JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Pertembakauan kembali mengundang polemik. Pasalnya Dewan Perwakilan Rakyat secara diam-diam membahas percepatan RUU tersebut pada Jumat-Minggu (24-26 Juni) lalu. Pembahasan pun tidak dilakukan di gedung DPR melainkan di Hotel Sultan, Jakarta.

Inisiator RUU Pertembakauan Taufiqulhadi mengatakan, agenda pembahasan RUU Pertembakauan adalah melakukan konsinyering atau pendalaman materi pasal-pasal dalam RUU tersebut. Dia sendiri membantah DPR sengaja melakukan pembahasan secara diam-diam. Soal pembahasan di hotel, politisi Nasdem itu berdalih, karena para anggota dewan merasa kelelahan.

Hal ini semakin mempertebal kecurigaan sebagian kalangan masyarakat yang curiga ada kepentingan industri rokok di balik pembahasan RUU Pertembakauan ini. Pasalnya, proses pembahasan RUU ini sendiri sejak awal tidak melalui prosedur semestinya. RUU ini lolos prolegnas lewat jalur cepat, tanpa naskah akademik.

Tak heran jika masyarakat anti tembakau menduga ada bau korupsi dalam pembahasan RUU ini. Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho bahkan menyebut RUU Pertembakauan sebagai "RUU Mata Air". Istilah itu mengacu pada rancangan undang-undang yang berpotensi menghasilkan uang bagi anggota DPR. Lawan katanya adalah "RUU Air Mata" alias kering dukungan pendanaan.

Menurutnya, rancangan beleid tersebut bisa disebut sebagai "RUU Mata Air" karena punya potensi untuk memunculkan tindak pidana korupsi legislasi dan praktik suap. "Ada beberaoa indikasi yang menunjukkan hal itu," kata Emerson, Minggu (26/6).

Pertama adalah soal pembahasan yang dilakukan di hotel dan terkesan diam-diam. "Siapa yang membayari biaya hotelnya?" kata Emerson.

Kemudian yang kedua, adalah adanya upaya percepatan untuk segera menyelesaikan pembahasan meskipun terdapat beberapa pihak yang mendukung dan menolak. Ketiga, pembahasan RUU ini membuka peluang studi banding dimana anggota dewan bisa mendapatkan "uang saku" dari pihak tertentu.

Pembahasan yang dinilai diam-diam dan dilakukan di hotel berbintang itu sendiri melanggar tata tertib DPR. Pasal 226 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR mengatur tentang waktu dan tempat rapat-rapat DPR. Dalam Ayat (1) pasal tersebut dinyatakan, waktu rapat DPR adalah pada setiap hari kerja, yaitu Senin hingga Jumat.

Ayat (2) mengatur, kemungkinkan perubahan waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan. Namun di Ayat (3) ditegaskan, semua jenis rapat harus dilakukan di Gedung DPR kecuali ditentukan lain dan atas persetujuan pimpinan DPR.

Karena itu, kata Emerson, sangat mungkin ada praktik korupsi legislasi dalam perancangan UU Pertembakauan ini. Untuk memastikan tidak adanya korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta memantau ketat proses pembahasan RUU Pertembakauan.

"KPK harus memasang radar di proses pembahasan RUU Pertembakauan. Dimensi suap menyuap sangat mungkin terjadi, jadi itu yang menjadi catatan kami," katanya.

UNTUNGKAN INDUSTRI ROKOK - Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Indonesia Ima Prasodjo mengatakan, jika RUU ini jadi disahkan, maka akan menguntungkan industri rokok. Industri rokok, kata Imam, bisa berlindung di balik beleid ini.

Jika itu terjadi, maka akan banyak ironi yang bisa terjadi di negeri ini. "Ironis sponsor olahraga rokok, beasiswa yang cerdaskan kehidupan bangsa tapi sponsornya industri rokok, ini upaya-upaya agar semua anak-cucu kita jadi korban," kata Imam, Minggu (26/6).

Dia menilai ada sesuatu yang koruptif di balik pembahasan RUU ini. "Mereka mempertahankan agar rokok bisa bebas, jadi sekarang kelihatan bahwa ini ada sesuatu yang berbau koruptif," katanya.

Untuk itu, Imam menegaskan, akan melaporkan hal ini ke KPK. Laporan akan diajukan pekan depan, sekaligus untuk menguji anggota DPR mana yang terlihat membela pembahasan RUU ini. "Nanti radarnya siapa anggota DPR yang menjadi defender dilaporkan saja. Saya khawatir orang itu jadi skandal yang tidak melindungi segenap bangsa Indonesia," katanya.

Hal senada juga disampaikan Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Republik Indonesia Julius Ibrani. Dia menilai, percepatan pembahasan RUU Pertembakauan bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya, masih banyak UU lain yang sudah mengatur hal-hal yang diatur dalam RUU Pertembakauan mulai dari aturan produksi, distribusi hingga soal cukai.

Dia juga menilai alasan DPR bahwa RUU ini untuk melindungi petani tembakau tidak beralasan. Sebab, aturan soal petani dalam Pasal 3 RUU tersebut pada hakikatnya sudah diatur dalam UU lain. "Perlindungan bagi petani sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani," ujarnya.

RUU ini menurut Julius juga sarat kepentingan industri rokok karena yang tadinya mengedapankan masalah perlindungan hak asasi manusia dan kesehatan, jadi menyimpang untuk tujuan legalisasi industri tembakau. Dia menilai RUU ini mengikuti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industi Tembakau. "Permen tersebut mengatur bagaimana produksi ditingkatkan, cukai direndahkan, dan iklan rokok yang dibebaskan," ujarnya.

Karena itu, dia menilai, percepatan pembahasan RUU pertembakauan, memiliki potensi korupsi yang tinggi. "Ditemukan juga pelanggaran prosedur karena pembahasan yang dilakukan dengan cara tidak terbuka," ujarnya.

Selain itu, proses pembahasan RUU ini juga melanggar Tatib DPR. Dalam Pasal 121 Ayat (1) Tata Tertib disebutkan, jika ada RUU yang masuk dalam daftar prioritas, maka pelaksanaan harmonisasi dan pemantapan dilakukan dalam dua kali masa sidang atau jangka waktu satu tahun. Namun, RUU Pertembakauan yang sudah dua tahun mangkrak tanpa ada pembahasan yang jelas ini tiba-tiba muncul kembali menjelang libur. "Ini mencurigakan," kata Julius.

KECURIGAAN TAK BERALASAN - Pendapat berbeda disampaikan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) Zamhuri. Dia mengatakan, terkait persoalan pertembakauan, justru sangat menarik arahan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada menterinya belum lama ini.

Inti pesannya, kata Zamhuri, agar kepentingan nasional lebih dikedepankan. "Presiden menekankan kepada para menterinya dalam menyikapi FCTC, harus mengedepankan kepentingan nasional. Terlebih, sektor pertembakauan merupakan salah satu sumber pendapatan nasional strategis, yang memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara dan menopang perekonomian rakyat," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (27/6).

Dia kembali menegaskan besarnya kontribusi industri rokok bagi pemasukan negara. Tahun 2015 saja, sumbangan dari cukai mencapai Rp139,1 triliun. "Itu belum termasuk pajak dan retribusi lainnya," tegasnya.

Selain itu, terang Zamhuri, Presiden Jokowi mengingatkan pentingnya mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) industri pertembakauan di Indonesia melibatkan tidak kurang dari 5,98 juta pekerja, terdiri atas 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, dan 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan.

Dari 1,7 juta pekerja, sekitar 528.000 petani adalah tembakau, sekitar 1 juta petani cengkih dan sekitar 115.000 pekerja pendukung industri pengeringan dan pengolahan tembakau. "Besarnya jumlah rakyat yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor tembakau bisa lebih besar jika kita melihat dampak multiplier effect dari keberadaan produk-produk tembakau. Seperti usaha di bidang kertas, percetakan, advertising, jasa transportasi, hingga bergeraknya pasar tradisional dan modern dan lain sebagainya," ungkapnya.

Yang lebih menarik lagi, kata dia, Presiden tidak ingin sekadar ikut-ikutan tren negara-negara lain. Sikap ini merupakan kearifan dari seorang Presiden, yang tentunya berangkat dari pemahaman akan kondisi obyektif yang ada di tanah air.

"Pernyataan Presiden ini sejalan dengan RUU Pertembakauan yang saat ini dibahas DPR. Jika ada yang menolak RUU pertembakauan, berarti setuju agar masalah kedaulatan bangsa dalam mengatur pertembakauan diatur oleh bangsa lain melalui regulasi di tingkat global," tegasnya.

Zamhuri menilai, dengan menolak RUU pertembakaun, berarti menolak adanya kepentingan nasional yang menyangkut jutaan hajat hidup orang banyak diatur dengan UU. "Keberadaan UU ini merupakan hasil kompromi dari semua komponen masyarakat, tidak bisa satu kelompok memaksakan kepentingannya agar suatu UU menguntungkan mereka tanpa melihat kepentingan kelompok masyarakat lain,: pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: