JAKARTA, GRESNEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak kesulitan dalam menangani kasus korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) yang telah menjerat mantan Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost (RJ) Lino. Penanganan kasus ini tampak berjalan sangat lamban. Penetapan RJ Lino sebagai tersangka sudah dilakukan sejak Desember 2015 lalu.

Namun berkas Lino tak juga rampung. Bahkan pemeriksaan saksi oleh KPK dalam perkara ini terakhir dilakukan pada Agustus 2016. Berarti sudah lewat setahun KPK seolah "menggantung" nasib Lino. Setelah dipertanyakan sejumlah wartawan mengenai kasus ini, barulah lembaga antirasuah kembali melakukan pemeriksaan terhadap para saksi pada Rabu, (22/2) lalu.

Para saksi yang diperiksa pun bukan berasal dari pihak Pelindo II ataupun yang berkaitan langsung dengan pengadaan. KPK memeriksa pegawai pada BPKP atau pegawai Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Tahun 2011, Suradji dan mantan Deputi Akuntan Negara BPKP, Gatot Damasto. "Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka RJL (RJ Lino)," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Rabu (22/2).

Selain Gatot, KPK memanggil pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suradji. Dia juga dipanggil sebagai saksi untuk RJ Lino dalam kasus tersebut.

Terkait pemanggilan saksi-saksi ini, penasehat hukum RJ Lino, Maqdir Ismail mempertanyakan sikap KPK yang lamban dalam mengusut kasus kliennya. Menurut Maqdir, apa yang dilakukan lembaga pimpinan Agus Rahardjo cs seakan menggantung nasib kliennya. Sebab dengan menyandang status tersangka, maka secara otomatis ruang gerak Lino sangat terbatas.

"Pastilah ruang gerak Pak Lino menjadi terbatas. Bahkan untuk ke luar negeri kan sempat dilarang. Kalau dalam negeri tidak ada masalah," kata Maqdir saat dihubungi gresnews.com, Minggu (26/2).

Selain itu, apa yang dilakukan KPK juga bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam suatu penanganan perkara. "Ini sudah tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang dilakukan secara cepat dan biaya murah," tegas Maqdir.

Meskipun begitu, Maqdir enggan berspekulasi mengenai keseriusan KPK dalam menangani kasus ini. Walaupun perkara yang ditangani cukup lamban, menurut Maqdir hal itu hanyalah skala prioritas dalam penanganan kasus semata.

"Maaf, saya tidak tahu tingkat keseriusan KPK dalam penanganan perkara ini. Kalau mereka mulai periksa lagi berarti mereka serius. Mungkin soal skala prioritas saja dan sesuai kebutuhan, sehingga perkara ini cukup lama terhenti," ujar Maqdir.

Sebagai informasi, KPK menjerat Lino sebagai tersangka pada 18 Desember 2015 atas dugaan korupsi pengadaan 3 QCC pada 2010. Lino dianggap menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi.

KPK pun sempat memeriksa RJ Lino pada 5 Februari 2016. Lino dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 KUHP.

AKUI LAMBAN - Berdasarkan catatan sebelum pemeriksaan kemarin, terakhir KPK memeriksa Senior Manager Peralatan PT Pelindo II yang juga Pejabat Direktur PT Jasa Peralatan Pelabuhan Indonesia, Haryadi Budi Kuncoro, pada 22 Agustus 2016 lalu. Haryadi adalah adik dari mantan pimpinan KPK Jilid III Bambang Widjojanto. Status Haryadi sendiri adalah terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan 10 unit mobile crane di Mabes Polri.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengakui hal ini. Menurut Febri, tidak mudah menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan yang bisa merugikan diri sendiri, ataupu korporasi dan juga berakibat adanya kerugian keuangan negara yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.

‎"Kalau dibandingkan dengan dalam perkara lain, banyak saksi yang kami periksa dan memang (perkara ini) kami butuh waktu yang cukup lama," kata Febri di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu 22 Februari 2017.

Selain itu, kasus ini sendiri merupakan lintas negara karena pengadaan QCC berasal dari China. Dan saat ini, KPK sendiri masih terkendala dengan penghitungan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dalam kasus yang telah terjadi sejak Desember 2015 lalu. "Jadi sedang menunggu juga hasil penghitungan kerugian negaranya," tutur Febri.

Dalam kasus RJ Lino ini, penyidik memakai hasil hitungan BPKP guna mengetahui indikasi kerugian negaranya. Nah, dalam uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, majelis mengabulkan gugatan jika dalam kasus korupsi yang berkaitan dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor harus ada kerugian negara terlebih dahulu.

KPK masih menunggu hasil penghitungan kerugian keuangan negara dalam dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC) di PT Pelindo II dengan tersangka RJ Lino. "Ya, kita harus tunggu penghitungan kerugian negaranya dulu," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan kepada wartawan, Rabu (22/2).

Hal yang sama disampaikan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah. Dia menyebut KPK masih menunggu penghitungan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari penerapan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus ini. "Karena pasal yang digunakan adalah pasal 2 dan 3, ada kebutuhan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini," ujar Febri secara terpisah.

Selain itu, Febri menyebut adanya bukti terkait perkara yang berada di luar negeri. Hal ini juga menambah waktu untuk penyidikan kasus yang melibatkan RJ Lino ini.

"Kami masih membutuhkan pendalaman bukti dan informasi, di mana bukti itu tidak hanya berada di Indonesia, tapi ada juga di negara lain. Ada hukum internasional yang perlu kami ikuti dan itu butuh waktu," tuturnya.

Dalam kasus ini, KPK sudah memeriksa 53 saksi terkait kasus eks Dirut PT Pelindo II tersebut sejak 4 Januari 2016. Lino ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Desember 2015 atas dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC pada tahun 2010. Kerugian negara dalam kasus ini disebut mencapai Rp60 miliar. 

BACA JUGA: