JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai seringnya muncul kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang dijadikan target mafia narkoba internasional untuk menyelundupkan narkoba, adalah karena kurangnya pengawasan dari Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Wakil Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, TKI rentan dimanfaatkan oleh mafia narkoba sebagai kurir karena tidak memiliki cukup pengetahuan mereka dan kurangnya pengawasan.

Kasus terbaru adalah TKI Rita Krisdianti yang ditangkap di Malaysia karena membawa narkoba seberat 4 kilogram. Rita dijatuhi vonis mati oleh Pengadilan Tinggi Pulau Penang. Vonis tersebut dijatuhkan hakim sesuai seksyen 39B Akta Dadah Berbahaya tahun 1952. Pihak Kementerian Luar Negeri pun saat ini terus berupaya memberikan pembelaan terhadap Rita.

Rita adalah seorang WNI asal Ponorogo yang pernah bekerja sebagai TKI di Hong Kong pada periode Januari-April 2013. Rita tertangkap oleh Otoritas Malaysia di Bandara Bayan Lepas, Penang, Malaysia, pada tanggal 10 Juli 2013 karena kedapatan membawa masuk 4,0164 kg narkotika jenis methamphetamine (shabu) di dalam tasnya.

Dalam pengakuannya, Rita menyatakan tidak mengetahui isi tas tersebut. Menurut Rita tas tersebut adalah milik WNI lainnya yang mengatur penjalanannya dari Hong Kong ke Penang melalui Bangkok dan New Delhi. Berdasarkan pengecekan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (SISKOTKLN) BNP2TKI diketahui Rita pernah bekerja di Taiwan tahun 2009.

Dia diberangkatkan oleh Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIST) PT Asa Muli Indoman Power. Rita diketahui juga pernah bekerja di Singapura pada 2010 dengan PPTKIS Ciptakarsa Bumi Lestari. Namun namanya tidak tercatat dalam SISKOTKLN saat diberangkatkan ke Hongkong oleh PT Putra Indo Sejahtera (PIS) Madiun pada Januari 2013.

Hingga saat ini masih terdapat 154 WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia. Dari jumlah tersebut, 102 (66%) diantaranya adalah WNI terancam hukuman mati karena kasus narkoba.

Fakta ini, kata Dede Yusuf, cukup menggelisahkan. Penyebab utama seringnya TKI dimanfaatkan jaringan narkoba internasional sebagai kurir, kata dia, adalah proses seleksi TKI oleh pihak BNP2TKI yang sangat buruk terhadap perusahaan jasa penyalur tenaga kerja. Akibatnya, proses seleksi atas TKI juga tak sesuai prosedur sebenarnya dan bermuara salah satunya pada persoalan hukum yang dihadapi TKI termasuk dalam kasus narkoba.

Dede mengatakan, dia menemukan banyak jasa penyalur TKI abal-abal atau perusahaan jasa penyalur TKI yang tidak jelas alamat perusahaannya . "Jasa penyalur abal-abal salah satu penyebab TKI menjadi korban di luar negeri, misalnya ada jasa penyalur yang dicek perwakilannya di luar negeri tidak ada dan domisili kantor yang tidak jelas," kata Dede kepada gresnews.com, Minggu (10/7).

Bahkan Dede menduga ada permainan antara pihak BNP2TKI dengan jasa penyalur tanpa menyeleksi status perusahaan jasa penyalur tersebut dan diizinkan mengirimkan TKI. Akibatnya, banyak TKI yang tidak dibekali keterampilan dalam bekerja diluar negeri, termasuk pengetahuan soal hak dan kewajiban hukum di negeri orang, namun tetap diberangkatkan.

Kata Dede, banyaknya perusahaan jasa penyalur TKI abal-abal harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah, khususnya pihak Kemenaker. Itu adalah cara terbaik mencegah TKI menjadi korban permainan bandar narkoba internasional .

"Pemerintah harus menertibkan perusahaan jasa penyalur TKI abal-abal dengan tegas, jangan hanya mengambil keuntungan saja dari permainan ini. Seolah-seolah adanya pembiaran dalam perusahaan jasa penyalur tidak jelas ini," tegasnya.

Menurutnya, kasus seperti yang dialami TKI Rita, adalah salah satu contoh nyata masih adanya permainan dalam mengirimkan TKI ke luar negeri dan masih minimnya pengawasan dari pihak BNP2TKI terhadap proses pengiriman TKI. "Kasus Rita adalah contoh lalainya pemerintah dalam mengawasi para TKI yang bekerja diluar negeri," ujarnya.

TKI BERMASALAH RENTAN JADI TARGET - Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Pol Slamet Pribadi membenarkan para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat rentan menjadi sasaran empuk bagi bandar narkoba untuk dijadikan kurir narkoba. Karena itu BNN menghimbau agar para TKI yang bekerja di luar negeri agar berhati-hati . "Kita memang melihat TKI menjadi target bagi bandar narkoba, maka kita minta mereka berhati-hati," kata Slamet kepada gresnews.com, Minggu (10/7).

Slamet menjelaskan, TKI kerap kali dimanfaatkan para pihak bandar narkoba untuk dipekerjakan sebagai kurir narkoba. Karena itu BNN bekerjasama dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal (Konjen) Indonesia yang berada di negara-negara tujuan TKI agar memberikan sosialisasi kepada TKI tentang bahaya narkoba dan mengimbau untuk tidak sembarangan berkomunikasi pihak yang belum diketahui asal-usulnya.

"Jadi mereka TKI biasanya berawal dari berkenalan dengan orang asing yang belum diketahui indentitasnya setelah itu ditawarkan pekerjaan dan gaji yang mengiurkan," jelasnya.

Dia menambahkan, BNN terus memantau para TKI yang pulang ke Indonesia pada saat Lebaran Idul Fitri karena TKI yang pulang ke Indonesia dapat dimanfaatkan oleh bandar narkoba untuk menitipkan barang haram tersebut agar bisa masuk ke Indonesia. "Kita tetap mengawasi para TKI yang pulang saat lebaran ini, karena jangan sampai momen seperti ini dimanfaatkan bandar narkoba untuk menggunakan para TKI sebagai kurir, dan lepas dari pantauan BNN," jelasnya.

Sementara itu, Sekjen Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, TKI di luar negeri selama ini berpotensi mendapatkan masalah dalam hal bekerja, baik itu masalah relasi kerja dengan majikannya, masalah upah maupun masalah perlindungannya. Kondisi ini ditunjang oleh lemahnya peran perwakilan pemerintah di negara-negara luar tersebut seperti kedutaan dan KJRI.

"Selama ini TKI kurang mendapat perhatian dari KBRI maupun konjen kita di masing-masing negara sehingga eksistensi TKI kita menjadi termarjinalkan dan akibatnya berpotensi menjadi sasaran empuk mafia perdagangan manusia dan mafia narkoba," kata Timboel kepada gresnews.com.

Dia mengungkapkan, kondisi perlindungan TKI tidak baik. KBRI dan Konjen kerap kali tidak mau tahu dengan keadaan TKI di negaranya. Bila TKI mendapat perlakuan buruk dari majikannya maka cenderung TKI tersebut disalahkan. Dan bagi TKI, dalam kondisi sulit, mau melapor ke KBRI atau konjen tidak mudah. "Nah akibat kesulitan tersebut maka TKI berpotensi dimanfaatkan oleh para mafia narkoba," ujarnya.

Timboel menyebutkan, yang utama dimanfaatkan oleh mafia narkoba adalah mereka yang bergaji rendah, sehingga dengan iming-iming pendapatan besar, TKI mau saja dimanfaatkan menjadi kurir. "Bila TKI kita tidak mendapatkan masalah dengan majikannya, upahnya baik dan terus bisa dipantau oleh KBRI maupun konjen maka TKI kita tidak akan mudah tergiur dengan janji-janji mafia narkoba," tegasnya.

Kata Timboel, TKI menjadi kurir narkoba biasanya adalah TKI yang mendapatkan masalah di tempat kerjanya dan TKI tersebut dalam kondisi tidak terlindungi oleh KBRI maupun KJRI. Kondisi marjinal TKI ini yang memudahkan bandar narkoba untuk memanfaatkannya. "Hal ini yang harusnya menjadi perhatian pemerintah cq. KBRI atau konjen dan kemenaker serta BNP2TKI untuk memastikan TKI kita terlindungi," paparnya.

Dia menambahkan selain masalah kondisi TKI di luar negeri tersebut, pemerintah via kemenaker dan BNP2TKI kurang memberikan sosialisasi dan penyadaran kepada calon TKI yang mau berangkat ke luar negeri tentang bahaya narkoba khususnya potensi digunakannya TKI menjadi kurir narkoba. Tidak hanya itu KBRI atau konjen-konjen juga kurang memberikan penyuluhan serupa.

"Seharusnya BNN, kemenaker, BNP2TKI dan kemenlu (KBRI dan konjen) bersama sama melakukan sosialisasi masif tentang bahaya narkoba dan bahaya menjadi kurir narkoba kepada para TKI, baik sebelum berangkat maupun setelah TKI berada di luar negeri," paparnya.

BACA JUGA: