JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih ingat kasus kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan dan wilayah perkebunan sawit lainnya yang kerap terjadi ketika memasuki musim kemarau setiap tahunnya? Kasus kebakaran hutan di daerah Sumatera beberapa bulan silam yang diindikasikan melibatkan beberapa perusahaan membuka kemungkinan korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Pada kasus kebakaran hutan yang terjadi empat tahun silam, PT Kallista Alam diproses secara hukum sebagai pelaku pembakaran hutan dan dinyatakan bersalah. Perkara kebakaran hutan yang melibatkan PT Kallista Alam sudah mencapai tahap kasasi yang diputus 28 Agustus 2015 silam. Dalam putusannya PT Kallista Alam dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Masalahnya di Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini secara khusus baru diakui dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia masih menganut pandangan societas delinquere non potest yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.

Ditambah lagi dalam KUHP yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke person atau manusia. Maka dari itulah KUHP belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Adapun beberapa Undang-Undang yang sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Berbeda dengan KUHP yang belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana maka dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 48 R-KUHP yang mengatur "Korporasi merupakan subjek tindak pidana".

Namun pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana konsep R-KUHP masih memiliki kekurangan karena menggunakan doktrin identifikasi sebagai dasar pertanggungjawaban pidana. Kritik terhadap doktrin tersebut adalah doktrin tersebut dianggap sebagai legal barrier to potential corporate criminal liability. Batasan tersebut dikarenakan doktrin identifikasi mensyaratkan adanya tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan yang tinggi dalam suatu korporasi agar korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Tentunya ini menjadi hambatan dalam menarik pertanggungjawaban korporasi yang dilakukan oleh pelaku lapangan seperti pada tindak pidana pembalakan liar maupun kebakaran hutan.

Ketua Presidium Peguyuban Pekerja Universitas Indonesia (UI) Andri G Wibisana mengusulkan pertanggungjawaban korporasi dalam R-KUHP sebaiknya tidak menggunakan doktrin identifikasi namun menggunakan dua doktrin lainnya. Yakni doktrin strict liability, dalam hukum pidana doktrin ini mengesampingkan unsur kesalahan atau unsur mens rea dalam petanggungjawaban pidana. Maknanya korporasi bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pekerjanya tanpa mempedulikan apakah korporasi sudah mencegah atau mengambil langkah untuk merespon tindak pidana tersebut atau tidak.

Doktrin lainnya adalah qualified vicarious liability, yaitu korporasi bertanggungjawab hanya jika korporasi gagal untuk mengambil langkah yang layak guna mencegah tindak pidana.

Andri mengatakan untuk doktrin kedua korporasi hanya bertanggungjawab atas perbuatan pemimpin korporasi, selain itu, korporasi bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri atau tindak pidana yang dilakukannya sendiri. "Perusahaan tidak bisa lepas tangan terhadap pelaku atau pihak yang diperintahkan untuk melakukan pembakaran lahan yang menyebabkan kebakaran kebun atau hutan," kata Andri kepada gresnews.com, usai diskusi bertema Mengkonstruksikan Keadilan Ekologis dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam melalui reformasi KUHP, Kamis (19/5) di The Icon, Morissey Hotel, Menteng, Jakarta.

Dia menjelaskan tindakan hukuman dalam menindak pelaku atau orangnya maupun pihak korporasi juga harus bersifat adil dan transparan. Menurutnya korporasi juga bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pekerjanya, tanpa melihat status atau kedudukan orang tersebut di dalam korporasi. Termasuk juga bila tindak pidananya dilakukan oleh pelaku di dalam (ruang lingkup kewenangannya lingkup kewenangan/kerja).

"Misalnya seperti di Amerika Serikat (AS) tindak pidana yang bertentangan dengan program/kebijakan perusahaan tidak selalu berarti bahwa perbuatan tersebut berada di luar lingkup kerja," jelasnya.

Selain itu juga korporasi bisa dikenai tindak pidana bila terbukti pelaku melakukan sesuatu yang menguntungkan korporasi (for the benefit of the corporation). Pada umumnya, dianggap terbukti apabila setidaknya sebagian tujuan dari pelaku adalah untuk menguntungkan korporasi. "Contohnya, saja seperti di Inggris (beberapa kasus awal). Korporasi bahkan tetap bertanggungjawab ketika korporasi adalah korban dari perbuatan pelaku," ujarnya.

MENANTI PEMBERIAN SANKSI TEGAS - Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Minhur Satyaprabu mengatakan, pihak perusahaan korporasi juga harus diberikan sanksi tegas dan hukuman bagi pelakunya, karena pertanggungjawaban korporasi. "Diharapkan pemerintah bisa bersikap tegas bagi korporasi yang melakukan pembakaran hutan," kata Munhur di tempat yang sama.

Seperti diketahui, hingga kini pemerintah masih kesulitan menghukum para pelaku pembakar kebun dan hutan termasuk korporasi yang melakukannya. Sanksi yang diberikan pemerintah hanya sebatas sanksi administratif yang tak menimbulkan efek jera.

Misalnya ketika terjadi kebakaran hutan tahun lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan inisial 23 nama perusahaan yang sudah diberikan sanksi akibat terbukti menyebabkan kebakaran hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Sementara itu, 33 perusahaan lainnya hingga saat ini masih dalam proses penyidikan kementerian.

Bentuk sanksi yang diberikan masih seputar sanksi administrasi saja. Kementerian memberikan sanksi pencabutan izin terhadap 3 perusahaan, pembekuan izin terhadap 16 perusahaan, dan paksaan pemerintah untuk menguasai lahan terhadap 4 perusahaan.

Sementara yang bergulir ke pengadilan seperti PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang menjadi tergugat penyebab kebakaran hutan di Sumatera Selatan bebas dari semua tuntutan. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang Parlas Nababan menolak seluruhnya gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap BMH yang beroperasi di Ogan Komering Ilir (OKI), Rabu (30/12).

Sebelumnya, perusahaan ini diduga menjadi dalang dari kebakaran hutan yang menimbulkan korban jiwa akibat kabut asap. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pun menggugat dengan menuntut ganti rugi sebesar Rp2.687.102.500.000. Kemudian, Kementerian LHK meminta dilakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar dengan biaya sebesar Rp5.299.502.500.000. Gugatan tersebut dilakukan berdasar adanya kebakaran lahan pada tahun 2014 di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT BMH.

BACA JUGA: