkutan.

PENGAJUAN CONSTITUSIONAL COMPLAINT MENINGKAT - Palguna menjelaskan dari sejak berdiri MK sampai dengan 2010, permohonan constitutional complaint memiliki kecenderungan meningkat ke MK. Ia pun menceritakan pernah berdiskusi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) soal kewenangan ini secara informal. Dalam obrolan tersebut disebutkan biasanya DPR kerap ‘marah’ ketika ada norma dalam UU yang dibatalkan oleh MK.
Sehingga cara untuk mengurangi ‘kemarahan’ tersebut, MK harus diberikan kewenangan constitutional complaint. Sebab dengan adanya kewenangan constitutional complaint maka uji materi UU terhadap UUD 1945 pasti akan turun kuantitas permohonannya.

"Memang ada persoalan, hakimnya cukup tidak? Menurut saya cukup. Karena ketika kembali melihat praktek di Jerman dalam satu tahun terdapat 6 ribu pengaduan yang masuk. Tapi dari 6 ribu pengaduan ada proses seleksinya. Tidak perlu orangnya menghadap langsung bisa dikirim lewat pos atau faksimili," tutur Palguna.

Penyeleksian pengaduan bisa dilakukan oleh panel yang membahas secara khusus. Panel terdiri dari hakim juga. Sehingga perkara yang masuk ke hakim hanya tinggal 6 persen dari 6 ribu. Lalu putusan yang dikabulkan hanya tinggal 2 hingga 3 persen. Berkaca pada Jerman, tren pengaduan konstitusional juga cenderung naik. Malah ketika  constitutional complaint tidak dikabulkan maka warga negara bisa berhadapan dengan negaranya sendiri lewat Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa. Jadi warga negara bisa gagah berhadapan dengan negaranya sendiri.

POTENSI KONFLIK KEKUASAAN - Sementara peneliti Lembaga Independesi untuk Peradilan (Leip) Arsil menilai kewenangan constitutional complaint justru sebenarnya seakan sudah menjadi kewenangan dari MA. Sehingga kalau kewenangan tersebut diberikan pada MK, malah membuat MA berada di bawah MK. Bisa juga MK menjadi upaya hukum lanjutan atau di atas PK.

"Itu akan menimbulkan konflik kekuasaan kehakiman," ujar Arsil saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (8/1).

Ia mencontohkan sebenarnya dalam praktek kasasi di Belanda, Perancis, dan Belgia tidak boleh memutus kasasi misalnya menyatakan terbukti atau tidak terbukti atau dihukum sekian tahun penjara. Tapi pada prakteknya, di Indonesia hal tersebut terjadi. Kasasi sebenarnya hanya berwenang menyatakan suatu penafsiran tidak tepat. Kalau tidak tepat maka harus dikembalikan ke pengadilan terakhir yang memutuskan dengan tidak tepat.

Misalnya ketika pengadilan tinggi memutus seseorang bersalah karena korupsi sebagai perbuatan melawan hukum. Lalu MA menilai kalau kasus tersebut belum bisa dikategorikan sebagai melawan hukum. Maka seharusnya MA menyatakan penafsirannya salah, membatalkan putusan pengadilan tinggi dan memerintah pengadilan tinggi memutus ulang perkara tersebut dengan petunjuk MA.

Melalui contoh di atas, menurutnya kewenangan constitutional complaint yang akan diberikan pada MK akan mirip dengan kewenangan yang saat ini dimiliki oleh MA. Sebab praktek di Indonesia memang kerapkali salah. Misal dalam KUHAP Pasal 253 ayat (2) soal syarat kasasi disebutkan terdapat cara mengadili yang tidak tepat maka MA memerintahkan pengadilan yang memutus atau pengadilan lainnya yang setingkat untuk memeriksa ulang sebagian atau seluruh perkara.

"Tapi dalam praktek kita tidak pernah dilakukan. MA selalu memutus sendiri. Karena cara mengadilinya salah. MA periksa sendiri. Dia periksa semua faktanya yang tidak pernah dia lihat dan dia lihat sendiri kejadiannya seperti apa. Lalu dia putus sendiri. Itu praktek yang tidak benar," lanjut Arsil.

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut Arsil, sebenarnya kewenangan tersebut cukup dilakukan di MA dan tidak perlu menambah kewenangan tersebut ke MK. Menurutnya, ketika diberikan kewenangan constitutional complaint, MK akan terdorong untuk memutus sendiri perkara. Sehingga MK bisa menjadi MA yang kedua.

Palguna menjelaskan memang ada pihak yang mengatakan constitutional complaint malah bisa menjadi upaya hukum kelima setelah peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Tapi, menurutnya, kalau PK lebih pada persoalan untuk mengadili perkara konkritnya. Tapi constitutional complaint lebih mengarah pada persoalan untuk menjaga hak konstitusional warga negaranya.

"Pada waktu mengadili konkrit case terjadi pelanggaran hak konstitusional atau tidak? Kira-kira begitulah," ujar Palguna.

Misalnya saat ada perkara pidana, terpidana sudah diperiksa sampai tingkat kasasi. Ternyata pada pemeriksaan di awal terpidana tidak didampingi penasihat hukum atau pengacara. Padahal itu merupakan hak terpidana. Maka MK akan memerintahkan agar terpidana bersangkutan diadili kembali dan diberikan hak untuk didampingi pengacara.

BACA JUGA: