JAKARTA, GRESNEWS.COM - Di tengah ramainya isu pergantian Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, pihak kepolisian juga disorot soal masih banyaknya kasus dugaan korupsi yang masih belum jelas penanganannya. Salah satunya adalah kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (kini SKK Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Penuntasan kasus tersebut seperti jalan di tempat karena berkas penyidikannya masih harus bolak-balik (P19) antara jaksa peneliti pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dan penyidik Polri. Terakhir, pada 4 April 2016, Jampidsus Arminsyah mengatakan jaksa telah mengembalikan berkas ketiga tersangka.

Ketiga tersangka itu adalah mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, serta mantan pemilik PT TPPI Honggo Wendratmo. Jaksa peneliti menyatakan ada kekurangan bukti materiil yang harus dilengkapi oleh penyidik Polri.

Setelah melengkapi catatan jaksa peneliti, penyidik mengaku telah melimpahkan kembali berkas ketiga tersangka pada 9 Mei lalu. "Sudah dua minggu yang lalu, kita memenuhi petunjuk P19," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya, Senin (23/5).

Agung mengatakan penyidik perlu melengkapi catatan jaksa untuk menguatkan bukti-bukti yang dimiliki penyidik. Bahkan, penyidik masih melakukan hitung ulang dan mensinkronkan hasil perhitungan kerugian negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan temuan baru penyidik.

Hal itulah yang, menurut Agung, membuat berkas ketiga tersangka tersebut dinyatakan belum lengkap oleh jaksa. "Ada hal-hal yang perlu kita hitung ulang, karena ada hal-hal yang baru kita temukan," jelas Agung.

Namun Agung tak menjelaskan temuan baru dari penyidik. Dia hanya menegaskan, penyidik telah memasukkannya dalam berkas perkara.

Sementara itu Jampdisus Arminsyah mengaku berkas kasus TPPI masih dilakukan penelitian oleh jaksa. Belum dipastikan berkasnya akan dinyatakan lengkap atau dikembalikan lagi kepada penyidik. "Masih diteliti, kita tunggu hasil penelitiannya," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung.

PENAHANAN TERSANGKA DITANGGUHKAN - Agung Setya membenarkan penyidik tidak lagi menahan dua tersangka yakni Raden Priyono dan Djoko Harsono. Penahanan keduanya ditangguhkan dengan alasan sakit.

Kini keduanya sedang dilakukan perawatan di rumahnya masing-masng. "Sudah dua minggu lalu kita tangguhkan untuk dua tersangka karena kondisinya sakit," kata Agung.

Sedangkan satu tersangka, Honggo, juga tidak dilakukan penahanan karena sakit dan dirawat di Singapura. Meski demikian, Agung mengaku tetap akan memproses hukum setelah kondisinya membaik.

Agung menegaskan, penyidik pada waktunya akan membawa Honggo ke Indonesia. "Tetap kita proses karena tentunya kita ingin dinamika penyidikan tidak berhenti," jelas Agung.

Dalam kasus ini nilai kerugian negaranya memang sangat besar. Hasil perhitungan kerugian negaranya (PKN) berdasar audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp34 triliun dengan kurs rupiah Rp13.000 per US$1.

Penyidik mengaku tak akan berhenti pada tiga tersangka ini. Mereka akan menelusuri lebih jauh ke mana aliran dana hasil penjualan kondensat tersebut mengalir.

"Setelah ini nanti, kita akan lihat kemungkinan berkembang dan tambah tersangkanya. Karena kalau kita melihat dari hasil PKN sangat menakjubkan bagi kita semua," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Bambang Waskito saat itu.

Apalagi kasus penjualan kondensat ini menyerempet banyak pihak. Termasuk menyeret sejumlah nama pejabat tinggi negeri ini mulai dari nama Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu hingga mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Tak heran jika kuasa hukum Raden Priyono, Supriyadi, tak terima jika dalam kasus penjualan kondensat hanya kliennya yang dipersalahkan. Dia beralasan, kebijakan itu berasal dari Wakil Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM. Kliennya hanya melaksanakan perintah. Supriyadi meminta atasan kliennya juga diproses hukum.

Bambang Waskito mengamini penunjukan TPPI untuk mengolah kondensat merupakan kebijakan Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla (JK). Tak ada yang salah. Namun dalam pelaksanaannya disalahgunakan oleh Honggo.

Saat itu Honggo tidak mengolah menjadi premium, solar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun diekspor ke luar negeri. "Tapi TPPI yang diserahin mengolah ini tidak diubah jadi migas tapi jadi aromatik, aromatik bahan dasar bijih plastik. Kebijakan Pak JK bagus tidak ada masalah," kata Bambang.

Dari dokumen risalah rapat JK memang yang berinisiatif soal penunjukan TPPI. Rapat yang berlangsung di Istana Wakil Presiden, Rabu 21 Mei 2008 pukul 16.00 WIB itu dipimpin sendiri oleh Wapres Jusuf Kalla. Hadir diantaranya adalah Menkeu, Menteri ESDM dan Menteri BUMN serta Menko Perekonomian.

Jusuf Kalla saat itu berinisiatif mengadakan rapat ini dengan tujuan membahas pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran dari PT TPPI dalam penyediaan suplai bahan bakar minyak (BBM) jenis premium RON 88 untuk kawasan Jawa Timur. Dalam awal rapat disebutkan kondisi TPPI saat ini dalam kondisi berhenti berproduksi karena harga output-nya (produk jadi) lebih murah dari harga input-nya (bahan baku).

Karena itu JK meminta agar PT TPPI sebagai perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai pemerintah (kurang lebih 60%) perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur. Oleh karena itu kapasitas yang idle ini harus dapat dioperasikan.

TUNGGAKAN KASUS DISOROT - Belum tuntasnya penanganan kasus-kasus korupsi di Bareskrim, membuat lembaga yang dianggap sebagai jantungnya kepolisian tersebut disorot publik. Citra Polri dinilai akan menjadi buruk jika tunggakan kasus-kasus tersebut tak diselesaikan.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, gagalnya Bareskrim Polri menuntaskan kasus besar karena lemahnya kepemimpinan. Dia menilai, Bareskrim di bawah kepemimpinan Komjen Anang Iskandar kurang bergigi.

Sejumlah kasus besar yang ditangani Bareskrim, terutama warisan Kabareskrim sebelumnya Budi Waseso, praktis jalan di tempat. Salah satunya ya kasus TPPI. Selain itu ada juga dugaan korupsi di Pertamina Foundation, dan Pelindo II, yang hingga kini belum ada yang naik ke penuntutan.

Padahal pengungkapan kasus-kasus ini sempat mengangkat citra Polri mengungguli KPK. "Citra Polri yang sudah terangkat kembali menjadi loyo," kata Neta kepada gresnews.com, Kamis (19/5).

Namun pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar berpandangan, belum tuntasnya sejumlah kasus korupsi di era kepemimpinan Kabareskrim Konjem Anang Iskandar bukan jadi tolak ukur kinerja sang jenderal yang sudah memasuki masa pensiun itu. Alasannya, penyidikan kasus korupsi memang cenderung lama dan membutuhkan tingkat profesionalitas tinggi dari penyidik.

Dalam konteks ini, Agung Setya yang baru menggantikan Bambang Waskito sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim mengakui sejumlah tunggakan kasus korupsi, antara lain dugaan korupsi di Pertamina Foundation dan Pelindo II serta TPPI. "Penuntasan kasus-kasus itu akan dipercepat," katanya berjanji.

BACA JUGA: