JAKARTA, GRESNEWS.COM — Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk kasus Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Sukma Violetta mengatakan, pihaknya bergerak cepat mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis Akbar. "Kami sudah memeriksa, tapi bagaimana hasil pemeriksaannya, hari Senin besok dibacakan karena itu sudah masuk materi substansi," kata Sukma, Jumat malam (3/2).

Sukma menerangkan, pihaknya bukan sekadar ingin bekerja cepat. Namun bukti-bukti yang dibutuhkan memang sudah sangat mendukung. Selain itu, para saksi bertindak kooperatif dan KPK juga memberikan izin kepada MKMK untuk memeriksa Patrialis di gedung KPK. Di sisi lain, Patrialis sendiri sudah melayangkan surat pengunduran diri pada Senin (30/1) lalu.

"Surat pengunduran diri harus segera direspons dalam tujuh hari, kalau tidak ada, maka hakim tersebut berhenti dengan hormat karena alasannya mengundurkan diri," sambung Sukma.

Namun demikian, Sukma menerangkan, berdasar hasil pemeriksaan Dewan Etik MK, ada indikasi Patrialis melakukan pelanggaran etik sehingga dia bisa saja diberhentikan dengan tidak hormat. Lantaran itulah MKMK harus meresponnya dengan cepat. "Jadi begitu dihitung mundur disesuaikan dengan waktu pengunduran diri, diharapkan dalam enam hari MKMK harus beri putusan," katanya.

Di sisi lain, pemeriksaan berjalan cepat karena ada perubahan mekanisme terkait pemeriksaan yang dilakukan MKMK. Menurut Sukma, dahulu MKMK dituntut untuk mencari semua bukti terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim konstitusi. Namun sekarang, bukti-bukti itu sudah disiapkan Dewan Etik.

Dengan demikian, MKMK bekerja laiknya pengadilan. "Jadi kami sudah dapat beberapa poin, ibaratnya dari jaksa. Kami ini hakimnya. Di pengadilan etik dulu, semuanya dilakukan Majelis Kehormatan," papar Sukma.

Terlepas dari adanya surat pengunduran diri Patrialis Akbar dan adanya mekanisme pemeriksaan etik yang baru, Sukma juga menjelaskan pihaknya bergerak cepat lantaran MK akan disibukkan oleh sidang gugatan sengketa pilkada pada Maret mendatang. Karena itulah MKMK berpendapat, proses pemeriksaan etik terhadap Patrialis harus dilakukan secepat mungkin agar saat MK memeriksa sengketa Pilkada, hakim konstitusi sudah lengkap berjumlah 9 orang sehingga pemeriksaan bisa dilakukan oleh tiga pleno sekaligus.

"Karena dia (PA) dari unsur pemerintah, pemerintah diberi kesempatan untuk melakukan seleksi. Maka dilakukanlah hitungan mundur, sebelum bulan Maret pemerintah harus punya hakim pengganti Patrialis Akbar karena dia pasti berhenti—apakah dia mengundurkan diri atau berheni berdasarkan Majelis Kehormatan," pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi sedianya memberikan waktu selama 30 hari kepada MKMK untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan. Andai dalam kurun waktu 30 hari pemeriksaan itu belum selesai, MKMK diberi waktu lagi selama 15 hari untuk membuktikan ada-tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis.

Setelah itu barulah dilakukan pemeriksaan lanjutan, yang durasi waktunya 60 hari plus 30 hari andai pemeriksaan lanjutan itu belum membuahkan hasil. Namun ternyata MKMK mampu menyelesaikan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh Patrialis Akbar lebih cepat dari yang ditentukan.

Pembentukan MKMK sendiri didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Kemudia, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

TERKESAN SENYAP — Terlepas dari kerja cepat MKMK, aktivis Indonesia Corruption Watch Tama Satriya Langkun menyayangkan bahwa sikap publik terhadap kasus Patrialis yang terkesan senyap. "Publik seolah-olah melihat perkara ini yang biasa, padahal sebenarnya ini perkara yang sangat luar biasa. Seorang hakim MK kan punya spesifikasi yang ketat, tapi kok tertangkap korupsi?" kata Tama kepada gresnews.com, Sabtu (4/2).

Tama menduga, publik cuek dengan kasus Patrialis lantaran publik sudah terbiasa dengan ditangkapnya hakim konstitusi oleh KPK. Lantaran dulu Akil Mochtar sebagai ketua MK sudah ditangkap, Tama menduga, masyarakat tidak akan heran jika  kemudian hakim konstitusi lainnya—terlebih berstatus sebagai hakim anggota—ditangkap KPK lagi. "Masyarakat menduga ini sudah biasa. Padahal ini bahaya," katanya.

Tama menerangkan, publik harus merespons persoalan suap semacam ini dengan lebih serius. Bagaimanapun, kasus korupsi maupun suap yang melibatkan lembaga negara setingkat MK adalah perkara yang mengerikan. "Kenapa? Kasus Akil Mochtar belum selesai. Bupati Buton baru ditangkap, dalam proses penahananlah, tapi di waktu yang sama ada lagi hakim konstitusi yang ditangkap karena suap. Ini yang kemudian bahaya," papar Tama.

Tama menjelaskan, kasus-kasus yang melibatkan Akil bakal terus berlanjut di KPK. Menurutnya, saat ini ada beberapa kasus yang terus didalami. Lantaran itulah dalam keadaan seperti ini, Tama berharap MK bisa terus meningkatkan integritasnya sebagai lembaga penegak hukum—alih-alih mencoreng wajahnya untuk kedua kalinya.

"Makanya MK jangan resisten terhadap masukan dari masyarakat. Saat masyarakat menyerukan MK agar memiliki lembaga pengawas eksternal, ketua MK malah bilang MK tidak bisa diawasi," pungkasnya.

Sebelumnya, Pakar Tata Negara Refly Harun juga melayangkan pendapat serupa. Menurut Refly, perhatian publik terhadap kasus OTT yang menjerat Patrialis Akbar tidak segempar kasus yang menimpa Akil Mochtar dahulu. Hal demikian, menurut Refly, bisa jadi karena dua hal.

Pertama, Patrialis bukan ketua MK. Kedua, masyarakat sudah terbiasa mendengar kabar penyelenggara negara ditangkap KPK. "Jadi yang dulu gempar Akil Mochtar. Sekarang kan gemparnya sudah berkurang. Karena yang ditangkap bukan ketua dan kita sudah terbiasa. Tapi sikap itu berbahaya bagi kita karena kita menghancurkan lembaga-lembaga penegakan hukum itu sendiri," kata Refly.

Menurut Refly, bahkan Presiden Joko Widodo sendiri cenderung adem-ayem menyikapi kasus OTT Patrialis Akbar ini. Pendapat Refly sangat beralasan. Sehari setelah Patrialis ditangkap KPK, Jokowi hanya memberi pernyataan singkat nan normatif bahwa seluruh rakyat Indonesia pasti kecewa, dan kasus ini menjadi pelajaran penting demi perbaikan hukum ke depannya.

Menurut Refly, sikap dan pernyataan Jokowi di atas pada dasarnya merefleksikan sikap masyarakat kebanyakan yang kadung terbiasa melihat OTT. "Jika ini dibiarkan, berbahaya. Lama-lama masyarakat menganggap kita tidak perlu MK lagi, kita tidak perlu sekolah pintar-pintar lagi, yang penting bayar. Karena itu MK harus diselamatkan. Salah satu caranya adalah rekrutmen di hulunya," kata Refly.

Refly berharap dalam proses seleksi hakim MK, ada satu tim panel ahli yang bertugas melakukan seleksi terhadap nama-nama yang diusulkan DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Menurut Refly, hal itu penting dilakukan agar antara ketiga unsur pengusul hakim MK, ada kesamaan standar.

Pendapat Refly diamini oleh Veri Junaidi, ketua lembaga pemerhati MK, KoDe Inisiatif. Menurut Veri, saat ini, baik presiden, DPR, maupun MA, punya mekanisme sendiri-sendiri dalam mengusulkan calon hakim MK. "Rekrutmen terakhir yang dilakukan Presiden itu sangat ideal. DPR juga cukup terbuka dalam melakukan seleksi hakim MK. Tapi untuk MA, itu kita tidak tahu. Sistem rekrutmen mereka cenderung tertutup," kata Veri kepada gresnews.com, Sabtu (4/2).

Veri menjelaskan, dalam konteks rekrutmen Aswanto, DPR melakukan proses terbuka dengan mengundang sejumlah panel ahli. Panel ahli inilah yang kemudian menguji para calon hakim MK dan memberikan rekomendasi kepada DPR. Terlepas dari DPR punya preferensi sendiri atau tidak terhadap Aswanto, menurut Veri hal itu layak diapresiasi. "Yang jelas, DPR sudah melakukan proses rekrutmen secara terbuka," kata Veri.

Demikian pula dalam seleksi yang dilakukan Presiden Jokowi. Hakim yang dihasilkan dari seleksi terbuka, yakni I Dewa Gede Palguna, dinilai Veri sebagai hakim yang bagus dan ideal. "Saat itu ada dua nama yang diusulkan ke Presiden, yakni Palguna dan Prof. Yuliandri. Dari situ kita bisa menilai kandidat hakim MK itu kapasitas dan integritasnya bagaimana—paling tidak bisa dilihat dari proses seleksi itu," sambung Veri.

Namun demikian, Veri menyoroti mekanisme proses seleksi yang dilakukan MA. Menurutnya, hingga saat ini, MA cenderung tertutup dalam melakukan seleksi. "Hakim MK terakhir yang masuk dari unsur MA adalah Pak Manahan Sitompul. Kita tidak pernah tahu bagaimana mekanisme seleksinya. Tentu, MA punya kriteria sendiri—misalnya hakim MK harus dari hakim karir dan sebagainya. Itu tidak jadi masalah. Hanya, prosesnya harus dilakukan terbuka. Dilakukan oleh tim ahli dan sebagainya. Sehingga publik bisa memberi masukan sekaligus kritik terhadap proses itu. Kita berharap ke depan proses seleksi yang baik ini bisa menjadi tradisi," papar Veri.

Terakhir, Veri menerangkan, dalam konteks Patrialis Akbar, ditunjuknya yang bersangkutan menjadi hakim MK prosesnya terbilang unik. Menurutnya, awal tahun 2013 Patrialis mendaftarkan diri di DPR melalui proses yang terbuka. Tapi saat hendak dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) Patrialis justru mundur hingga tidak mengikuti proses tersebut.

"Tapi empat bulan kemudian, dia diangkat melalui SK Presiden, dan itu penunjukan. Jadi ditunjuk langsung tanpa ada proses seleksi sebelumnya," pungkas Veri.

INTEGRITAS — Sementara itu, advokat senior Todung Mulya Lubis menekankan, siapa pun yang bakal menggantikan Patrialis Akbar—juga para calon hakim MK ke depan—selain negarawan dan punya pemahaman mendalam dalam persoalan konstitusi dan tata negara, maka yang bersangkutan haruslah mempunyai integritas.

Disinggung bagaimana cara mengukur tolak ukur integritas, Todung menjelaskan hal itu bisa dilihat dari rekam jejak yang bersangkutan. "Kita lihat rekam jejaknya. Ada cela gak? Tapi persoalan integritas itu bukan hanya soal perilaku atau budi pekerti, tapi juga soal sikap. Sikap itu hanya bisa dibaca kalau kita melihat karya tulisnya, pendapat hukumnya, juga putusan-putusan yang dia buat kalau dia pernah jadi hakim," kata Todung kepada gresnews.com.

Todung juga menyarankan, ke depan, dalam proses seleksi hakim MK, ketiga unsur pengusul tidak hanya memeriksa para calon. Tak kalah penting dari itu, menurut Todung, agar hasil seleksi komperehensif, Presiden, DPR, maupun MA seharusnya meminta keterangan pula dari pihak-pihak lain yang secara gagasan dianggap punya paham berseberangan dengan para calon hakim tersebut.

"DPR, misalnya, mereka harus panggil juga itu pihak-pihak yang berseberangan dengan para calon. Kita uji misalnya gagasan mereka tentang hukum tata negara, pendapat mereka tentang kebhinekaan, kebebasan beragama, juga tentang isu-isu lainnya. Saya kira itu harus dilakukan," pungkas Todung.

Terlepas dari pernyataan Todung di atas, pemerintah sendiri, lewat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sudah menyampaikan, pihaknya akan melakukan seleksi dengan mekanisme yang ideal. "Kebetulan kan Pak Patrialis dari unsur pemerintah. Nanti pemerintah, dalam hal ini Presiden, akan membentuk timsel (tim seleksi) hakim MK," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, pekan lalu.

Yasonna menjelaskan, mekanisme seleksi akan dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, di bawah pengawasan timsel. "Siapa yang mau mendaftar menjadi hakim MK, silakan mendaftar ke timsel," katanya.

Di dalam UU MK,seorang hakim konstitusi disyaratkan harus berintegritas, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak rangkap jabatan. Adapun syarat formalnya, yakni Warga Negara Indonesia, berpendidikan sarjana hukum, berusia sekurang-kurangnya 40 tahun, tidak pernah dijatuhi pidana penjara dengan hukuman lima tahun lebih, dan mempunyai pengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun.

Namun demikian, selama MK belum melayangkan surat kepada presiden, Yasonna menyebut pemerintah belum bisa melakukan tindakan apa-apa. Bahkan menentukan timsel sekalipun. "Biar MK yang kasih surat resminya dulu. Nanti prosesnya di Presiden," pungkas Yasona. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: