JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis  menegaskan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan rekomendasi lembaganya sesuai hasil audit atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.

Rekomendasi itu berupa pengembalian kerugian negara sebesar Rp191 miliar atas ketidaksesuaian proses pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, di Jalan Kyai Tapa, Tomang, Jakarta Barat. Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat berbeda mengenai jumlah kerugian negara. Menurut perhitungan para ahli yang didatangkan lembaga antirasuah itu untuk melakukan perhitungan pembelian lahan seluas 3,6 hektare itu, kerugian negara hanya Rp9 miliar.

Namun Harry mengatakan, kewajiban itu bersifat final dan mengikat serta berlaku hingga kapan pun. Menurutnya, jika Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak membayarkan kerugian tersebut maka akan menjadi beban bagi pemerintahan selanjutnya.

"Kalau tidak mau ditindaklanjuti pemerintah sekarang, pemerintah yang akan datang tetap (harus membayar), itu final dan binding (mengikat)," kata Harry saat berkunjung ke kantor KPK, Kamis (24/6).

Harry menegaskan pembayaran kerugian negara itu nantinya merupakan kewajiban Pemprov DKI Jakarta, bukan Rumah Sakit Sumber Waras. Ia pun tidak ingin ikut campur, apabila kemudian Pemprov justru menagih kerugian keuangan negara itu kepada pihak Sumber Waras.

"Itu urusan detail antara pemerintah dengan Sumber Waras, tapi surat kita tidak ke Sumber Waras, surat kita ke Pemprov DKI, terserah pemprov bagaimana," tuturnya.

Mantan anggota DPR itu menyatakan bahwa temuan itu sama sekali tidak ada unsur politis atau pun ada unsur pribadi dirinya dengan Ahok. Sebab, rekomendasi diberikan secara menyeluruh atas nama Pemprov DKI Jakarta.

Rekomendasi itu, tegas Harry, juga tidak mempunyai batasan waktu. "Kita tidak memandang Ahok, kita memandang pemprov secara keseluruhan. Jika pemprov sekarang tidak menindaklanjuti maka tahun berikutnya akan tetap ada, tahun berikutnya akan ada lagi dan akan menjadi temuan-temuan terus menerus karena temuan BPK tidak punya batas waktu," tuturnya.

HORMATI KEWENANGAN KPK - KPK sendiri memang menyatakan belum menemukan unsur pidana dari pembelian Sumber Waras. Mengenai hal ini, Harry tidak mengambil pusing. Karena hal itu memang merupakan kewenangan penuh lembaga pimpinan Agus Rahardjo tersebut.

Namun sebaliknya, BPK juga mempunyai kewenangan untuk meminta Pemprov menindaklanjuti hasil rekomendasi, termasuk tentang dugaan kerugian negara sebesar Rp900 miliar. Dan rekomendasi tersebut harus dijalankan pihak Pemprov.

"Kalau KPK mengatakan ada anu maka itu kewenangan KPK dengan sampai ke pengadilannya, kalau administrasi itu kewenangan kami dengan auditee-nya kalau auditee-nya tidak menindaklanjuti dia akan membebankan kepada pemerintahan berikutnya dan pemerintahan berikutnya tidak menindaklanjuti akan membebankan ke pemerintah berikutnya sampai kiamat," tuturnya.

Harry mengatakan, audit investigasi merupakan salah satu tugas BPK untuk membantu aparat penegak hukum. Setelah audit tersebut diberikan maka yang mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan tindakan lebih lanjut adalah penegak hukum itu sendiri.

Ia pun enggan berpolemik lebih lanjut dengan KPK mengenai perbedaan persepsi tentang pembelian Sumber Waras. Apalagi, KPK bukannya mengabaikan, tetapi hanya belum menemukan unsur tindak pidana dalam kasus tersebut.

"Kita tidak mengatakan tidak melaksanakan, KPK dalam pertemuan dengan kami tidak menyetop kok, dia bilang belum ada dan tidak menutup kemungkinan tidak akan ada atau ada, jadi belum final itu yang membuat kita bertemu dengan KPK kemarin itu," tutur Harry.

Pada kesempatan yang sama, Ketua MPR Zulkifli Hasan menyampaikan pandangan yang sama mengenai hal ini. Menurut Zulkifli, Pemprov DKI Jakarta harus melaksanakan rekomendasi BPK agar mengembalikan kerugian keuangan negara dari pembelian Sumber Waras dapat dihindari.

"‎Saya pernah jadi menteri, kalau BPK menemukan kerugian negara ya harus dikembalikan, kan dulu saya pernah ada temuan soal tiket, kita gunakan terus batal, itu aja harus dikembalikan, walaupun itu nggak ambil," ujar pria yang pernah menjabat Menteri Kehutanan itu.

Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan bahwa pihaknya masih melakukan proses penyelidikan terkait perkara ini. Bukan tidak mungkin perkara itu ditingkatkan, jika mempunyai alat bukti yang cukup maka statusnya akan meningkat ke penyidikan.

"Pada prinsipnya, penyelidikan itu tidak ada batas waktunya. Jadi jika sewaktu-waktu ada bukti-bukti permulaan dan data baru, masih bisa dilanjutkan kembali," kata Priharsa saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (21/6) malam.

AHOK TETAP TOLAK REKOMENDASI - Kendati pihak BPK Bersikeras meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melaksanakan rekomendasi mereka. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetap tegas menyatakan menolak untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK itu.

"Kalau enggak ada kerugian negara, mau dikembalikan bagaimana coba?" kata Ahok di Senayan, Jakarta, Selasa (21/6).

Menurut Ahok, pembelian lahan Sumber Waras sudah tunai dan final. Tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Perkara BPK yang masih memeluk erat keyakinannya, tentu itu tak bisa bertemu dengan keyakinannya, yang menilai pembelian lahan tak ada masalah, tak melawan hukum, dan tak memuat unsur pidana.

"Dia merasa benar, kita merasa beli benar. Apa yang harus dibalikin? Makanya saya sampaikan, itu temuan pemeriksaan yang tidak bisa ditindaklanjuti," ujar Ahok.

Ahok mengatakan, sikap BPK itu juga bisa menjadi berseberangan dengan lembaga lain. Sebab, prosedur penetapan harga tanah, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dan alamat lahan RS Sumber Waras ditentukan oleh lembaga lain. Jika BPK terus mempermasalahkannya, sama artinya BPK melawan lembaga-lembaga terkait.

"BPK kalau ngomong seperti itu, dia bukan hanya tabrakan dengan KPK, tapi tabrakan dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional), dengan Kemenkeu (Kementerian Keuangan)," tegas Ahok.

Ahok juga mengaku telah memprediksi kemungkinan yang terjadi jika tetap tidak menindaklanjuti rekomendasi BPK. Paling banter BPK hanya akan mengeluarkan sanksi administrasi untuk Pemprov DKI. Atau, BPK akan selalu memberi status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas audit Pemprov DKI.

Ahok pun mengungkit soal laporannya terhadap Efdinal, yang saat itu menjabat Kepala BPK DKI. Ahok sempat melaporkan Efdinal ke Majelis Kehormatan Kode Etik BPK RI. Namun, menurut Ahok, laporan tentang audit yang ngaco dan dugaan adanya kepentingan pribadi itu justru tak ditanggapi. Dampaknya, menurut Ahok, hasil audit tersebut menjadi buah simalakama.

TAGIH KE SUMBER WARAS - Sementara itu Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saifullah secara terpisah menegaskan bahwa pemprov tidak bisa mengembalikan uang tersebut. Menurutnya, rekomendasi BPK sudah jelas, namun urusan kembali mengembalikan bukan urusan pemprov lagi.

Ia menambahkan, kalau pun memang uang Rp191 miliar itu harus dikembalikan, yang wajib mengembalikan adalah pihak RS Sumber Waras. "Bukan Pemprovnya yang mengembalikan karena uang itu sudah dikirim ke Sumber Waras, harusnya Sumber Waras yang mengembalikan. Habis itu disetor ke kas daerah," tuturnya.

Pihaknya hanya pelaksana, pemprov harus menagih ke Sumber Waras nanti dibayarkan oleh mereka. "Rekomendasinya gitu," imbuhnya.

Untuk itu kata Saifullah, pihak pemprov terus berkoordinasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Hanya saja koordinasi dengan pihak Sumber Waras, diakuinya, Pemprov DKI belum melakukan pertemuan membahas soal pengembalian uang.

"Kita tunduk kepada lembaga negara jadi kalau urusan pengembalian ini sangat jelas dari pihak ketiga. Misalnya pembangunan fisik, katakan ada pembayaran setelah diaudit BPK ada kelebihan misalnya Rp60 juta bukan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)-nya yang mengembalikan. SKPD-nya yang koordinasikan ke pihak ketiga," papar Saifullah.

BACA JUGA: