JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjerat Rohadi sebagai tersangka kasus korupsi. Ia diduga menerima uang suap ataupun gratifikasi yang berkaitan dengan jabatannya baik sebagai Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Utara maupun saat bertugas di Pengadilan Negeri Bekasi.

Rohadi memang bekerja di PN Jakarta Utara sejak 2001, kemudian pernah dirotasi ke PN Bekasi pada 2011 dengan posisi yang sama, yaitu panitera pengganti. Kemudian ia kembali bekerja di PN Jakarta Utara sejak 2014 hingga terjadi operasi tangkap tangan oleh petugas KPK.

Pengacara Rohadi, Hendra Heriansyah, menghormati keputusan ini. Menurutnya, ia akan menjalani segala proses hukum yang menjerat kliennya. Tetapi, Hendra meminta agar KPK tidak memberatkan kliennya dalam menjalani proses hukum itu sendiri, salah satunya terkait berkas perkara yang terpisah.

"Kami mintanya itu satu berkas, jangan dipisah seperti ini, kan hukumannya nanti berlipat. Berkas suap Saipul Jamil itu kan sudah dilimpahkan, berarti berkasnya terpisah nanti," kata Hendra kepada gresnews.com, Minggu (29/8).

Jika memang pemberkasan dilakukan secara bersama-sama, ada kemungkinan hukuman terhadap Rohadi bisa sedikit lebih ringan. Alasannya, penuntut umum akan memberi tuntutan paling tinggi dari tindak pidana yang dilakukan.

Misalnya, untuk tindak pidana pertama Rohadi dikenakan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana. Hukuman minimalnya 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta serta maksimal 20 tahun penjara atau seumur hidup dan denda Rp1 miliar.

Kemudian untuk kasus kedua Rohadi dijerat dengan pasal yang hampir sama. Misalnya, untuk tindak pidana pertama Rohadi dikenakan Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 atau Pasal 12 B UU Nomor 30 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Jika satu berkas, misalnya Rohadi terbukti bersalah dan dihukum 10 tahun penjara, maka hukuman itu yang dijalankan. Namun jika pemberkasan dilakukan terpisah, kalau dalam sidang pertama Rohadi dihukum 10 tahun penjara, dan sidang berikutnya juga dihukum 10 tahun penjara, maka Rohadi akan menjalani hukuman 20 tahun penjara dikurangi masa tahanan.

"Makanya KPK jangan memberatkan klien kami lah, kalau bisa satu berkas saja, jangan terpisah seperti itu," tutur Hendra.

TERKAIT KASUS PAPUA - KPK memang tidak merinci berapa uang suap ataupun gratifkasi yang diterima oleh Rohadi. Begitupun siapa pemberi suap ataupun gratifkasi tersebut. "Detail perkara tidak bisa disebutkan, kita fokus dulu kepada penerimanya," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha kepada wartawan di kantornya, Jumat (26/8).

Priharsa hanya menjelaskan, penerimaan Rohadi itu dilakukan terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) ketika ia menjadi panitera. Diduga Rohadi menjadi perantara dan pengurusan perkara itu dilakukan pihak lain, sebab ia tidak bertugas di MA.

Ia juga belum bisa menjelaskan perkara apa yang diurus Rohadi sehingga ia mendapatkan sejumlah imbalan yang berujung suap ataupun gratifikasi. "Demi akurasi nanti saya cek dulu," imbuhnya.

Sementara itu, Hendra juga belum mengetahui secara rinci terkait pengurusan perkara ini. Namun ia menyebut ada dugaan perkara yang dimaksud yaitu kasus yang berada di Papua beberapa waktu lalu. Tetapi ia juga tidak menjelaskan apakah itu perkara pidana, perdata, ataupun tata usaha negara.

"Saya pernah tanya katanya waktu itu ada perkara di Papua, Pak Rohadi terima Rp1,1 miliar. Kemudian waktu berkunjung hari lain saya juga sempat tanyakan itu lagi, tetapi katanya dia lupa," pungkasnya.

Hendra baru bisa mengatakan hal itu secara rinci setelah bertemu dengan Rohadi pada Senin (29/8) esok. "Senin saya baru ke sana, nanti coba saya tanyakan lagi," terang Hendra.

Selain menetapkan tersangka, KPK juga terus melakukan proses hukum diantaranya penggeledahan di beberapa lokasi baik di Indramayu maupun Jakarta. Dan dari proses penggeledahan itu ditemukan dan disita sejumlah dokumen yang diduga berkaitan dengan perkara ini.

Khusus di Jakarta, KPK menyita satu unit mobil Toyota Yaris dari apartemen Rohadi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mobil ini diduga dibeli dari hasil pengurusan perkara yang dilakukan oknum pengadilan tersebut.

Terkait mobil ini, KPK juga memanggil pihak marketing PT Astra bernama Dessi. Setelah diperiksa selama 6 jam, wanita berwajah oriental ini enggan mengungkap pemeriksaannya tersebut. "Sudah dijelaskan sama penyidik, Mas," imbuh Dessi yang terus mencoba menghindari pertanyaan wartawan.

BACA JUGA: