JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR RI dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menelurkan wacana dibentuknya Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) di Kepolisian.

"Komisi III mendorong Polri untuk segera membentuk Densus Tipikor dengan dukungan anggaran dan kewenangan khusus," ujar Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa saat memimpin rapat dengar pendapat tersebut, Selasa (23/5).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan siap jika Komisi III menghendaki terbentuknya Densus Tipikor di Kepolisian.

"Kalau ditanya apakah Polri siap, dari anggota Polri yang tersebar di seluruh Indonesia, saya kira kita sangat siap. Kami memiliki polda di seluruh provinsi, memiliki polres hingga kamtibmas. Saya kira kalau seluruh anggota dikerahkan, akan siap," ujar Tito merespon kesanggupan itu.

Tito mengatakan jika pembentukan Densus Tipikor terealisasi. Hal-hal yang ingin diperhatikannya adalah tak hanya soal biaya penyelidikan yang harus ditambah sesuai kebutuhan, tetapi juga soal kesejahteraan para anggota.

"Jadi perlu dukungan penganggaran di kepolisian. Kesejahteraan mereka perlu ditingkatkan dan gaji khusus," katanya.

Sebelumnya Kapolri di hadapan Komisi III mengakui penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) di Bareskrim Polri yang belum memuaskan. Menurutnya ada berbagai kendala dalam penyelidikan kasus korupsi diantaranya soal anggaran biaya yang terbatas.

Tito mengatakan anggaran untuk penyidikan kasus tipikor di Polri hanya sebesar Rp 200 juta. Ini tak sebanding dengan anggaran penyidikan KPK yang berapa pun besarannya ditanggung negara.

"(Anggaran) Rp200 juta ya. Kalau tetap dipatok dengan sistem indeks, tidak maksimal. Kalau bisa juga dengan sistem at cost. Jadi berapa pun biayanya dipenuhi oleh negara, seperti KPK," ujar Tito.

Pihaknya optimistis, bila anggaran penanganan tipikor disamakan sistemnya dengan KPK, penyidik Polri mampu mengungkap kasus-kasus korupsi kakap.

Selain persoalan anggaran,  diakui Kapolri kendala dalam penanganan kasus korupsi di Polri adalah kakunya sistem birokrasi. Yakni kuatnya intervensi saat polisi ingin menyidik seorang pejabat negara yang diduga melakukan korupsi.

"Memang ada saya kira kendala birokrasi juga yang jadi problema. Kelebihan teman-teman di KPK, kan mereka kolektif-kolegial dan diangkat DPR, jadi lebih kebal daripada, maaf, intervensi," ujar Tito.

Menurut Tito, sebenarnya dari segi jumlah penyidik Polri memiliki lebih banyak Penyidik dibanding KPK. Demikian juga dengan jaringan informasi yang dimiliki hingga ke daerah-daerah.

Namun Tito berkomitmen meningkatkan kemampuan penyidiknya. "Prinsip kita akan membangun kemampuan yang lebih kuat dalam penanganan korupsi. Sebenarnya jumlah anggota kita jauh lebih banyak, jaringan juga jauh lebih luas ke daerah-daerah. Oleh karena itu, kita memperkuat Direktorat Tipikor," ujar dia.

Tito juga berpendapat, pembentukan satuan tugas (satgas) untuk penanganan kasus korupsi di Polri akan lebih efektif dibanding struktur Direktorat Tipikor yang ada saat ini.

Menurutnya satgas bisa dibentuk dari 500 sampai 1.000 orang, yang akan direkrut dari berbagai satuan, kewilayahan. Kemudian mereka akan menangani tipikor dengan anggaran khusus dari Mabes Polri.
"Saya pikir itu lebih efektif dibandingkan struktur tipikor itu sendiri, yang dia terkunci pada jumlah orang. Kalau sudah sukses tangani kasus, bisa dibubarkan," kata Tito.

Terkait ide pembentukan Densus Tipikor, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan pihaknya akan melakukan pengkajian lebih dalam lagi terkait wacana pembentukan Densus Tipikor itu.

"Ada wacana untuk membuat Detasemen Khusus seperti Densus 88. Pasti kami akan lakukan pengkajian lebih dalam lagi. Intinya, dari Polri ingin memberantas korupsi," ujar Setyo di DPR.

Wacana pembentukan Densus Tipikor sepertinya menjadi atensi tersendiri dari Komisi III DPR. DPR sepertinya hendaki upaya pemberantasan tak hanya menjadi dominasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga ad hoc atau tidak tetap. Sehingga mereka ingin menghidupkan peran Kepolisian dalam pemberantasan korupsi.

Apalagi akhir-akhir ini ada hubungan yang kurang harmonis antara Komisi III dengan KPK. Tercermin dari lahirnya usulan hak angket KPK yang dilatarbelakangi penyidikan kasus KTP elektronik, dimana dalam penyelidikan kasus tersebut menyerempet nama sejumlah  anggota DPR.

Semoga saja pembentukan Densus Tipikor dilandasi oleh kenyataan masih maraknya tingkat korupsi di Indonesia, yang tak tuntas dihadapi oleh KPK sendirian. Bukan disebabkan oleh hubungan yang tak harmonis antara DPR dan KPK.


KEWENANGAN TIGA LEMBAGA - Kepolisian, Kejaksaan dan KPK adalah tiga lembaga yang diberikan kewenangan negara untuk melakukan penyelidikan dan  penyidikan tindak pidana korupsi.

Polisi, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki kewennagan  penyelidik dan penyidik perkara pidana untuk setiap tindak pidana. Sedang Kejaksaan sesuai UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), juga  berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.  

Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kewenangannya memberantas korupsi didasarkan pada UU KPK. Disebutkan Pasal 6 UU KPK, KPK berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Namun dalam Pasal 11 UU KPK kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak pidana korupsi tertentu seperti:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3.      menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
 
Kendati ada pembatasan wewenang penanganan korupsi pada KPK. Namun KPK  diberikan kewenangan tambahan yakni, dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun yang sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Namun pengambil alihan perkara korupsi, diatur dengan alasan;

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, KPK juga memiliki kewenangan lain, seperti diatur dalam  Pasal 50 UU KPK:

1.  Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
2. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
3. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
4. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. (dtc)
 

BACA JUGA: