JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia terus terbelenggu dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satunya kasus dugaan pelanggaran HAM peristiwa tahun 1965. Pemerintah didesak sigap untuk menyelesaikan utang masa lalu, tentang pelanggaran HAM yang tak kunjung terselesaikan.

Apalagi dengan munculnya putusan dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) di Belanda yang menyatakan telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara pasca-peristiwa 1 Oktober 1965. Keputusan ini pun memunculkan polemik baru.

Majelis hakim pengadilan rakyat ini memutus bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya. Pertama, pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban. Kedua, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru.

Selain itu, terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual atas ribuan orang. Majelis hakim kemudian merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia meminta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.

Pemerintah sendiri merespon dingin rekomendasi International People’s Tribunal itu. Pemerintah mengaku tak terkait dengan International People’s Tribunal, dan memiliki cara sendiri menuntaskan kasus HAM berat masa lalu tersebut.

"Kita tidak terikat dengan masalah itu. Kita punya cara menyelesaikan urusan di negara sendiri," kata Jaksa Agung HM Prasetyo, Jumat (22/7).

Saat ini Pemerintah melalui Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tengah berupaya menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah menawarkan cara non yudisial. Cara itu untuk mengatasi kebuntuan yang selama ini terjadi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Hanya saja kasus-kasus HAM berat masa lalu yang akan diselesaikan dengan cara non yudisial itu belum diterima keluarga korban. Mereka justru ingin kasus 65 tetap dibawa ke pengadilan HAM.

Beberapa pihak justru menginginkan proses ini dibawa ke persidangan. "Saya kembalikan kepada mereka, bisa nggak mereka bantu mencari buktinya. Selama 50 tahun yang lalu, bayangkan pelaku mungkin nggak ada lagi. Fakta buktinya sampai ke pengadilan kan harus terpenuhi semua," kata Prasetyo.

Namun, Prasetyo menyebut, dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan Komnas HAM telah ada kesamaan pendapat. Di antaranya kasus seperti peristiwa 1965 akan diselesaikan secara non yudisial.

CARA TERSENDIRI - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mohamad Rum mengatakan, dalam menyelesaikan kasus HAM, Indonesia telah memiliki payung hukum sendiri. Yakni sesuai dengan UU Pengadilan HAM dan UU 39 tahun 1999 tentang HAM.

Dalam UU itu disebutkan penyelidikan dilakukan Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Selama penyelidikannya tak memenuhi unsur dan tak cukup bukti maka tak mungkin akan dinaikkan ke penyidikan.

"Hukum materialnya sudah ada sendiri. Proses HAM itu penyelidikan dan penyidikan itu sudah ada hukum acaranya," terang Rum.

Wakil Ketua Asean Parliamentarians for Human Rights, Eva Kusuma Sundari mengatakan, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk menuntaskan kasus 1965 dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), bukan melalui penyelesaian hukum.

Sebab, kata dia, pihak yang menjadi korban selama ini tak hanya anggota dan keluarga PKI, melainkan juga militer. Setidaknya, ada tiga tujuan dalam pembentukan KKR tersebut. Pertama, mencari kebenaran dengan memberikan tempat dan waktu kepada korban dan keturunan mereka, serta sejumlah pelaku pembunuhan, untuk memberikan keterangan.

Kedua, memberikan perlindungan kepada pihak yang ingin memberikan keterangan atas kemungkinan terjadinya intimidasi dan diskriminasi. Ketiga, merestorasi hak pihak-pihak yang selama ini terdiskriminasi atas peristiwa tersebut. "Presiden Jokowi akan melakukan hal yang sangat berguna buat masa depan bangsa Indonesia dengan membentuk komisi kebenaran," katanya.

Eva menambahkan, dengan dibentuknya KKR maka akan membuka peluang bagi terbukanya forum kesaksian di sejumlah wilayah di tanah Air. Keterangan yang diberikan oleh para pihak itu nantinya akan dicatat dan dipublikasikan baik melalui media cetak seperti buku, serta media elektronik seperti web.

"Saatnya kita jadi bangsa yang dewasa, mengakui kesalahan masa lalu agar kita bisa melakukan lompatan maju," kata Eva dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/7).

PEMBENTUKAN PENGADILAN RAKYAT INTERNASIONAL - Seperti diketahui sekelompok penggiat HAM tanah air menggagas adanya pengadilan HAM sejak 2012 lalu. Gagasan itu didorong adanya kondisi dimana Komnas HAM telah melaporkan hasil penyelidikan atas dugaan pelanggan HAM tahun 1965 ke Kejaksaan Agung. Namun hingga saat itu Kejaksaan Agung tak pernah menindaklanjutinya  dengan  penyidikan, dengan alasan dokumen yang ada masih kurang lengkap.

Dari serangkaian diskusi tentang penanganan HAM berat masa lalu, serta untuk mengakhiri impunitas pelaku kejahatan HAM, terutama pelanggaran HAM pasca 1 Oktober 1965. Serta mencari solusi atas
kegagalan pemerintah mencari penyelesaian  nasional atas kejahatan-kejahatan tersebut dan mengakhiri stigma yang mengakar pada orang-orang yang dituding simpatisan PKI. Mereka berpendapat perlu ada tekanan tekanan internasional. Tercetuslah ide menggelar Tribunal Rakyat Internasional atau IPT.

Diawali dengan pembentukan tim IPT 1965. Hingga akhirnya Pada 10-13 November 2015 sidang IPT 1965 pertama digelar di Nieuwe Kerk di Den Haag. Bertindak sebagai koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana dan Jaksa Ketua Todung Mulya Lubis membaca pengantar dakwaan.

Keputusan final IPT 1965 dibacakan pada 2016 lalu. Salah satu rekomendasinya adalah  pemerintah Indonesia diminta untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan pada 1965 yang dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida.

Putusan ini juga dibacakan secara serentak di berbagai kota dunia. Antara lain, Amsterdam (Belanda), Phnom Penh (Vietnam), Melbourne (Australia), Stockholm (Swedia), dan Frankfurt (Jerman).

BACA JUGA: