JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah sepertinya tak akan mundur dari rencana untuk memberlakukan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Saat ini pembahasan RUU tersebut memang masih "terhambat" di Dewan Perwakilan Rakyat akibat datangnya masa reses.

Pembahasan RUU itu akan diteruskan usai reses, namun masih ada beberapa pasal yang diperkirakan akan bermasalah. Jikapun RUU tersebut nantinya urung disahkan, pemerintah sudah punya rencana cadangan demi upaya mendatangkan uang WNI yang disimpan di luar negeri itu.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, ada dua cara untuk mendatangkan uang WNI yang disimpang di luar negeri lewat kebijakan Tax Amnesty. Pertama dengan cara repatriasi atau menarik dana yang selama ini parkir di luar negeri. Kedua dengan cara deklarasi.

"Tax amnesty itukan memang ada dua hal caranya itu, yang repartiasi yang uang masuk ke dalam negeri masuk dalam bentuk bond (obligasi) atau investasi langsung. Kedua, deklarasi, mungkin dia ada usaha ke luar negeri, ada pabrik, rumah, hanya menyampaikan bahwa saya ada pabrik nilainya sekian sehingga itu usul pemerintah kan 4 persen kenanya," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (29/4).

Jika Tax Amnesty tersebut tak disetujui DPR, maka pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP). JK menjelaskan, PP untuk nantinya dikhususkan untuk mengatur masalah deklarasi.

PP tersebut, kata JK menjadi salah satu alternatif yang diajukan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. PP itu, kata JK, akan mengatur khususnya untuk deklarasi. Deklarasi itu termasuk daerah-daerah dalam negeri, misalnya deposito-deposito yang tidak dilaporkan.

"Jadi tidak seluas tax amnesty. Hanya deklarasi menambah pajak saja karena guna daripada manfaat," tambahnya.

JK juga mengatakan, ada dua manfaat yang diharapkan dari kebijakan Tax Amnesty ini. Pertama untuk biaya pembangunan masyarakat, kedua di bidang pajak.

"Manfaat pertama, ekonomi akan lebih tambah dia punya dana pembangunan masyarakat. Artinya kalau dana dari luar negeri itu kemudian diinvestasi dalam bentuk pabrik, industri atau apa, pertanian, berarti menambah kegiatan ekonomi. Kedua adalah menambah penghasilan pajak apabila yang dibayar satu persen dan 4 persen itu usulan pemerintah," jelasnya.

"Jadi bukan hanya urusan pajak, tetapi urusannya adalah lebih kepada ekonomi ini investasi berjalan dengan lebih baik lagi. Dengan tanpa dia penalti, gitu," tambahnya.

Berdasarkan perhitungan Global Financial Integration (GFI) diketahui, dana dana orang Indonesia yang terparkir di luar negeri mencapai Rp3.147 triliun, yang berkembang sejak 2004-2013. Dari jumlah itu, pemerintah berharap untuk bisa menarik kembali sebesar Rp560 triliun melalui repatriasi. Selain itu, pemerintah juga berharap pemasukan pajak sebesar Rp45,7 triliun.

Dana-dana itu jika nantinya masuk, akan ditampung di bank-bank dalam negeri sebelum disalurkan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pihak Otoritas Jasa Keuangan sendiri sudah menyiapkan insentif perbankan agar perbankan bisa efisien sehingga net interest margin (NIM) dan bunga kredit turun.

Insentif tersebut juga disiapkan supaya perbankan bisa menyerap dana repatriasi pengampunan pajak. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon, mengatakan dana repatriasi yang masuk diprediksi sangat besar.

"Dia (dana repatriasi) bisa masuk direct investment, proyek, tapi bisa lewat industri jasa keuangan. Itu sangat terbuka," kata Nelson, ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Sudirman CBD, Jakarta Selatan, Senin (2/5).

Ia mengatakan, setelah dana repatriasi masuk ke perbankan, maka modalnya akan bertambah sehingga biaya operasional bisa lebih murah. Dengan demikian, penyaluran kredit pun bisa lebih tinggi lagi.

"Insentif perbankan mendorong bank-bank lebih efisien, sehingga biaya perbankan semakin murah, penyaluran kredit kita bisa harapkan sesuai dengan target pemerintah," jelasnya.

OJK berharap penyaluran kredit perbankan tahun ini bisa mencapai 14-15%, lebih tinggi ketimbang tahun 2015 yang sebesar 11-12%. "Karena sekarang dengan pertumbuhan kredit yang kita harapkan 14-15% tentunya butuh dukungan dana," ujarnya.

REVISI UU PERPAJAKAN - Sementara pemerintah tetap ngotot dengan skema pengampunan pajak, pihak Dewan Perwakilan Daerah justru meminta pemerintah untuk segera mengajukan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) sebagai dasar hukum bagi sistem perpajakan nasional.

Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad mengatakan, RUU KUP diharapkan menjadi pelaksanaan reformasi sistem perpajakan nasional yang akan membawa ke arah pencapaian target yang diinginkan dan antisipasi terhadap perubahan perubahan ke depan. Dalam konteks ini, nantinya pengampunan pajak diletakkan sebagai bagian dari reformasi perpajakan.

Dia menilai, tax amnesty bukan sebuah kebijakan yang harus berdiri sendiri. Alasannya, karena dasar pemberlakuan tax amnesty hanya sekadar menaikkan penerimaan negara dan perluasan penerimaan negara dan perluasan basis pajak bisa terwujud.

"Jadi pengampunan pajak dasarnya berfungsi untuk insentif guna menggiring wajib pajak yang belum taat untuk masuk ke dalam sistem, selanjutnya setelah sistem terbenahi dan tidak ada celah untuk keluar lagi. Atau seperti ibaratnya UU Pengampunan Pajak adalah keran air, maka UU KUP sebagai wadah airnya, sehingga perlu dibuat wadah yang lebih besar dan tidak bocor," kata Farouk di Jakarta, Selasa (3/5).

Jika belum adanya perbaikan sistem dan mekanisme perpajakan yang memadai, maka RUU Pengampunan Pajak hanya terfokus pada manfaat jangka pendek berupa tambahan pemasukan negara untuk menutup tidak tercapainya penerima pajak.

Pemerintah, kata Farouk, harus cermat dan hati-hati dalam menggunakan perangkat hukum terkait pengampunan pajak. Alasannya, ada dampak lain dari tax amnesty yaitu potensi moral hazard yang relatif tinggi karena sulit mengukur keputusan wajib pajak setelah memperoleh pengampunan.

"Kalau dilihat cenderung wajib pajak dananya ke luar negeri, wacana pengampunan pajak tidak menimbulkan efek kejut tetapi memberikan alibi baru bagi wajib pajak bandel untuk lolos dari sanksi," ujarnya.

Karena itu, kata Farouk, sebaiknya sebelum memberlakukan tax amnesty, pemerintah sebaiknya merevisi UU KUP agar tercipta kebijakan pajak yang berkesinambungan.

Revisi terpenting dari UU KUP adalah memperbaiki kerangka kebijakan perpajakan yang sudah tidak relevan dengan perkembangan ekonomi. Selain itu juga pembenahan struktur kelembagaan perpajakan yang lebih efektif dan efisien dari sisi tugas serta kewenangnya.

Revisi UU KUP juga akan memberikan kemudahan bagi pemerintah agar bisa merealisasikan roadmap perpajakan 2015-2019 yang sudah pernah disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak dimana target rasio pajak akan mencapai 16 persen pada tahun 2016.

"Jadi barulah kemudian pemerintah bisa merencanakan target penerimaan perpajakan yang lebih realistis dan sesuai dengan kondisi yang ada," tegasnya.

RUGIKAN PENGUSAHA TAAT PAJAK - Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan, pemberlakuan tax amnesty akan merugikan pengusaha yang taat pajak. Karena itu, para pengusaha taat pajak diminta menolak tax amnesty.

"Ancaman kebangkrutan dan tergusurnya lapak usaha para pengusaha dan perusahaan yang taat membayar pajak pada negara akan terjadi begitu UU atau Keppres Tax Amnesty diberlakukan," kata Arief kepada gresnews.com, di Jakarta, Selasa (3/5).

Arief menilai kebijakan itu tidak adil. Pasalnya, para pengusaha yang selama ini patuh membayar pajak malah tidak mendapatkan insentif apa-apa. Sementara, para pengemplang pajak yang puluhan tahun menyembunyikan hartanya mendapat insentif besar berupa pengampunan hanya dengan membayar 1,5% dari total pajak yang disembunyikannya selama puluhan tahun.

Sementara, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta aturan tax amnesty tidak mengesampingkan aturan pidana pencucian uang. Oleh sebab itu, PPATK akan meminta data para wajib pajak peserta tax amnesty ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Kementerian Keuangan.

"Kami tetap ingin dapat data dari Ditjen Pajak, siapa saja yang sesungguhnya sudah melaporkan diri minta pengampunan (tax amnesty). Dengan adanya pengampunan, paling tidak nanti kita bisa menjaga akuntabilitas pajak," ujar Kepala PPATK Muhammad Yusuf di DPR, Jakarta, Selasa (26/4).

Yusuf juga mengusulkan agar aturan tax amnesty juga menetapkan jangka waktu dana tersebut disimpan di Indonesia. Paling tidak minimal antara 1-3 tahun, sesuai masa proyek infrastruktur.

"Supaya dia tidak segera keluar, perlu ditentukan misalnya dia harus disimpan minimal 1-3 tahun, seusia proyek jembatan, lapangan terbang, jalan, sehingga dengan cara demikian kita tidak jadi tempat mencuci semata," kata Yusuf.

Selain itu, menurut Yusuf, perlu dibentuk satuan tugas khusus agar antara pemerintah dan penegak hukum bisa koordinasi. "Jangan sampai nanti orang sudah minta ampunan pajak, ditangkap polisi. Saling kontrol, saling kasih tahu, koordinasi. Jadi saat orang bawa pulang harta dari Singapura, BVI, Panama, masuk database," tutur Yusuf. (dtc)

BACA JUGA: