JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika ditersangka dianggap tidak diskriminatif. Sebab ketentuan ini dianggap bisa mencegah calon pimpinan KPK yang memiliki ´cela´ untuk tidak perlu melamar sebagai pimpinan KPK.  

Pandangan ini disampaikan ahli pihak pemerintah, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita,  dalam sidang uji materi Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Sebelumnya pemohon dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi menilai Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang berisi ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK saat dijadikan tersangka,  bisa dijadikan alat untuk melemahkan KPK. Sebab menersangkakan orang sangat mudah hanya dengan laporan polisi dan satu alat bukti.

Namun Romli mengatakan,  KPK sebagai lembaga independen memiliki wewenang yang sangat luas jika dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan. Sebab dengan alasan tertentu KPK bisa mengambil alih perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, kewenangan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan tanpa izin pengadilan.

"Merujuk pada wewenang yang sangat luas, KPK tentu perlu sosok pimpinan yang amanah, bertanggungjawab, dan memiliki kredibilitas sebagai negarawan," ujar Romli di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (27/5).

Romli mengatakan pada awal penyusunan draf RUU KPK, pasal yang digugat tidak sedikit pun dinilai melanggar HAM pimpinan KPK atau ada mendapat keberatan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab ketentuan ini menjadi rambu peringatan bagi pimpinan KPK bahwa ada konsekuensi hukum yang akan dihadapi ketika ditetapkan sebagai tersangka sebagai akibat sebelum, selama atau setelah menjabat sebagai pimpinan KPK.

Lalu sesuai dengan prinsip keadilan distributif, setiap orang berhak dan bertanggungjawab sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat dan tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Sehingga wewenang dan tanggungjawab pimpinan KPK termasuk sanksi hukumnya memang tidak bisa disamakan dengan Polri dan kejaksaan.

Adapun asas persamaan dari pernyataan tentang hak asasi manusia pada 1948 juga disebutkan asas persamaan hanya terkait dengan ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, asal kebangsaan, sosial, dan status kelahiran. Sehingga penetapan tersangka pimpinan KPK ketika ditetapkan menjadi tersangka tidak bertentangan dengan prinsip asas persamaan di atas.

Selanjutnya, adanya anggapan dimungkinkannya terjadi kriminalisasi lantaran menersangkakan seseorang hanya butuh 1 bukti dan laporan polisi menurutnya salah kaprah. Sebab sepanjang bukti permulaan cukup berdasarkan KUHAP, siapapun bisa ditempatkan sebagai tersangka. Kecuali memang terbukti yang bersangkutan tidak bersalah sesuai dengan sidang pengadilan yang terbuka.

Menanggapi keterangan ahli, Hakim anggota Aswanto mengatakan berdasarkan keterangan ahli pimpinan KPK dianggap sebagai manusia setengah dewa karena diberi kewenangan yang luas. Sehingga harus dijaga integritasnya. Tapi dalam petitum pemohon, disebutkan  Pasal 32 ayat (2) memang bertentangan dengan pasal-pasal yang dimaksud tadi yaitu Pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum, Pasal 8C ayat (2) setiap orang berhak memperjuangkan dirinya secara kolektif, Pasal 28D ayat (1) tiap orang berhak atas jaminan dan hukum adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.

"Yang mana menurut ahli pasal di atas bertentangan dengan Pasal 32 ayat (2) UU KPK," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama.

Lalu Hakim anggota Wahiduddin Adams mempertanyakan dalam penyusunan UU KPK khususnya pasal 32 ayat 2, sejauh mana diskusi soal jenis kejahatan dalam tindak pidana dalam pasal tersebut. "Lalu apakah dibahas soal temponya apakah tindak pidana yang dimaksud sebelum, selama, atau sesudah menjabat sebagai pimpinan KPK?" ujar Wahiduddin.

Menjawab pertanyaan hakim, Romli mengatakan ketika ada kedudukan yang luar biasa, maka tanggungjawab yang diemban juga menjadi luar biasa. Sehingga pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tidak sama mekanismenya dengan institusi lainnya dianggap tidak berlebihan.

Menurutnya, dengan adanya aturan tersebut, seseorang yang ingin melamar sebagai pimpinan KPK bisa mempertimbangkan pasal tersebut terhadap dirinya. Ia menilai kalau memang seseorang memiliki sejarah dalam hidupnya terkait dengan pelanggaran pidana maka lebih baik tidak melamar sebagai pimpinan KPK.

"Ini masalah integritas, jadi bukan hak semata-semata," lanjutnya.

Ia melanjutkan dalam pembahasan RUU KPK, para pembuat UU tidak sampai pada diskusi soal jenis tindak pidana. Sehingga semua tindak pidana dianggap tidak boleh dilakukan pimpinan KPK tanpa ada kecuali. Begitupun dengan rentang waktunya. Sebab saat itu yang dipikirkan bagaimana pimpinan KPK bisa menjadi panutan bagi aparat penegak hukum lainnya.

BACA JUGA: