JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Misteri permainan mafia peradilan dan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) sedikit demi sedikit terungkap. Borok itu terungkap melalui pernyataan sejumlah saksi dalam persidangan perkara kasus korupsi dengan terdakwa Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristanto Sutisna.

Bukan hanya bisa menunda berkas putusan, dalam sidang lanjutan itu juga terungkap bahwa pengaturan para hakim yang menyidangkan perkara bisa dilakukan agar mendapat putusan lebih ringan. Selain itu juga ada harga khusus untuk bisa memesan komposisi hakim tertentu, yang  nilainya mencapai Rp100 juta.

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin sempat menghadirkan sejumlah saksi yang diduga mengetahui, bahkan terlibat dalam perkara ini. Antara lain staf panitera muda khusus Mahkamah Agung, Kosidah, Advokat Asep Ruhiyat, serta Sunaryo, sopir PT Citra Gading Asritama dan Sopian Saleh selaku keamanan Perumahan San Lorenzo.

Dari keempat saksi tersebut, dua orang diantaranya merupakan saksi kunci dalam perkara ini yaitu Kosidah dan Asep Ruhiyat. Kosidah, merupakan rekan Andri di MA dan ia orang yang dimintai tolong oleh Andri untuk menunda berkas salinan putusan atas kasus korupsi pembangunan pelabuhan di Lombok dengan terdakwa Ichsan Suaidi.

Hakim Ketua Pengadilan Tipikor Jhon Halasan Butarbutar sempat meminta Kosidah menceritakan ikwal kasus tersebut. Kosidah pun menjelaskan bagaimana mereka mempermainkan berkas putusan kasasi agar bisa mengumpulkan pundi tak halal dari proses penanganan perkara di lingkungan Mahkamah Agung. "Minta bantu untuk menahan berkasnya, berkas kasasinya Pak Ichsan. Sudah (putus) dan petikannya sudah dikirim," kata Kosidah di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/7).

Penahanan salinan putusan tersebut bertujuan agar Ichsan tertunda eksekusinya oleh tim jaksa yang menangani kasus korupsi itu. Meskipun, sebenarnya untuk melakukan proses tersebut, petikan putusan saja sudah cukup.

Berkas putusan sendiri, memang akan menjelaskan detail perkara hingga apa saja aset yang dinyatakan untuk disita terkait perkara bersangkutan. Diduga, Ichsan meminta penundaan terkait penyitaan aset-aset yang dimilikinya.

Andri, kata Kosidah, meminta agar penundaan salinan putusan itu dilakukan untuk jangka tiga bulan ke depan. Permintaan itu pun langsung disanggupi Kosidah. Padahal ia sama sekali tidak mempunyai kewenangan menunda salinan tersebut.

Kosidah mengaku mendapat imbalan dari perbuatannya itu. "Pak Andri menjanjikan uang. Pak andri mau menjanjikan uang Rp25 juta," tuturnya.


"HARGA" HAKIM AGUNG -  Sementara itu, Asep Ruhiyat, seorang advokat yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam perkara ini juga membenarkan adanya permainan pengurusan kasus di MA. Bahkan, Asep pernah "mengorder" hal tersebut kepada Andri.

Asep menyebut, pada awalnya ia meminta bantuan Andri perihal kasus yang digugat terkait Tata Usaha Negara (TUN). Kasus ini sendiri kalah dalam proses kasasi dan ia meminta Andri untuk menunda berkas salinan putusan.

Namun sayang, Asep tidak merinci kasus apa yang dimaksud. "Ada perkara saya di TUN, di kasasi kalah. baru saya hubungi beliau. Saya hubungi kemudian ketemu. Di tingkat pertama menang, di kedua menang, kasasi kalah," kata Asep.

Setelah itu, Asep pun rutin meminta bantuan Andri dalam kasus-kasus lainnya. Tak kurang, ia menyebut setidaknya ada 9 perkara yang turut diatur oleh Andri, khususnya jika perkara tersebut akan masuk dalam tingkat kasasi maupun peninjauan kembali.

Hakim Jhon juga sempat menanyakan apa maksud dan tujuan meminta bantuan tersebut. "Supaya dapat informasi cepat dari beliau, hakimnya siapa, posisinya dimana," tuturnya.

Hakim Jhon, lantas membacakan Berita Pemeriksaan Acara (BAP) milik Asep. "Selain perkara TUN tersebut, saya juga pernah meminta tolong memonitor perkara pidana yang sedang saya tangani. yang sedang dalam kasasi, yaitu perkara korupsi terdakwa Haji Jafri. Sudah diputus dengan ketua majelis hakim Artidjo Alkostar," ulang  Hakim Jhon membacakan BAP Asep.

"Atas permintaan saya, saudara Andri meminta uang Rp75 jt. biasanya harga pengkondisian hakim tersebut Rp100 juta. Saya berharap hakim bisa memutus perkara itu sesuai putusan pengadilan tingkat pertama," lanjut Hakim Jhon membacakan.

Saat ditanya mengenai isi BAP itu, Asep mengamininya. Asep melanjutkan dalam percakapannya dengan Andri melalui Blackberry Messenger (BBM), Andri meminta mahar sekitar Rp75 juta. Ia beralasan, uang tersebut hanya sebagai upah memonitor perkara tersebut.

Perbuatan Asep ini pun membuat Hakim Jhon berang. Ia menanyakan apakah Asep telah diproses secara hukum oleh KPK. "Perbuatan-perbuatan di bawah begini mencemari banyak orang! Saudara proses nggak? Pak jaksa?," tanya Hakim Jhon yang dijawab jaksa bahwa Asep belum diproses hukum.

Hakim Jhon kembali menanyakan berapa uang yang digelontorkan kepada Andri untuk mendapat informasi, menunda berkas salinan, dan mengatur komposisi hakim. "Yang udah diberikan menangani perkara TUN ada succes fee-nya Rp300 (juta). Saya kasih Pak Andri Rp150 (juta), ada di PK Rp200 (juta), sama yang ditransfer Rp80 (juta). Kalau yang Haji Jafri belum. Tapi sudah menjanjikan success fee Rp500 (juta)," pungkasnya.

BACA JUGA: