JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali digunakan untuk menjerat korban yang tak bersalah. Seorang ibu bernama Baiq Nuril Maknun dari Mataram, Nusa Tenggara Barat, dituduh telah menyebarkan materi asusila mantan atasannya.

Ia dilaporkan atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dengan ancaman hukumnya enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Nuril Maknun, telah merasakan dinginnya sel tahanan sejak 24 Maret 2017 hingga saat ini.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono menilai penahanan Nuril berpotensi melawan hukum. "Setiap pejabat yang memiliki kewenangan penahanan untuk bersikap proporsional dan hati-hati menggunakan kewenanganan penahanan," katanya dalam keterangan pers yang diterima gresnews.com, Rabu (10/5).

Menurutnya berdasarkan ketentuan KUHAP, penahanan pada prinsipnya dilarang dilakukan. Terkecuali terdapat alasan yang sah berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Secara garis besar, kata Supriyadi ada tiga alasan penting seseorang dapat dikenakan penahanan. Pertama, ada bukti yang cukup. Kedua perbuatan tersebut diancam dengan pidana lima tahun. Ketiga adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran, tersangka akan (a) melarikan diri, (b) menghilangkan barang bukti, dan (c) mengulangi tindak pidana

Ia mengatakan para pejabat yang memiliki kewenangan seharusnya dapat memeriksa secara obyektif apakah ada keadaan tersebut dan tidak hanya bersandar pada kekuatiran semata–mata. Dalam posisi Nuril, ICJR melihat penahanan yang dilakukan terhadapnya memiliki potensi tinggi telah dilakukan secara melawan hukum karena ketiadaan alasan ketiga.

Selain itu, ICJR juga telah memberikan peringatan terhadap pemerintah dan DPR ketika meloloskan perubahan UU ITE yang memberikan kewenangan besar dilakukan penahanan tanpa izin dari Pengadilan Sebelumnya, ICJR telah merekomendasikan agar perubahan UU ITE terkait dengan ketentuan penahanan untuk diperketat melalui ijin dari Pengadilan.

ICJR mendesak agar Majelis Hakim PN Mataram yang menyidangkan perkara ini untuk sesegera mungkin membebaskan Baiq Nuril Maknun dari penahanan yang telah dijalaninya.

Kasus serupa juga menimpa Yusniar, seorang ibu rumah tangga yang didakwa kasus dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik legislator DPRD Jeneponto, Sudirman Sijaya, melalui status Facebook miliknya, dituntut lima bulan penjara.

Beruntung bagi Yusniar, Ketua majelis hakim Kasianus memutuskan vonis bebas bagi Yusniar dari segala tuntutan akibat curhatannya di media sosial Facebook karena rumahnya telah dibongkar oleh massa.

"Membebaskan dari segala tuntutan, saudari Yusniar. Karena unsur-unsur menyerang kehormatan tidak terpenuhi," tegas Kasianus yang memimpin sidang di ruang utama Cakra Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Selasa (11/4).

Menurut pertimbangan Kasianus dan dua hakim anggota, status Facebook yang ditulis di akun Yusniar tidak menyebutkan nama. Adapun yang dituliskan, "anggota DPR Tolo´ dan bukan anggota DPRD Tolo".

KRONOLOGIS KASUS - Kasus bermula pada Agustus 2002, Nuril yang saat itu menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram mengungkapkan pelecehan seksual yang dialaminya oleh oknum Kepala SMAN 7 Mataram saat itu H Muslim.

Nuril ditelpon oleh oknum kepala sekolah dan dalam percakapan melalui telepon, oknum tersebut bercerita tentang pengalaman pribadinya pada Nuril. Percakapan yang sangat bermuatan unsur pelecehan seksual tersebut kemudian direkam Nuril.

Hingga pada Desember 2014, seorang rekannya meminjam HP milik Nuril, kemudian mengambil rekaman percakapan antara oknum kepala sekolah dan Nuril.

Rekaman tersebut bocor, membuat oknum kepala sekolah yang membeberkan aib dirinya sendiri pada Nuril malu akibat beredarnya rekaman mesumnya. Uniknya, justru oknum mantan Kepala Sekolah SMA 7 itu melaporkan Nuril atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik.

Kini Nuril didakwa jaksa dengan dakwaan pasal 27 ayat (1) jo pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, dengan ancaman hukumnya enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Upaya untuk membebaskan Nuril dari tahanan juga disampaikan Wakil Wali Kota Mataram H Mohan Roliskana yang siap menjadi penjamin untuk penangguhan penahanan Nuril yang terjerat kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Dalam hal ini kita melihatnya sebagai korban," katanya kepada sejumlah wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa.

Pernyataan itu disampaikannya seusai menerima Koordinator Tim Hukum Joko Jumadi dan Koordinator Nonlitigasi Nur Janah untuk Ibu Nuril bersama jajaran pengurus LPA Kota Mataram di ruang kerjanya.

Pemerintah Kota Mataram saat ini, kata wakil wali kota, tidak dapat mengintervensi masalah hukumnya, karena proses hukum sedang berjalan.

"Saya prihatin dengan persoalan ini, bahkan menyentuh sisi kemanusiaan apalagi Ibu Nuril memiliki tiga orang anak dan diberhentikan dari pekerjaanya, sementara suaminya juga harus berhenti karena mengurus anak-anaknya," katanya.

Oleh karena itu, dengan jaminan yang akan diberikannya itu, dirinya berharap aparat penegak hukum bisa memberikan penangguhan hukuman kepada Nuril.

Sementara, terkait dengan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram yang saat ini sudah mendapat jabatan promosi menjadi Kepala Bidang di Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Mataram, pemerintah kota menunggu proses hukum yang sedang berjalan.

"Sedangkan di internal kami juga akan melakukan kajian lebih dalam lagi," katanya.

Wakil wali kota mengatakan, adanya pejabat publik apalagi dari kalangan dunia pendidikan yang berperilaku seperti itu menjadi tamparan bagi pemerintah kota .

Di sisi lain, wakil wali kota berharap kepada Nuril untuk tetap semangat menjalani semua proses yang dihadapi saat ini, sementara pemerintah kota akan berusaha mengajukan proses penaguhan hukuman. (dtc/mfb)

BACA JUGA: