JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan mantan Ketua MK, M Akil Mochtar terkait pengujian norma kewenangan penyidikan, penuntutan dan penyitaan harta kekayaan dari Tindak Pidana Pencucian Uang. Permintaan Akil agar beberapa pasal dalam UU TPPU diantaranya Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), dan Pasal 69 diputuskan bertentangan dengan UUD 45 ditolak MK.

MK beralasan, permohonan itu tidak memiliki landasan hukum. Hanya saja, putusan ini tidak diambil dengan bulat karena dua dari sembilan hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda), yakni Aswanto dan Maria Farida Indrati. "Mengadili, menyatakan menolak seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya," tutur Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan perkara nomor 77/PUU-XII/2014, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (12/2).

Mahkamah berpendapat, Frasa "patut diduga" dalam Pasal 2 Ayat (2), atau "patut diduganya" Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Ayat (1) yang dimintakan pemohon bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum. Menurut majelis, dalam perkara pidana soal terbukti atau tidak terbuktinya, yakin dan tidak yakinnya para hakim yang mengadili suatu perkara semata-mata karena bukti-bukti di persidangan.

Dalam proses pembuktian frasa "patut didiga" atau "patut diduganya" tidak hanya dalam bahasa undang-undang, tetap sangat tergantung terbukti atau tidak terbuktinya dalam hal persidangan. "Hal demikian telah diterapkan sejak dahulu," terang Arief.

Terkait Pasal 69 yang menyatakan dalam TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, majelis hakim MK juga berpendapat hal itu bisa dibenarkan. Menurut mejelis hakim konstitusi, andaikata pelaku tindak pidana asalnya meninggal dunia berarti perkaranya menjadi gugur. Sementara si penerima pencucian uang tidak dapat ditutuntut lagi.

"Adalah suatu ketidakadilan, seseorang yang sudah nyata mendapat atau menerima keuntungan dari tindak pidana penucian uang tidak diproses pidana karena tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu," kata Arief dalam pertimbangan putusannya.

Hanya saja MK mengakui, tindak pidana pencucian uang bukan tindak pidana yang berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. "Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya," tegas Arief.

Mahkamah juga menyatakan permohonan yang mendalilkan Pasal 76 Ayat (1), Pasal 77 dan Pasal 78 Ayat (1) menimbulkan ketidakpastian hukum, juga tidak beralasan menurut hukum. Menurut mejelis, penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan atau di KPK adalah sama. Sehingga dalil pemohon yang menyatakan ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan frasa "Penuntut Umum", dalam hal TPPU juga harus ditolak.

Meski demikian tak semua anggota majelis setuju dengan putusan itu. Hakim Aswanto dan Maria Farida Indrati menyatakan, UU TPPU pada hakekatnya bukan untuk memberantas tindak pidana asal. Namun kata dia, UU ini harusnya dimaksimalkan untuk pengenaan tindak pidana asal karena pelaku tindak pidana pencucian uang selalu diawali tindak pidana asal.

Konsekuensinya apabila salah satu unsur inti delik tidak terbukti maka perkara harus bebas. Sedangkan elemen delik adalah unsur yang tidak selalu dicantumkan, tetapi diam-diam harus dianggap ada. "Kalau tindak pidana asal saja tidak terbukti, bagaimana mungkin ada tindak pidana lanjutan," terang Aswanto saat membacakan pendapat berbedanya.

Secara logika, kata dia, dari kronologi perbuatan, korupsi misalnya, harus terjadi terlebih dahulu dan jika hasil korupsi digunakan atau dialirkan baru terjadi tindak pidana lanjutan pencucian uang. Artinya, tidak mungkin ada pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Sehingga tindak pidana asal itu harus dibuktikan.

Menurutnya, kedua tindak pidana ini harus didakwakan sekaligus dalam dakwaan kumulatif, bukan dakwaan alternatif. Ia merujuk pada asas praduga tidak bersalah ayang harus dijunjung tinggi negara hukum dan demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (3) UU 1945.

"Dengan demikian, seharusnya permohonan pemohon yang berkaitan dengan keharusan adanya putusan tindak pidana asal sebelum melakukan proses tindak pidana pencucian uang dikabulkan," tegas Aswanto. Pendapat Maria Farida pun sama dengan Aswanto sehingga Farida tidak memberikan keterangan secara terpisah.

Sebelumnya, Akil yang telah divonis penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan tak puas dengan proses hukum ini. Akil pun mengajukan permohonan uji materi terhadap beberapa sejumlah pasal pada UU TPPU seperti disebutkan di atas.

Akil beralasan, pasal-pasal yang dimohonkannya untuk diuji materi itu menimbulkan ketidapastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Akil menyatakan untuk menjerat seseorang dengan dugaan TPPU seharusnya dibuktikan dulu pidana asalnya.

Selain itu Akil juga menganggap Institusi KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU. Mendasarkan pada Penjelasan Pasal 74 UU TPPU, pemohon mendalilkan jika KPK hanya berwenang melakukan penyidikan, walaupun tidak secara eksplisit norma tersebut "mengharamkan" KPK untuk menuntut perkara TPPU.

BACA JUGA: