JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan DPR menyepakati masa penangkapan terduga terorisme diperpanjang dari ketentuan sebelumnya menjadi selama 14 hari dan dapat diperpanjang 7 hari dalam pembahasan RUU Terorisme. Namun perpanjangan masa penahanan ini, dinilai Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki potensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Sebelumnya disepakati adanya penambahan masa penahanan itu, diskusi antara pemerintah dan DPR tentang hal itu mengalami perdebatan yang alot. Dalam pembahasan lanjutan pada Rabu 7 Juni 2017 fraksi-fraksi di DPR sempat mempertanyakan pertimbangan pemerintah untuk memperpanjang masa penangkapan. Namun, belakangan DPR justru menyepakati usulan pemerintah itu.

Terkait kesepakatan tentang perpanjangan masa penangkapan dalam RUU Terorisme itu ICJR memberikan sejumlah catatan; antara lain ICJR melihat Pemerintah tidak dapat menunjukkan kajian dan dasar yang cukup kuat soal usulan perpanjangan masa penangkapan. Demikian juga dengan DPR yang tidak secara tegas meminta dasar tersebut.

ICJR menilai lamanya masa penangkapan bisa berakibat fatal pada pelanggaran hak asasi manusia. Masa penangkapan lama berpotensi  menjadi penahanan incommunicado atau penahanan/penempatan seseorang tanpa akses terhadap dunia luar. Kondisi tidak adanya akses ini membuka peluang besar adanya penyiksaan.

"Dengan 14 hari dan dapat diperpanjang 7 hari, akan ada total sekitar 21 hari masa penangkapan, dalam kondisi ini, maka potensi penyiksaan akan terbuka lebar," ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataan persnya, Jumat (9/6).

ICJR juga mempertanyakan urgensi dari perpanjangan masa penangkapan, yang semula 7 hari menjadi 14 hari dan dapat diperpanjang 7 hari, apabila penangkapan itu sudah didasari pada 2 alat bukti permulaan. "Lalu pertanyaannya, siapa yang akan mengajukan perpanjangan masa penangkapan?" tanyanya.

Adanya keputusan Pemerintah dan DPR memilih masa penangkapan selama 14 hari dan dapat diperpanjang 7 hari itu, ICJR meminta  agar ditambahkan ketentuan lain seperti mekanisme pengawasan yang lebih ketat.

Selain itu dalam konteks Hak, karena penangkapan berpotensi menjadi penahanan incommunicado, maka harus dipastikan tersangka yang ditangkap memiliki seluruh hak yang didapat dalam proses penahanan. Diantaranya akses pada kuasa hukum, hak atas informasi dan seluruh hak yang pada umumnya dimiliki seorang tersangka atau terdakwa dalam masa penangkapan.

Sementara dalam konteks pengawasan, maka ICJR meminta Pemerintah memuat ketentuan yang mengaktifkan pengawasan  terhadap upaya paksa. Utamanya terkait akses pada tempat-tempat selama masa penangkapan, baik yang bersifat formal atau informal. Hal ini dilakukan untuk memperkecil potensi penyiksaan.

POTENSI UNTUK PENYIKSAAN - Potensi adanya penyiksaan itu sebelumnya juga sempat disuarakan Koordinator Komite Untuk Orang Hilang dan korban kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Menurut Haris adanya perpanjangan masa penangkapan dan penahanan, ia melihatnya bahwa aparat penegak hukum ingin mengandalkan penangkapan itu untuk membongkar. Padahal menurutnya seharusnya tidak demikian.

Menurutnya untuk memberantas terorisme ada sejumlah hal yang harus dilakukan, dan tidak bisa mengandalkan hanya dengan menangkap atau istilahnya mencomot terduga, sehingga mereka tak memiliki kontak dengan dunia luar. "Saya pikir UU jangan memberikan kesempatan misalnya dengan munculnya kasus-kasus penyiksaan. Sebab dengan adanya kasus penyiksaan itu akan menjadi amunisi bagi para terduga terorisme untuk mengklaim bahwa sayalah korbannya," ujarnya.

Sementara itu Deputi III BNPT Petrus Golose sebelumnya juga menyatakan bahwa frame pembentukan Undang-undang didasarkan pada ketentuan hukum-hukum internasional dan ketentuan hak asasi manusia. Termasuk UU Teroris yang saat ini tengah disusun juga didasarkan pada ketentuan internasional tentang perlindungan hak-hak asasi manusia. Bahkan polisi yang melanggar HAM pun akan diperiksa.

"Perpanjangan masa penangkapan dan penahanan tidak akan melanggar HAM, bahkan untuk melindungi HAM orang banyak," ujar Petrus saat wawancaranya dengan media televisi akhir tahun lalu.

BACA JUGA: