JAKARTA, GRESNEWS.COM - Buntut kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri, sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dua lembaga tersebut diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Jika sebelumnya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diajukan uji materi. Kini giliran Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mengajukan uji materi atas Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Ketua Umum FKHK Victor Santoso Tandiasa selaku salah satu pemohon mengatakan ingin agar Pasal 32 ayat (2) UU KPK dibatalkan. Dalam pasal tersebut disebutkan pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana
diberhentikan sementara dari jabatannya. FKHK menghendaki pasal tersebut dibatalkan karena mengacu pada Pasal 32 ayat (1) yang telah lebih dulu dihapus oleh MK melalui putusan Nomor 133/PUU-VII/2009.

"Dalam putusan ini MK menyatakan pemberhentian tetap terhadap pimpinan KPK yang sudah dinyatakan sebagai terdakwa harus mendapatkan putusan tetap dari pengadilan," ujar Victor dalam sidang perdana UU KPK di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/2).

Menurutnya, mengacu Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan seseorang sebagai tersangka sangat mudah dengan surat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah. Lalu pada
Pasal 17 KUHAP disebutkan perintah penangkapan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sementara KUHAP tidak mengatur lebih detail soal definisi bukti permulaan yang cukup.

Selanjutnya, pada pasal 32 UU KPK tidak diatur dan dibatasi terhadap kasus apa seorang pimpinan KPK bisa diberhentikan sementara. Melihat celah hukum UU KPK dan mudahnya polisi mentersangkakan seseorang menurutnya akan membuat pimpinan KPK mudah diberhentikan sementara karena kasus ´kacangan´.

Seperti halnya kasus dugaan pemalsuan dokumen yang dialami Ketua KPK non aktif Abraham Samad. Tapi karena dijadikan tersangka akhirnya memenuhi unsur untuk diberhentikan sementara.  Menurutnya, kalau semua pimpinan KPK dijadikan tersangka dan diberhentikan sementara maka memungkinkan ada pimpinan pengganti. Pimpinan pengganti ini tidak melalui uji kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga ia khawatir penggantian tersebut merupakan proses pengamanan untuk ´mengamankan´ kasus-kasus tertentu.

Ia menilai Indonesia menganut prinsip equality before the law. Sehingga kalau pimpinan KPK menjadi tersangka atau terdakwa maka pasti akan mengikuti proses hukum yang menjeratnya dengan taat. Hanya saja
menurutnya jangan sampai proses hukum ini menghambat pimpinan KPK untuk bekerja.

Victor mencontohkan dalam kasus Budi Gunawan, penetapannya sebagai tersangka korupsi telah dicabut oleh putusan praperadilan. Kalau pimpinan KPK masih menjabat, maka kasus ini masih bisa diproses dengan
mengeluarkan surat perintah penyidikan baru. Tapi karena terjadi pergantian, kasus ini menjadi tidak ditangani sama sekali.

Ia membandingkan UU KPK ini dengan UU Polri dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Menurutnya dalam UU Kejaksaan, Jaksa Agung juga dipilih secara politik melalui DPR sama dengan pemilihan pimpinan Polri dan KPK.Pimpinan Kejaksaan dan Polri menurutnya tidak diperlakukan sama seperti pimpinan KPK. Menurutnya UU Polri dan Kejaksaan tidak mengatur soal pemberhentian sementara jika pimpinan Polri dan Kejaksaan
ditetapkan sebagai tersangka.

Terkait hal ini, Hakim Konstitusi Aswanto memberikan masukan. Menurutnya yang diuraikan pada permohonan pemohon lebih banyak membandingkan UU KPK dengan UU Polri dan UU Kejaksaan. Padahal seharusnya pemohon menjabarkan lebih detail soal apakah pemohon mendalilkan pimpinan KPK tetap bisa bekerja selama menjadi tersangka atau sampai ada kekuatan hukum tetap. "Tolong ini diperjelas," ujar hakim Aswanto.

BACA JUGA: