JAKARTA, GRESNEWS.COM – Memasuki tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada), Mahkamah Konstitusi (MK) mengusulkan agar ada revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam revisi tersebut MK ingin menambah jangka waktu penyelesaian perselisihan hasil suara pilkada.

Tak pelak lagi usulan ini menimbulkan perdebatan lantaran dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) diatur bahwa perkara perselisihan ditangani badan khusus. Sehingga peran MK pada pilkada kali ini seharusnya bersifat sementara dan tidak perlu sampai ada revisi UU MK.

Selain itu, dalam UU Pilkada juga telah diatur syarat yang lebih ketat untuk pengajuan perselisihan pilkada. Sehingga disimpulkan tidak akan terjadi ‘banjir’ pengajuan perselisihan hasil suara.

Ketua MK Arief Hidayat mengatakan MK mengusulkan sejumlah poin terhadap UU MK. Dalam revisi tersebut ia ingin agar diakomodasikan pemberian kewenangan untuk mengadili pilkada dicantumkan dalam UU MK. Sebab kewenangan MK untuk masalah pilkada tidak diberikan kewenangan dalam UUD 1945.

"Kalau mau menambahkan kewenangan tersebut maka perlu ditambahkan dalam UU MK. Setelah diberikan kewenangan secara langsung dalam UU MK, kami sudah mencoba untuk melihat UU Pilkada yang sudah ada, itu ada beberapa kesulitan teknis yang akan dilaksanakan oleh MK untuk mengadili," ujar Arief saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (27/6).

AWALNYA TUGAS MA - Ia menambahkan UU pilkada yang mengatur penyelesaian sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) awalnya dikonstruksikan penyelesaiannya di Mahkamah Agung (MA). Tapi kewenangan tersebut akhirnya diberikan ke MK selama belum dibentuk peradilan yang khusus untuk sengketa hasil pilkada. Sehingga yang menjadi masalah MK adalah jangka waktu penyelesaiannya.

Dalam UU Pilkada yang mau diserahkan ke MA, diberikan waktu selama 45 hari. Menurutnya, jika waktu 45 hari diserahkan ke MA maka bisa dikatakan cukup karena MA menunjuk sejumlah pengadilan tinggi di berbagai tempat. Tapi kalau MK hanya ada satu, sehingga waktu 45 hari dianggapnya kurang. Atas dasar itu, ia ingin jangka waktunya ditambah menjadi 60 hari.

Arief mengatakan waktu penyelesaian sengketa pilkada pada gelombang satu juga diperkirakan akan bertepatan dengan natal dan tahun baru. Sehingga waktunya akan terkurangi dengan momen dua hari tersebut. Sehingga hari efektif penyelesaian sengketanya tidak akan mencapai 45 hari.

Lalu dalam UU Pilkada juga disebutkan bahwa hari untuk menangani perkara sengketa pilkada adalah hari kalender. Menurutnya dalam sistem peradilan manapun, harinya adalah hari kerja dan bukan hari kalender. Sehingga MK meminta agar poin tersebut juga ikut diubah menjadi hari kerja.

"Kalau hari kerja, untuk libur kan tidak bekerja. Berarti tidak dihitung. Kalau hari kalender kan natal juga dihitung, tahun baru juga dihitung. Padahal sebenarnya libur kan. Lalu yang ditentukan UU Pilkada sebagai hari kalender juga tidak sesuai UU MK. UU MK hari kerja. Itu saja," lanjut Arief.

Ia mengatakan oleh DPR usulan MK sudah diakomodasikan. Sehingga usulan tersebut bisa dari DPR dan pemerintah. Ia menilai kalau usulan MK tersebut rasional dan logis maka ia yakin para pembuat UU akan sangat menyetujui usulan MK tersebut.  

DISARANKAN DARI PEMERINTAH - Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan hal serupa soal usulan revisi UU MK khususnya masalah penanganan hari sengketa pilkada yang ingin ditambah. Ia melanjutkan revisi UU harus diajukan dua pihak yaitu pemerintah atau DPR.

Sebab revisi UU MK dianggap bersifat teknis, ia mengharapkan agar MK juga beraudiensi dengan pemerintah. Sehingga pemerintah bisa menjadi pihak yang mengajukan usulan atas revisi UU MK tersebut. Menurutnya, pembahasan revisi ini akan lebih cepat masuk dari pemerintah.

"Karena harus melalui Badan Legislasi untuk dimasukkan ke dalam program legislasi nasional 2015. Setelah itu baru dibahas seperti biasa. Adapun kecepatan waktunya tergantung pembahasan. Bisa juga kalau sangat intens, bisa cepat. Sehingga penggunaannya untuk pilkada 9 Desember 2015 tidak terganggu lagi," ujar Agus pada gresnews.com dalam kesempatan terpisah, Sabtu (27/6).

Senada dengan Agus, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan MK menilai kalaU 269 daerah mengadakan pilkada secara serentak, maka jangka waktu penyelesaiannya hanya 45 hari kalender tidak rasional. Sehingga wajar saja MK meminta direvisi agar tidak terbebani sehingga jangan sampai karena beban tersebut MK melanggar UU. Untuk itu, saat ini, DPR hanya tinggal menunggu pemerintah soal usulan revisi UU MK.

"Akibatnya harus revisi UU MK. Terus harus revisi pula UU Pilkada. Kalau tidak mau direvisi, kami tidak membuka dialog, kami serba sulit," ujar Rambe saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (27/6).

Menurutnya penyelesaian perselisihan dan konsistensi dalam melaksanakan tahapan pilkada adalah bukti demokratisnya pilkada. Dalam pilkada mendatang memang ada masalah yang berpotensi menimbulkan perselisihan. Misalnya yang seringkali terjadi adalah pemilih yang jumlahnya lebih besar dari daftar pemilih tetap (DPT). Sementara kertas suara hanya boleh diperbanyak 2,5 persen dari DPT. Persoalan ini menurutnya akan menjadi potensi perkara perselisihan. Untuk itu, komisi II mendukung usulan MK agar persoalan perselisihan pilkada bisa tertangani.

TAK SEMUA MENDUKUNG - Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw mengatakan kewenangan MK untuk menangani sengketa perselisihan pilkada memang hanya ada di UU Pilkada dan tidak tercantum dalam UU MK. Sebab ketika aturan tersebut dirancang, menurutnya tidak dimaksudkan agar MK menangani sengketa pilkada secara permanen.

Peran MK dalam hal tersebut hanya sementara sambil menyiapkan lembaga peradilan yang khusus. "Jadi sebaiknya tidak perlu masuk pada UU MK. Karena tugas utama MK adalah menguji apakah UU sesuai dengan konstitusi. Jadi kalau diberikan kewenangan MK untuk menangani perselisihan pilkada secara permanen, tidak cocok dan tidak tepat. Karena itu bukan kewenangannya diberikan bukan pada UU MK tapi pada UU yang lain. Jadi kewenangan yang sekarang ada sudah cukup," ujar Jeirry kepada gresnews.com pada hari yang sama.

Selanjutnya, soal batas waktu, menurutnya kalau jangka waktu penanganan perselisihan terlalu lama maka bisa mengganggu tahapan pilkada. Misalnya penetapan pasangan terpilih tentunya harus menunggu hasil penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Sehingga ketika sengketa terlalu lama, maka penetapannya akan lama dan berakibat pelantikan kepala daerah molor, sebaiknya tetap sesuai aturan yang ada saat ini.

Adapun ketika MK merasa ‘kedodoran’ menanganinya maka yang perlu dilakukan adalah menambah sumber daya manusianya (SDM). Sehingga bisa memenuhi waktu yang sudah diatur. Terkait penambahan SDM, bisa ditunjuk orang-orang yang memiliki kapasitas dan keahlian untuk membantu hakim konstitusi.

Para hakim konstitusi tidak terlalu disibukkan dengan substansi perkara. Hakim konstitusi hanya tinggal membaca kesimpulan dan memutuskan atau menetapkan perselisihan tersebut. Lalu SDM tersebut juga bisa dipekerjakan dengan sistem kontrak lantaran peran MK hanya bersifat sementara.  

Lalu menurutnya, kalau jangka waktu perselisihan diperpanjang maka juga berpotensi akan memberi ruang lebih besar pada pihak yang bersengketa untuk ‘bermain’ atau negosiasi politik. Ia menilai selama ini, MK masih bisa mencapai target untuk menangani persoalan penyelesaian perselisihan pemilu.

"Saya tidak melihat usulan MK sebagai sesuatu yang substansial untuk diubah dan tidak ada urgensinya," katanya.

PENGAJUAN SENGKETA DIBATASI - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan Pasal 158 ayat (1) huruf a UU Pilkada. Pasal tersebut berisi aturan mengenai ketentuan syarat bagi pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dalam pemilihan gubernur yaitu selisih suara paling besar 2 persen untuk provinsi yang jumlah penduduknya sampai dengan dua juta jiwa.

Lalu pada Pasal 158 huruf d kalau jumlah penduduknya lebih dari 12 juta jiwa maka pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum provinsi.

"Jadi ada prasyarat juga untuk mengajukan sengketa. Dengan prasyarat ini saya yakin tidak akan banyak sengketa yang masuk ke MK. Karena jarak selisih suaranya sangat kecil sekali. Jadi orang dibatasi untuk mengajukan sengketa. Tapi aturan ini memang sedang diuji di MK, kalau syarat ini dibatalkan bisa jadi MK akan banjir perkara. Saya lihat memang seharusnya dibatalkan karena orang tidak boleh dihalang-halangi mencari keadilan," ujar Titi pada gresnews.com.

Menurutnya, dengan adanya Pasal 158 UU Pilkada akan ada pengurangan jumlah pengajuan perselisihan pilkada secara signifikan. Tapi kalau pasal tersebut dibatalkan MK, maka perkara akan sangat banyak masuk ke MK. Berdasarkan simulasi yang dibuat MK untuk pilkada 2015, kalau semua perkara masuk tanpa batasan, maka MK hanya memiliki waktu setengah jam untuk mengadili perkara. Sehingga wajar kalau MK meminta perpanjangan waktu.

Terkait penanganan perselisihan pilkada, ia tetap mendukung penyelesaiannya dilakukan oleh MK. Dalam Pasal 157 UU Pilkada memang disebutkan perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Menurutnya, badan peradilan khusus tersebut bisa diberikan mandat pada MK. penunjukkan pada MK lebih baik daripada harus bongkar pasang menyiapkan sesuatu yang belum pasti.

Sebab dari sisi institusi dan karakter peradilan, MK paling cocok dan paling siap untuk menyelesaikan hasil pemilihan. Sehingga perbaikan soal jangka waktu, transparansi, hukum acara bisa diatur lebih lanjut. Menurutnya berkaca pada pilpres, MK dalam menangani perselisihan pemilu memiliki aturan main yang jelas. Lalu MK juga memiliki transparansi proses yang membantu munculnya kepercayaan publik yang kuat.

"Selama ini kami bahkan mendapatkan akses streaming sidang perselisihan hasil di MK. Jadi publik memahami prosesnya dan apa situasi yang sesungguhnya terjadi. Sehingga bisa meminimalisir konflik karena kita percaya badan peradilan kita sudah bekerja sesuai apa yang diperintah UU dengan tidak memihak, mandiri, dan professional," lanjut Titi.

BACA JUGA: